Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Juwita Primadona—sebutlah namanya begitu—Bojonegoro merupakan ”tanah impian”. Di sinilah perempuan 22 tahun itu sedikit demi sedikit mewujudkan mimpi indahnya. Sebagai pelacur, hidupnya berubah drastis sejak ia menjejakkan kaki di kota termiskin keempat di Jawa Timur itu, dua tahun lalu.
Juwita kini bisa mengirim uang lebih banyak kepada orang tuanya di kampung, sembari mengubur sakit hati ditinggal pacar yang menghamilinya. Ketika masih di Tuban, kota asalnya, tarifnya cuma Rp 50 ribu sekali kencan. Di Bojonegoro, ia berani pasang banderol Rp 200-300 ribu.
Meski tarif naik empat kali lipat, ia tak pernah kekurangan pelanggan. Juwita, yang kuning langsat dan sintal, menjadi primadona di tempat-tempat hiburan malam. ”Aku yakin, Bojonegoro akan jadi kota termaju di Jawa Timur,” kata lulusan SMP ini, bak komentar pakar ekonomi di Ibu Kota.
Pelanggannya meruyak di kafe dan hotel kelas melati, yang jumlahnya bertambah dua kali lipat dalam setahun terakhir. Para pengelola penginepan—yang kamarnya masih berbau cat— membenarkan tingkat hunian naik dobel dibanding dua tahun sebelumnya.
Bojonegoro memang bukan lagi kota sepi seperti lima tahun lalu. Jika malam tiba, lampu merkuri menyala di sudut-sudut jalan. Anak-anak muda nongkrong hingga hari larut. Kalisari, pusat pelacuran di selatan kota, ingar-bingar. ”Dulu ini tempat jin buang anak,” kata Wawan, warga setempat.
Tempat-tempat hiburan ramai pendatang. Mereka yang dulu lebih senang menginap di Cepu atau Tuban, karena fasilitasnya lebih nyaman dan lengkap, kini beralih ke kabupaten ini. Selain hotel dan kafe, mal pun dibangun dan berjubel pengunjung.
Lihat saja data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bojonegoro. Tahun lalu, sepuluh perusahaan baru berdiri, yang sebelumnya cuma dua atau tiga perusahaan per tahun. Ada beragam perusahaan, mulai dari kontraktor, jasa pengamanan, hotel, sampai mal.
Kerabat Wakil Presiden Jusuf Kalla pun kabarnya tak sudi ketinggalan, sudah berancang-ancang membangun hotel bintang lima di pusat kota. Pertumbuhan ekonomi sebelum 2004 yang paling banter 3 persen pun tahun lalu melonjak menjadi 6,35 persen.
Sektor pertanian memang masih menjadi penyumbang terbesar produk domestik bruto, disusul hotel dan restoran. ”Tapi industri menunjukkan tanda-tanda bangkit,” begitu laporan BPS Bojonegoro dalam Bojonegoro dalam Angka, 2007.
Yang paling kentara adalah pendapatan kotor daerah. Sebelum 2003, penerimaan Bojonegoro seperti grafik detak jantung orang mati: lurus di sekitar Rp 300 miliar. Begitu memasuki 2005, grafik itu mendaki vertikal hampir tiga kali lipat.
Penerimaan pajak naik cukup signifikan, terutama pajak daerah dan pajak bumi dan bangunan. Sumber pajak itu berasal dari bertambahnya jumlah perusahaan dan investasi. Semuanya berpusat di satu ”episentrum”: Blok Cepu.
Kepastian beroperasinya mandala minyak ini telah membetot minat para pemodal membenamkan duit mereka di Bojonegoro. Penelitian Bank Indonesia Bojonegoro menyebutkan, keberadaan Blok Cepu telah menarik investasi Rp 6,6 triliun dalam tiga tahun terakhir.
Sebelum ada kepastian pengelolaan Blok Cepu, investasi sebanyak itu hanya bisa dicapai dalam satu dasawarsa. Tapi kini orang berduit seolah berlomba membuat hotel, kafe, perusahaan kontraktor, jasa pengamanan, rental mobil, hingga kos-kosan untuk menunjang operasional ExonMobil Oil.
Tahun lalu, pemerintah memutuskan perusahaan minyak asal Amerika Serikat itu menjadi operator ladang minyak raksasa ini. Setelah molor setengah tahun, awal tahun ini minyak mulai disedot. Ada sekitar 314 miliar liter minyak dan 1,3 triliun kaki kubik gas yang mendekam di kawasan seluas 167 ribu hektare itu.
Jika dihitung kasar dengan mengalikan harga minyak yang sudah tembus US$ 90 per barel, Blok Cepu menyimpan harta karun Rp 900 triliun lebih. Daerah yang pertama kali akan dikembangkan adalah lapangan Banyu Urip, seluas 700 hektare. Di sini saja investasi yang akan dibenamkan Exxon mencapai Rp 10 triliun, dengan sumbangan pendapatan ke kas negara—jika minyak sudah dibor—Rp 170 triliun.
Untuk menyongsong masa emas itu, pemeritah Kabupaten Bojonegoro sudah menyiapkan setumpuk rencana. Yang pertama adalah membangun infrastruktur: jembatan, jalan, rumah sakit, penerangan, sampai sekolah. Maklum saja, tak ada jalan dan jembatan mulus menuju kabupaten paling barat di Jawa Timur itu.
Jalan utama dari arah Cepu, Jawa Tengah, bocel, retak, dan bergelombang. Belum lagi jalan desa dan antarkecamatan, yang hanya jalan tanah yang berdebu dan berbatu. DPRD sudah setuju, pemerintah kabupaten mengucurkan Rp 461 miliar hingga 2009 untuk kebutuhan ini. Tak peduli kas Bojonegoro defisit Rp 125 miliar per tahun. ”Kebutuhannya memang segitu, mau bagaimana lagi?” kata Muhammad Santoso, Bupati Bojonegoro 2002-2007.
Pak Bupati punya cukup alasan untuk tak khawatir. Sebab, jika Exxon sudah mulai beroperasi tahun depan, pemerintah Bojonegoro akan kebagian Rp 1,2 triliun per tahun. Itu separuh anggaran Provinsi Jawa Timur.
Belum lagi pendapatan per kapita penduduk, yang diprediksi meningkat berlipat-lipat oleh dampak menjamurnya industri. Sekarang saja, dengan pembangunan yang baru mulai tahap konstruksi, pendapatan masyarakat naik Rp 6,1 miliar per tahun dan menyerap 1.060 tenaga kerja.
Dengan berbagai geliat bisnis ini, penduduk sekitar Bojonegoro kini tak perlu mencari hidup ke negeri jauh. Eko Santoso, 34 tahun, misalnya. Warga Cepu itu kini bisa kembali membuat dapurnya mengepul setelah bertahun-tahun menganggur.
Gaji Rp 2 juta sebagai juru taksir lahan di sebuah rekanan perusahaan minyak membuat rumah tangganya adem. Ia melarang istrinya kembali ke Malaysia menjadi pembantu rumah tangga. ”Gaji saya sudah lebih dari cukup,” katanya.
Begitulah, Bojonegoro kini ibarat raksasa yang baru bangun dari tidur panjang. ”Sebentar lagi, Bumi Angling Dharma—julukan Kota Bojonegoro—akan hijrah dari kemiskinan menuju kemakmuran,” kata Muhammad Santoso ketika menggelar peringatan Maulid Nabi Muhammad, sesaat setelah pemerintah mengumumkan Exxon sebagai operator Blok Cepu.
Tapi sayang, bukan pada masa kepemimpinannya semua mimpi itu bakal terwujud. Dalam pemilihan bupati 10 Desember lalu, Santoso masuk kotak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo