Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tiga perusahaan sudah mengantongi izin dari pemerintah dan kini bersiap membangun kepulauan Komodo untuk wisata premium.
Sayangnya, meski pembangunan fasilitas sudah dimulai, sampai saat ini belum ada kajian dampak pengembangan wisata premium itu terhadap satwa langka.
Pembangunan wisata premium di Taman Nasional Komodo tak dilengkapi analisis dampak lingkungan.
Pemerintah hendak menata fasilitas wisata Taman Nasional Komodo di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, dengan menggandeng investor swasta. Pulau-pulau yang menjadi habitat komodo dan kakaktua kecil jambul kuning akan dipoles menjadi wisata safari alam liar eksklusif seperti di Afrika. Tarif keanggotaannya US$ 1.000 atau Rp 14,5 juta per orang dengan jumlah turis dibatasi 50 ribu per tahun. Tanpa restu Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kajian dampak terhadap satwa langka, serta hendak merelokasi usaha penduduk lokal, pemerintah membangun jalan di Pulau Rinca. Satu perusahaan pun mulai mendirikan kantor di Pulau Padar. Penataan ini juga mengubah desain tapak satu pulau dengan memakan ruang publik.
DENGAN tubuh bersimbah peluh, Dani tak henti mengayunkan sekop melemparkan tanah untuk menguruk lubang berisi beton-beton fondasi. Siang pada pertengahan November 2020 yang terik di Pulau Padar, satu nusa tak berpenghuni di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, membuat laki-laki asal Bali ini acap menyeka keringat yang membanjir di wajahnya dengan ujung baju.
Dani, laki-laki 27 tahun ini hanya ingin dikenal dengan nama ini, bersama tiga pekerja sedang menimbun lubang fondasi yang berisi 54 tiang pancang. Mereka adalah pekerja PT Komodo Wildlife Ecotourism yang sedang membangun kantor, mes karyawan, dan gudang di lahan seluas 400 meter persegi. “Desain bangunannya akan semipermanen,” ucap Dani.
Mereka mulai bekerja pada 1 November 2020. Perusahaan memulai pembangunan itu dengan upacara adat mengundang penduduk Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Di Taman Nasional Komodo, dari 147 pulau, hanya tiga nusa yang dihuni masyarakat. Pulau Komodo paling besar, setengah luas Ibu Kota Jakarta, lalu Pulau Rinca. Satu lagi Pulau Papagarang. Pulau Padar bisa dicapai dari Labuan Bajo dengan naik kapal cepat selama dua jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo (kanan) memberikan arahan kepada Gubernur NTT Viktor Laiskodat (kiri), Menhub Budi Karya Sumadi (kedua kiri) dan Menteri KLHK Siti Nurbaya (tengah) dalam Ratas mengenai pengembangan destinasi wisata Labuan Bajo di Plataran Komodo Resort, Labuan Bajo, NTT, 20 Januari 2020. setkab.go.id
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dani, di antara kerja, mereka sesekali melihat komodo berlari menuju lembah untuk berteduh atau mencari makan. Menurut catatan Balai Taman Nasional Komodo, ada enam komodo yang tinggal di pulau seluas 1.400 hektare ini. Tapi hari itu tak ada komodo yang lewat. Panas yang memanggang membuat pulau ini seperti noktah hitam yang memantulkan fatamorgana. Kering. Gersang.
Di pulau ini, PT Komodo Wildlife memiliki konsesi mengembangkan wisata alam liar seluas 274,13 hektare. Izinnya terbit pada 23 September 2014. Menurut dokumen rencana perusahaan, PT Komodo akan mendirikan 382 vila, 3 rumah spa, 5 kafe, kolam renang, dan pelbagai fasilitas wisata lain. Mereka menyiapkan Rp 669 miliar untuk membangun semua itu.
PT Komodo Wildlife menjadi investor yang mendapatkan konsesi seiring dengan niat pemerintah menata wisata alam liar di taman nasional tersebut. Pemerintah hendak menjadikan wisata melihat hewan berusia 45 juta tahun itu sebagai tur eksklusif seperti safari alam liar di Afrika.
Ada empat pulau besar yang izin pengelolaannya sudah diberikan. Selain di Padar, PT Komodo Wildlife punya konsesi 151,94 hektare di Pulau Komodo, yang luasnya 32.169 hektare. PT Segara Komodo Lestari punya izin mengelola Pulau Rinca dan PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa. Konsesi pengelolaan pulau-pulau itu berlaku selama 55 tahun.
Kendati izin sudah mereka peroleh enam tahun lalu, PT Komodo Wildlife baru mulai membangun fasilitas wisata pada tahun ini. Pemerintah tak mencabut izin tersebut kendati aturan Menteri Kehutanan Nomor 48 Tahun 2010 mewajibkan perusahaan membangun sarana wisata setahun setelah izin keluar. “Mereka didemo terus,” tutur Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sejak 2018, masyarakat di tiga pulau getol berdemo menolak berbagai rencana pembangunan di Taman Nasional Komodo. Rencana menjadikan Pulau Komodo sebagai wisata eksklusif bertarif US$ 1.000 atau Rp 14,5 juta membuat mereka cemas tersingkir karena kalah bersaing dengan usaha besar. Di Pulau Komodo ada 1.818 penduduk yang sebagian besar mengandalkan mata pencarian dari pariwisata, seperti menjual oleh-oleh dan menjadi pemandu turis.
Konsesi milik PT Komodo Wildlife Ecotorism yang berbatasan dengan Loh Liang, habitat utama Komodo, di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur, November 2020. TEMPO/Erwan Hermawan
Wiratno menegaskan tak akan merelokasi penduduk ke mana pun. “Itu isu saja,” katanya. “Lagi pula, dari mana biaya memindahkan orang sebanyak itu?” Menurut dia, pemerintah hanya akan menata usaha penduduk agar lebih rapi dan sesuai dengan kriteria wisata premium. Kios-kios cendera mata akan dipusatkan di Pulau Rinca, yang berjarak dua jam perjalanan dengan naik perahu dari Pulau Komodo.
Isu relokasi tak muncul begitu saja. Selain pemberian konsesi kepada perusahaan, kabar relokasi makin kencang setelah notula rapat antara pejabat Balai Taman Nasional Komodo dan Gubernur NTT Viktor Laiskodat bocor. Menurut catatan rapat 23 Juli 2019 di kantor gubernur di Kupang itu, Viktor berniat memindahkan penduduk Pulau Komodo ke Pulau Rinca.
Pembangunan infrastruktur Puncak Waringin sebagai pusat cinderamata oleh Kementrian PU di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Agustus 2020. pu.go.id
Tanpa relokasi sekalipun, pemindahan usaha akan memaksa penduduk berpindah. Jarak yang jauh antara Komodo dan Rinca membuat pedagang di Pulau Komodo tak bisa bolak-balik dalam sehari. Lagi pula, di Pulau Rinca penduduknya juga berdagang komoditas serupa. “Jadi tak bisa kami pindah ke sana,” ucap Abdul Malik, warga Pulau Komodo.
Keberatan dan penolakan penduduk selama enam tahun itu yang membuat perusahaan-perusahaan pemegang konsesi wisata tak kunjung membangun fasilitas wisata premium. Di Pulau Rinca yang lebih padat, konsesi wisata dipegang PT Segara Komodo Lestari seluas 22,1 hektare, yang mengantongi izin pada 17 Desember 2015.
Masalahnya, perlakuan pemerintah tak sama kepada tiap perusahaan. Jika PT Komodo Wildlife dan PT Segara hanya diminta memperbaiki rencana kerja tahunan dalam evaluasi 2018, PT Karang Permai Propertindo yang memiliki konsesi di Pulau Tatawa harus berhenti bermimpi punya wisata safari. Pemerintah mencabut izin mereka karena tak bisa menyediakan peta area usaha dan tata batas hingga izin dialihkan kepada PT Synergindo Niagatama.
Di Komodo, sudah jadi perbincangan umum pemilik tiga perusahaan pemegang konsesi itu orang-orang terkenal. Komisaris PT Komodo Wildlife adalah Rheza Herwindo, anak mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Setya Novanto. PT Segara Komodo adalah perusahaan David Makes, Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata Kementerian Pariwisata. Ia adik Yozua Makes, pengacara bisnis pemilik Grup Plataran, jaringan bisnis wisata alam Indonesia.
Adapun pemilik PT Synergindo adalah Mochamad Sonny Inayatkhan. Ia pengusaha wisata yang kantornya berada di Mega Kuningan, Jakarta. Perusahaan ini memiliki konsesi menata kawasan wisata Pulau Tatawa seluas 15,32 hektare dengan nilai investasi Rp 1,78 triliun pada 24 April 2020. Tak seperti PT Komodo Wildlife dan PT Segara Komodo yang mengutamakan safari liar, PT Synergindo hendak mengembangkan wisata bawah laut karena pulau ini tak dihuni komodo.
Wiratno menyangkal kabar bahwa konsesi pengembangan wisata eksklusif diberikan kepada tiga perusahaan itu karena nama-nama pemiliknya. Menurut dia, di Tatawa ada problem hukum penguasaan lahan sehingga izin usaha sebelumnya dicabut dan dialihkan kepada Synergindo. “Bukan karena mereka tak bisa membangun, tapi karena ditolak masyarakat,” ujarnya.
Pemerintah, Wiratno menambahkan, ingin Komodo menjadi wisata kelas dunia sehingga pengelolaannya mesti eksklusif dan mahal. David Makes sepakat. Menurut dia, konsep pengembangan Taman Nasional Komodo sebagai wisata premium sangat tepat. “Selama ini nilai pariwisatanya masih sangat rendah,” ucap David.
•••
PENATAAN wisata komodo dan pulau-pulau lain di taman nasional itu mencuat setelah tersebar foto seekor komodo seolah-olah menghadang truk yang sedang meratakan jalan. Kejadian itu di Pulau Rinca pada Oktober 2020. Di pulau seluas 20.721 hektare berpenduduk 1.607 orang tersebut hidup sekitar 1.050 ekor komodo. Sekitar 15 ekor sudah terhabituasi sehingga tak sungkan bercampur dengan manusia.
Truk yang meratakan tanah itu sedang mengerjakan proyek infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dalam proyek senilai Rp 70 miliar tersebut, Kementerian Pekerjaan Umum akan merampungkan jalan dan membangun pusat informasi wisata. Dalam rancangan wisata premium pemerintah, Pulau Rinca tak akan dibuat seeksklusif Pulau Komodo. Mereka yang tak sanggup membayar tarif keanggotaan US$ 1.000 bisa datang ke pulau ini untuk melihat Si Komo—tokoh komodo dalam lagu anak-anak populer ciptaan Kak Seto.
Pembangunan kantor, mess karyawan, dan gudang milik PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar, 14 November lalu. TEMPO/Erwan Hermawan
Pengembang wisata komodo tak hanya perusahaan swasta. Gubernur Viktor Laiskodat juga berminat mengelolanya melalui PT Flobamor, perusahaan daerah Provinsi NTT yang bergerak di bidang jasa transportasi. Pada 29 Januari 2020, Viktor menandatangani kerja sama dengan PT Nusa Dua Pelangi, perusahaan teknologi informasi, untuk memantau Pulau Komodo.
PT Flobamor disiapkan menggeser Koperasi Serba Usaha Taman Nasional Komodo yang selama ini menaungi para pemandu turis sejak 2010. Para pemandu umumnya warga lokal yang menemani turis melihat komodo atau hiking dan kemping di bukit-bukit di Komodo dan Rinca.
Dalam rencana Viktor, Pulau Komodo akan dikelola secara eksklusif. Tarif keanggotaan US$ 1.000 adalah ide yang ia lontarkan saat memimpin rapat dengan Balai Taman Nasional Komodo pada 23 Juli 2019. PT Flobamor akan memohon izin pengelolaan wisata dengan menggandeng pihak ketiga dalam urusan teknis. “Nanti memakai skema bagi hasil karena Provinsi NTT tidak punya sumber daya manusianya,” ucap Viktor, seperti tertera dalam notula rapat itu.
Kepala Taman Nasional Komodo Lukita Awang Nistyantara mengatakan rapat tersebut sebagai forum bertukar pandangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengembangkan taman nasional. “Kami membahas pengelolaan taman nasional ke depan,” katanya.
Pekerja di area pembangunan kantor, mess karyawan, dan gudang milik PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar, 14 November lalu. TEMPO/Erwan Hermawan
Viktor tak mengkonfirmasi pernyataannya dalam rapat tersebut. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat Agustinus Rinus mengkonfirmasi bahwa PT Flobamor hendak ikut mengelola wisata safari di Pulau Komodo. “Tapi skemanya seperti apa saya belum tahu, karena proposalnya baru masuk,” tuturnya.
Rapat itu tak hanya dihadiri pegawai Taman Nasional Komodo dan para pejabat NTT. David Makes juga ada di sana. David hadir sebagai pengelola wisata Pulau Rinca yang akan mendapat limpahan para pedagang Pulau Komodo. Di Rinca, selain akan membangun 14 resor vila rimba, David berencana membuat restoran dan kios untuk menampung pedagang.
Menurut Agustinus, relokasi tempat tinggal penduduk Komodo ke Rinca adalah rencana lama pemerintah NTT sebagai bagian dari penataan wisata premium. “Tapi sekarang rencana itu sudah tak ada lagi,” tuturnya. Sejauh ini rencana detail penataan Komodo, Rinca, dan pulau-pulau lain belum dibahas lagi.
Wiratno mengakui belum menerima proposal detail penataan wisata. Perusahaan-perusahaan pemegang konsesi wisata belum menyusunnya, terutama gangguan dan dampaknya terhadap komodo dan hewan endemik lain. “Kalau sudah ada nanti kami lihat agar tak berdampak pada taman nasional,” ucapnya. “Walaupun begitu, dari segi luas, konsesi usaha wisata itu kecil sekali dibanding luas seluruh taman nasional.”
Masalahnya, rencana detail pengembangan pariwisata itu bukan kewajiban perusahaan yang harus dimasukkan dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan. Menurut Wiratno, perusahaan tak wajib menyusun amdal karena pembangunan sudah tercantum dalam dokumen pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL) kawasan lindung. Perusahaan hanya diminta mengisi formulir UKL-UPL.
Wiratno menyitir Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 38 Tahun 2019 yang mengecualikan kewajiban membuat amdal usaha di kawasan lindung. “Yang paling penting konsultasi publik dan melibatkan ahli,” ujar Wiratno. Ahli akan berperan menganalisis dampak penataan wisata terhadap komodo, masyarakat, dan lingkungan taman nasional.
Hebohnya pemberitaan soal penataan komodo membuat UNESCO—badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membidangi sains, pendidikan, dan budaya—mengirimkan surat permintaan penjelasan rencana penataan wisata komodo itu. Soalnya, pada 1991, UNESCO mengabulkan proposal pemerintah Indonesia yang menetapkan Taman Nasional Komodo dan isinya sebagai warisan dunia. “Kami meminta kajian dampak lingkungan sebelum rencana pembangunan dilanjutkan,” demikian yang tertulis dalam surat perwakilan UNESCO di Jakarta kepada Tempo.
Menurut UNESCO, pembangunan infrastruktur memiliki potensi dampak terhadap area taman nasional dan keanekaragaman hayatinya, termasuk komodo, sehingga perlu ada mitigasi. UNESCO akan membawa rencana pemerintah Indonesia membangun wisata premium komodo dan status konservasi taman nasional dalam Pertemuan Komite Warisan Dunia ke-44 pada Juni-Juli 2021.
Rheza Herwindo di gedung KPK Jakarta, Januari 2018. TEMPO/Imam Sukamto
Kajian dampak lingkungan pembangunan infrastruktur dalam situs warisan dunia PBB merupakan syarat wajib karena negara yang memilikinya terikat keharusan melestarikan dan melindunginya. Komodo dan burung kakaktua jambul kuning yang ada di kawasan taman nasional adalah dua jenis hewan endemik langka yang populasinya kritis. “Kami segera kirim kajiannya,” tutur Wiratno soal kajian lingkungan itu.
Dengan syarat-syarat tersebut, Wiratno sudah melarang perusahaan membangun infrastruktur di kawasan taman nasional. Namun, ketika ditanyai soal pembangunan tiang pancang di Pulau Padar, Wiratno mengatakan, “Ah, itu cuma mes pegawai.” Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum, menurut dia, sudah membuat UKL-UPL meski tak menyinggung soal mitigasi komodo dan kakaktua jambul kuning.
Rheza Herwindo tak ada di rumahnya di Jakarta ketika hendak dimintai konfirmasi soal pembangunan kantor PT Komodo Wildlife di Pulau Padar. Firman Wijaya, pengacara keluarga Setya Novanto, mengaku tak mengetahui bisnis Rheza di Komodo. Sementara itu, Direktur PT Wildlife Heri Pranyoto menolak berbicara. “Saya sedang sibuk,” katanya pada Rabu, 30 Desember 2020.
Di luar soal sarana-prasarana wisata, untuk mewujudkan wisata premium, Kementerian Lingkungan Hidup telah mengubah zonasi taman nasional 2012 pada tahun 2020. Dari total luas taman nasional 173.300 hektare, zona inti berkurang 6 hektare dan zona rimba bertambah 5 hektare. Dalam zonasi hutan, hanya zona pemanfaatan yang bisa digunakan untuk aktivitas ekonomi.
Perubahan mencolok terjadi pada zona pemanfaatan di Pulau Tatawa, pulau seluas 73,37 hektare. Dalam proposal izin pada 2014, luas area usaha PT Synergindo 6,49 hektare, yang mengacu kepada desain tapak zona pemanfaatan Pulau Tatawa pada 2012. Namun izin dari Kementerian Kehutanan tak cepat turun karena Kepala Balai Taman Nasional Komodo Budi Kurniawan tak kunjung menandatangani verifikasi teknisnya hingga ia dipindahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bali pada 2019. Posisinya kemudian dipegang oleh Lukita Awang.
Izin usaha PT Synergindo baru terbit pada 24 April 2020. Luas konsesinya bertambah dua kali lipat dari permohonan semula menjadi 15,32 hektare. Perubahan ini juga mengikuti penambahan luas ruang usaha di zona pemanfaatan Tatawa menjadi 17,5 hektare.
Ketika dimintai konfirmasi, Awang merasa tak menambah desain tapak Synergindo. “Ketika saya masuk sini sudah seperti itu,” tuturnya. Wiratno juga terkejut ketika diberi tahu bahwa ruang usaha PT Synergindo bertambah lebih dari dua kali lipat. Apalagi ruang publik di pulau itu malah menyusut dari 14,45 hektare menjadi 3,45 hektare. “Ruang usaha tidak boleh memakan ruang publik karena itu privat,” ucap Wiratno.
Dalam dokumen perubahan desain tapak Pulau Tatawa, disebutkan bahwa penambahan ruang usaha dilakukan karena pulau ini memiliki “pemandangan unik dan eksklusif”. Wiratno meminta penjelasan soal perubahan desain tapak ini kepada anak buahnya, Nandang Prihadi. Tapi Nandang juga mengaku tak mengetahuinya karena baru menjabat Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi pada awal 2020.
Sementara itu, Sonny Inayatkhan tak ada di kantor PT Synergindo di Mega Kuningan, Jakarta, ketika hendak dimintai konfirmasi. Sarah Sutansa dan Putri, sekretaris pribadi Sonny, mengatakan bosnya sedang ke luar kota. Hingga artikel ini terbit, Sonny tak membalas pertanyaan tertulis soal perubahan desain tapak ataupun lobi-lobinya mendapatkan izin usaha wisata di Taman Nasional Komodo.
Perubahan desain tapak Tatawa sudah masuk dalam rencana perubahan zonasi Taman Nasional Komodo yang selesai pada November 2020. Wiratno menampik jika disebut ada perubahan zonasi yang signifikan, selain penambahan zona permukiman seluas 8,6 hektare di Pulau Komodo. Perubahan zonasi ini juga tak mengeluarkan satu pulau yang hendak dibangun untuk fasilitas pertemuan negara-negara G-20 pada 2023, seperti keinginan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan.
Area konstruksi PT Segara Komodo Lestari di Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur pada 2018. Mongabay/Kris Da Somerpes
Ketika menyurvei lokasi pertemuan G-20 ke NTT pada Desember 2019, Luhut berencana membangun resor di Tana Mori, daratan Flores, seluas 300 hektare. Para tamu akan dijamu dengan melancong ke Pulau Muang, pulau seluas 5 hektare yang berada di antara Tana Mori dan Pulau Rinca. Pulau Muang adalah rumah bagi kakaktua kecil jambul kuning yang populasinya kritis. Karena itu, pulau ini masuk zona inti taman nasional yang tak boleh dijamah untuk tujuan apa pun.
Luhut sedang merayakan tahun baru 2021 di Bali ketika artikel ini ditulis. Ia mendelegasikan pemberian konfirmasi dan penjelasan soal pemanfaatan Pulau Muang kepada Deputi Bidang Koordinasi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Odo Manuhutu. Odo menyangkal kabar bahwa kantornya hendak mengeluarkan pulau itu dari taman nasional untuk mengakomodasi keinginan Luhut. “Tidak ada perubahan zonasi,” ujar Odo.
TIM INVESTIGASI
Penanggung Jawab:
Bagja Hidayat
Kepala Proyek:
Erwan Hermawan
Penulis:
Erwan Hermawan, Dini Pramita, Agung Sedayu
Penyumbang Bahan:
Erwan Hermawan, Dini Pramita, Agung Sedayu (Jakarta), Yohannes Seo (Kupang)
Foto:
Ratih Purnama Ningsih
Bahasa:
Hardian Putra, Iyan Bastian
Desain:
Djunaedi, Rio Ari Seno
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo