Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jambul Kuning di Tengah Deru Mesin

Penataan wisata alam liar Taman Nasional Komodo tak hanya berimbas pada hewan purba yang tersisa dan penduduk di pulau-pulau besar di sana. Burung endemis yang kritis juga rentan terhadap suara bising alat berat.

2 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Burung Kakaktua Jambul Kuning di Taman Safari Indonesia Bali. Dok.TEMPO/Raymond Yudhistira Darmanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dampak penataan wisata komodo terhadap penduduk pulau.

  • Pengaruh penataan wisata komodo terhadap burung endemis.

  • Beberapa pulau sudah mulai membangun fasilitas wisata.

DI bawah panas terik matahari pertengahan November 2020, seekor komodo muncul di area konsesi PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. Sambil menjulurkan lidah, tubuh gempalnya terpontal-pontal karena berjalan agak cepat menuju Loh Liang, lembah yang menjadi sarang komodo dan habitat babi hutan serta rusa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan luas 32.169 hektare—setengah luas Jakarta—Pulau Komodo menjadi pulau terbesar di antara 147 gugusan pulau yang berada di Taman Nasional Komodo. Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga tahun lalu, terdapat 3.022 ekor komodo yang berada di taman nasional. Separuhnya berada di pulau utama ini, sisanya tersebar di empat pulau lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komodo di Pulau Rinca, kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, Oktober 2018. TEMPO/Tony Hartawan

Karena itu, bertemu dengan komodo kapan dan di mana saja bukan hal aneh bagi para pemandu alam liar yang menemani turis datang ke sini. Menurut Ifing, penduduk Komodo yang menjadi pemandu, komodo ia jumpai hingga di dataran tinggi pulau ini jika mengantar turis hiking atau camping. “Sehari saya bisa tujuh kali mengantar tamu ke sini,” kata Ifing, laki-laki 40 tahun.

Selama masa pandemi virus corona sejak Maret 2020, jumlah turis yang datang ke Pulau Komodo bertambah banyak. Berita pembangunan wisata membuat heboh, terutama setelah tersebar foto seekor komodo menghadang truk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang sedang meratakan jalan di Pulau Rinca. Berjarak dua jam perjalanan dengan kapal dari Pulau Komodo, pulau seluas 20.721,09 hektare ini menjadi pulau kedua terbesar yang menjadi habitat satwa tersebut.

Foto itu membuat banyak orang penasaran. Itu sebabnya, meski beberapa pulau di taman nasional ditutup karena pembangunan dan pandemi virus corona, mereka tetap datang meminta diantar bertemu dengan hewan purba tersebut. Menurut Ifing, banyak juga turis yang datang karena khawatir tak bisa melihat lagi hewan langka ini setelah taman nasional kelak menjadi obyek wisata premium.

Sementara para turis khawatir baru-baru ini, penduduk kepulauan sudah lama cemas penataan wisata di taman nasional akan merenggut hidup mereka. Sejak 2014, mereka acap berdemo menolak kehadiran perusahaan yang diberi izin oleh pemerintah membangun pelbagai fasilitas pelesiran. Penduduk khawatir kehilangan mata pencarian jika Pulau Komodo berubah menjadi tujuan wisata premium.

Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup, menyebutnya safari khusus atau wisata alam liar. Kelak, jika pembangunan selesai, taman nasional akan dikaveling sesuai dengan kelas wisata. Wisata safari berada di Pulau Komodo dengan tiket sekali masuk US$ 1.000 per orang. Yang tak punya duit bisa datang ke Pulau Rinca. “Wisata komodo harus mahal jika ingin jadi wisata kelas dunia,” tutur Wiratno.

Wisatawan memotret komodo di Pulau Rinca, kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, Oktober 2018. TEMPO/Tony Hartawan

Dengan biaya mahal itu, jumlah wisatawan yang bisa masuk ke Pulau Komodo akan dibatasi. Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat pada Agustus lalu mengatakan jumlah turis ke pulau ini tak boleh lebih dari 50 ribu setahun. Artinya, kunjungan dibatasi hanya seperempat dari volume pelancong per tahun. Menurut catatan Taman Nasional Komodo, tahun lalu sebanyak 221.703 turis datang ke sini.

Dengan tarif US$ 1.000 itu, pemerintah akan mendapatkan US$ 50 juta atau Rp 725 miliar setahun. Nilai pendapatan ini jauh lebih banyak dibanding penghasilan taman nasional dengan menjual karcis Rp 5.000-225 ribu per orang. Namun hitung-hitungan menggiurkan itu tak membuat masyarakat Pulau Komodo sumringah.

Menurut Alimudin, warga RT 02 RW 01, dari 1.818 penduduk Pulau Komodo, sebagian besar hidup dari berjualan cendera mata atau menjadi pemandu turis seperti Ifing. Jika Komodo akan menjadi obyek wisata premium, penduduk yang membuka kios suvenir cemas tak bisa lagi berjualan karena kualitas barang dan layanan akan disesuaikan dengan kelas wisata eksklusif. Karena itu, di desa-desa kepulauan habitat komodo, merebak isu akan ada relokasi.

Masyarakat, Alimudin menjelaskan, berpikir sederhana: jika turis dibatasi di Komodo, penghasilan mereka berkurang, sehingga pilihan lain adalah bergeser berjualan di Pulau Rinca yang dibuka untuk siapa saja. Masalahnya, selain lokasinya jauh, di Rinca sudah ada penduduk lokal yang berjualan cendera mata serupa. Tak hanya terjadi persaingan secara ekonomi, gesekan sosial pun bukan tak mungkin meletik karena penduduk dua pulau itu berbeda suku.

Wiratno menyangkal kabar bahwa bakal ada relokasi. “Dari mana biaya memindahkan orang sebanyak itu?” katanya. Yang benar, Wiratno menambahkan, adalah penataan lokasi berjualan di dua pulau tersebut. Usaha kecil oleh-oleh akan difokuskan di Pulau Rinca, yang menjadi destinasi wisata massal. “Kalau usaha mereka pindah ke Rinca, harganya pasti akan jadi mahal,” ujarnya.

Pernyataan Wiratno yang menyangkal soal relokasi tak sebangun dengan hasil rapat antara pejabat Taman Nasional Komodo dan Pemerintah Provinsi NTT yang sudah berencana memindahkan penduduk Komodo. Seorang pegawai pemerintah mengkonfirmasi hasil rapat pada 23 Juli 2019 itu. Gubernur Viktor punya ide memindahkan kios suvenir dari Loh Liang ke Loh Buaya di Pulau Rinca. “Pulau Komodo akan dikosongkan,” ucap pegawai ini.

Kepada wartawan, pada Agustus 2020 Viktor mengkonfirmasi rencananya tersebut. Ia menyatakan akan melarang pembangunan resor dan restoran di Pulau Komodo. Investor hanya diizinkan membangun hotel apung dengan kapasitas 80-100 kamar.

Keinginan Viktor itu tak sejalan dengan rencana PT Komodo Wildlife. Dokumen Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam perusahaan yang didirikan Rheza Herwindo, anak mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Setya Novanto—politikus Golkar dari NTT—menunjukkan akan ada 11 resor rumah pohon, kafe, dan pelbagai fasilitas wisata.

Dalam izinnya, PT Komodo mendapatkan konsesi 151,94 hektare pada 23 September 2014. Selain di Loh Liang, Komodo Wildlife memperoleh konsesi membangun fasilitas wisata seluas 274,13 hektare di Pulau Padar—30 menit naik kapal cepat dari Komodo. Di Padar, PT Komodo sudah mulai membangun mes pegawai.

Simpang-siur penataan kawasan ini membuat warga Pulau Komodo berdemonstrasi menolak kehadiran PT Komodo Wildlife. Penduduk menyoal ketidakadilan pemerintah terhadap masyarakat lokal dan investor. Menurut Alimudin, penduduk dilarang menambah area permukiman, sementara investor diberi izin membangun resor ratusan hektare.

Mereka bahkan menyoal konservasi komodo. “Penataan kawasan wisata mungkin ada manfaatnya,” kata Alimudin. “Tapi tak sebanding dengan kerusakan konservasi.” Bagi Alimudin dan penduduk Pulau Komodo lain, konservasi seharusnya hanya berlaku bagi masyarakat yang sudah lama tinggal di sana dan hidup berdampingan dengan komodo.

Wiratno menyangkal anggapan tentang ketimpangan akses itu. Menurut dia, dalam perubahan zonasi taman nasional 2020, wilayah permukiman diperluas menjadi 8,6 hektare. Dalam perubahan zonasi terbaru, permukiman berada di zona khusus yang bertambah menjadi 313 hektare dari 298 hektare pada 2012.

PT Komodo Wildlife tak memberikan konfirmasi mengenai rencana pembangunan resor baik di Komodo maupun di Padar. Direktur PT Komodo Wildlife Heri Pranyoto tak merespons pertanyaan melalui panggilan telepon ataupun surat. Lidia, pejabat PT Komodo yang mengurus perizinan dan hal teknis di lapangan, sempat mengangkat panggilan telepon Tempo. Namun ia buru-buru menutupnya dengan alasan sedang mengikuti rapat ketika tahu penelepon dari media.

Di luar persoalan dengan masyarakat, Wiratno menyadari penataan taman nasional akan berdampak pada komodo. Dibantu lembaga swadaya masyarakat Komodo Survival Program, pemerintah kini tengah menyusun penilaian dampak lingkungan. Selain diminta UNESCO—badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan Taman Nasional Komodo sebagai warisan dunia pada 1991—Wiratno ingin mengetahui apa saja dampak pembangunan resor terhadap hewan langka itu. “Sudah saya pasang kamera di tiap pulau,” ujarnya.

Menurut Kepala Balai Taman Nasional Komodo Lukita Awang Nistyantara, dampak pembangunan wisata di tiap pulau terhadap komodo baru akan terasa setelah lima tahun. Di pulau-pulau berpenghuni, komodo sudah terbiasa hidup berdampingan dengan manusia. “Kalau tak nyaman, mereka akan mencari lokasi lain,” ucap Achmad Ariefiandy, peneliti Komodo Survival Program.

Komodo di Pulau Rinca, kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, Oktober 2018. TEMPO/Tony Hartawan

Masalahnya, komodo telah membuat koloni di tiap pulau. Dua tahun lalu, sempat ada percobaan memindahkan hewan yang disebut ora oleh penduduk lokal itu dari Rinca ke Komodo karena habitat di sana lebih luas. Setahun kemudian, komodo yang diberi penanda itu kembali ke Rinca dan berkeliaran di sana. “Dia sanggup merenangi laut,” tutur Tiburtius Hani, peneliti Burung Indonesia.

Burung Indonesia rutin menyurvei habitat burung di sekitar taman nasional. Menurut Ria Saryanthi, Conservation Partnership Adviser Burung Indonesia, Pulau Komodo dan Rinca adalah habitat endemis kakatua kecil jambul kuning. Di Komodo, terdapat 1.113 ekor kakatua, jumlah yang menurut International Union for Conservation of Nature masuk kategori kritis. “Mereka sulit berkembang biak dan sensitif pada gangguan,” kata Yanthi—panggilan Ria Saryanthi.

Kakatua memerlukan pohon berbeda untuk tidur dan bersarang. Mereka membutuhkan pohon tinggi dan besar, seperti pohon asam, untuk dua keperluan itu. Kendati tak ada penebangan pohon dalam penataan wisata komodo, Yanthi menerangkan, suara bising mesin dan alat berat bisa membuat mereka tak nyaman tinggal di pulau ini. “Kalau suara bising, burung akan pindah meski mungkin balik lagi,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus