Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pasar layanan over-the-top video on demand makin besar.
Konten jadi kunci di bisnis video on demand.
Pemain lokal mencari strategi untuk bertahan di tengah sengitnya persaingan global.
GUSTIDHA Budiartie, Ardyan Erlangga, Wisnu Prasetyo, dan Putri Werdiningsih adalah empat konsumen video berbayar yang punya perilaku berbeda. Cara dan motivasi mereka melahap video berbayar dari perusahaan over-the-top (OTT) agaknya mewakili purwarupa konsumen ekosistem televisi dan bioskop masa depan yang mulai meledak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gustidha adalah fan berat drama dan musik pop Korea Selatan. Setidaknya dua jam setiap hari dia habiskan untuk menonton film dan serial Negeri Ginseng. Jika sedang maraton, durasinya bisa bertambah berjam-jam. “Ngabisin satu seri drama bisa sampai tiga hari,” kata karyawan sebuah badan usaha milik negara ini, Kamis, 31 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia sadar kudu merogoh kocek lebih dalam untuk memenuhi hobinya itu. Gustidha langsung berlangganan Viu dan Netflix begitu dua penyelenggara OTT video on demand (VOD) itu hadir di Indonesia. Sudah cukup? “Enggak, lah. Yang enggak ada di situ, gue nonton di grup Telegram yang ilegal,” kata Gustidha, tertawa. “Daripada babak-belur duitnya.”
Gustidha memang sempat berniat berlangganan ketika WeTV, salah satu pemain global OTT VOD milik Tencent, Cina, masuk ke Indonesia pada 2019. Selain menyodorkan drama Mandarin, WeTV menjajakan drama Korea.
Mantan wartawan ini tahu diri. Dia sudah terlalu banyak berlangganan VOD. Selain punya akun di Netflix dan Viu, dia pelanggan Disney+ Hotstar. Di platform OTT milik Walt Disney ini, Gustidha khusus mengejar film-film Avengers, Star Wars, dan keluaran rumah produksi Pixar. Dia juga sesekali menyewa film di Apple TV. Pun Gustidha masih kerap membeli slot konser online berbayar para bintang K-pop di platform V Live serta Weverse.
Sedangkan Ardyan adalah konsumen film yang rakus. Karyawan swasta ini berlangganan tiga platform OTT sekaligus: Netflix, HBO Max, dan Criterion Channel. Di Netflix dan HBO Max, Ardyan menonton film dan serial global kontemporer. Di Criterion, dia menonton film-film klasik hasil kurasi perusahaan pengedar DVD film asal Amerika Serikat tersebut. “Idealnya imbang antara film lama dan baru. Tapi enggak ada opsi itu dalam satu platform, selain bajakan dan streaming ilegal,” tutur pria 33 tahun ini. “Jadi langganan tiga ini jalan tengah terbaik.”
HBO Max dan Criterion sebetulnya belum bisa dinikmati langsung oleh penonton Indonesia. Ardyan menggunakan virtual private network (VPN) di perangkat mobile dan televisi pintarnya. Dia menghabiskan Rp 476 ribu per bulan untuk berlangganan ketiga OTT tadi. “Criterion langganan langsung setahun,” ujar Ardyan.
Putri adalah perpaduan antara pelanggan VOD musiman dan paket hemat. Dia hanya berlangganan jika ada tayangan yang lagi digandrungi tapi harganya terjangkau. Sempat berlangganan Netflix, dia berhenti karena merasa lama-lama harganya kemahalan. Putri beralih ke Disney+ Hotstar pada awal September 2020 dengan harga Rp 20 ribu per bulan, harga khusus pelanggan Telkomsel.
Sempat vakum dua bulan, Putri kembali berlangganan Disney+ Hotstar ketika platform OTT tersebut merilis film Mulan pada awal Desember lalu. “Sekalian buat memberi variasi tontonan anak di Disney,” ucap karyawan swasta sebuah perusahaan di Jakarta Selatan ini, Kamis, 31 Desember lalu.
Putri juga kepincut berlangganan WeTV ketika platform OTT asal Cina tersebut merilis serial My Lecture My Husband yang dibintangi Reza Rahadian dan Prilly Latuconsina. Kebetulan harganya cocok di kantong Putri, Rp 15 ribu per bulan. “Langganan WeTV baru mulai dua minggu lalu.”
Adapun Wisnu adalah tipe pelanggan “omnivora”, mau menonton segalanya, terlebih selama masa pandemi Covid-19. Dia berlangganan empat platform OTT sekaligus. Pengajar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini rela mengeluarkan ratusan ribu rupiah per bulan untuk berlangganan Netflix, Mola TV, Viu, dan Vidio.
Di Netflix, Wisnu menonton film dan serial global kontemporer. Untuk menonton drama Korea, dia lari ke Viu. Buat memenuhi hasrat menonton laga Liga Primer Inggris, Wisnu mengandalkan Mola. Dan untuk mengikuti liga Italia dan Spanyol, juga pertandingan lengkap Liga Champions, Wisnu memelototi Vidio. “Saya berlangganan OTT ini sejak pandemi, kecuali Mola,” kata Wisnu. “Lantaran susah ke luar rumah, saya terpaksa mencari hiburan sendiri.”
Dari Gustidha, Ardyan, Putri, dan Wisnu, kita mengetahui bahwa Netflix nyaris menjadi pilihan pertama konsumen platform OTT video on demand berbayar. Ini cocok dengan hasil riset pasar Media Partner Asia yang dirilis pada September 2020. Netflix tercatat memimpin pangsa pasar video on demand berbayar (subscriber video on demand/SVOD) di empat negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Singapura, Thailand, dan Filipina, dengan porsi 39 persen. Viu menyusul dengan pangsa pasar 17 persen.
Hingga triwulan kedua 2020, terdapat 10 juta pelanggan SVOD di empat negara tersebut, bertambah 3 juta dibanding triwulan sebelumnya. Pertumbuhan signifikan terjadi di Indonesia, Thailand, dan Filipina.
Netflix, yang mengandalkan film dan serial global, Amerika Serikat, juga drama Korea, serta membeli konten lokal, memiliki 3,3 juta pelanggan berbayar. Adapun Viu, berkat koleksi drama-drama Korea yang lengkap, menyusul dengan angka 2,2 juta pelanggan berbayar.
Di antara kepungan para pemain SVOD global, platform OTT Vidio milik PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek) menyodok di urutan empat besar di Asia Tenggara—empat negara. Menurut catatan Media Partner Asia, Vidio, yang hanya dominan di kalangan penonton Indonesia, telah memiliki 804 ribu pelanggan berbayar hingga pertengahan September 2020.
Rezky Yanuar, Vice President Brand Marketing Vidiocom, enggan mengkonfirmasi angka pelanggan berbayar Vidio yang dirilis Media Partner Asia. Namun, menurut dia, jumlah penonton bulanan Vidio sudah mencapai 60 juta pasang mata. “Itu total dari website dan aplikasi,” tutur Rezky lewat panggilan video pada Rabu, 30 Desember lalu.
Lalu di mana posisi para pemain SVOD lokal lain semacam Mola, GoPlay, serta Maxstream besutan Telkomsel dalam peta persaingan VOD lokal dan regional? “Kami enggak suka sharing data,” kata Mirwan Suwarso, perwakilan resmi Mola TV, Rabu, 30 Desember lalu.
Mirwan, yang bertahun-tahun mengembangkan MySuperSoccer—bisnis digital Grup Djarum lain—kini ditugasi oleh Victor Hartono, anak sulung pemilik Grup Djarum, Robert Budi Hartono, menggarap Mola TV di bawah bendera Polytron (PT Hartono Istana Teknologi). “Kami enggak perlu jadi yang terbesar, yang paling ngetop. Yang penting bermanfaat dan sehat,” ucap pria yang lama tinggal di Italia ini.
•••
SEBELUM membawa berkah, pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) mulanya memukul tulang punggung Vidio. Sejak Maret 2020, ketika pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar, dan liga-liga sepak bola dunia—termasuk liga lokal—dihentikan, Vidio sempat goyah. Pertandingan olahraga saat itu adalah content killer Vidio.
Mencari jalan keluar, Vidio akhirnya diselamatkan oleh dua hal. Pertama, manajemen menggratiskan semua siaran. Tidak ada langganan berbayar sebulan penuh sejak April. Kedua, Vidio menyodorkan konten andalan non-olahraga.
Pilihan jatuh pada koleksi film Warkop DKI, yang masih dibintangi oleh Dono, Kasino, dan Indro. Kebetulan koleksi film itu masih ada di bawah inventori Grup Emtek dan Surya Citra Media (SCTV dan Indosiar). “Kami dorong jadi content hero. Ternyata hasilnya luar biasa,” ucap Rezky Yanuar, Vice President Brand Marketing Vidiocom. “Mulai April kami juga mengakuisisi drama Korea. Salah satu yang lumayan sambutannya itu serial The World of the Married.”
Seperti yang dialami Vidio, pandemi membuat Mola TV putar otak mencari siaran pengganti liga Inggris yang sempat ditunda berbulan-bulan. “Pandemi ini mendadak menyuruh kami membuka kacamata,” kata Mirwan Suwarso.
Infografis: Rudy Asrori
Mola langsung jorjoran membeli konten siaran untuk anak-anak, juga buat ibu-ibu. Mola Kids tumbuh pesat di tengah pandemi. “Ternyata pasar untuk anak-anak besar sekali,” tutur Mirwan. Jadilah sekarang Mola yang kental dengan konten olahraga juga dilengkapi tiga topik siaran utama: film, kehidupan, dan anak-anak.
Bagi Alexander Rusli, konten adalah penentu dalam bisnis video on demand. Alex, yang sempat memimpin Iflix Indonesia—platform OTT asal Malaysia sebelum diakuisisi Tencent—mengaku sempat kedodoran mencari isi siaran lokal buat penonton Indonesia. “Sulit sekali mencari konten yang berkesinambungan. Akhirnya Iflix masuk mensponsori film dan serial juga,” ujar Alex pada Selasa, 29 Desember lalu.
Strategi itu berisiko bagi penyelenggara OTT yang napasnya pendek. Bahkan pemain global seperti Netflix, Alex menuturkan, masih menanggung risiko film atau siaran orisinalnya tidak laku.
Situasi inilah yang menurut Alex bakal menguntungkan Vidio. Penyelenggara OTT milik Emtek itu punya dukungan bank siaran yang luar biasa dari inventori SCTV, Indosiar, dan usaha Emtek lain.
Rezky Yanuar membenarkan. “Kami punya support luar biasa dari televisi. Vidio dibantu kakak-kakaknya,” tuturnya.
Tidak punya bank siaran seperti Vidio, Mola tetap percaya diri mengarungi bisnis padat modal ini. Menurut Mirwan, perusahaannya mencanangkan belanja konten senilai US$ 70 juta per tahun untuk membesarkan Mola. Bagi dia, angka tersebut cukup besar walaupun belum seberapa dibanding belanja konten Netflix pada 2019 yang mencapai US$ 14,6 miliar. “Netflix itu kan belanja untuk seluruh dunia,” kata Mirwan. “Kalau dipecah untuk Indonesia, mungkin kami bisa menyamai.”
Dibantu sokongan perangkat televisi pintar Polytron dan distribusi multisaluran, Mola percaya bisa mengejar jumlah pelanggan berbayar sampai 1 juta pasang mata. “Itu sudah break-even point, karena pasar kami juga internasional,” ujar Mirwan. “Kami sudah memproduksi konten global. Kami sudah punya kaki di Italia. Sebentar lagi merambah ke Asia Tenggara.”
Sementara itu, GoPlay, platform SVOD milik Gojek, masuk ke gelanggang dengan membawa film dan serial lokal. Tidak membeli putus hak siaran, GoPlay memilih strategi berbagi pendapatan, baik untuk siaran GoPlay Original, konten populer, maupun GoPlay Indie. “Model revenue sharing dapat menjadi stimulus bagi para sineas untuk terus giat meningkatkan kualitas karya mereka,” ucap Chief Executive Officer GoPlay Edy Sulistyo secara tertulis pada Kamis, 31 Desember lalu.
Paham dengan minat penonton Indonesia yang tinggi akan drama Korea, GoPlay menggandeng CJ ENM, perusahaan hiburan bagian dari Cheil Jedang Group. Dari kerja sama itu, GoPlay mendapat lisensi penayangan konten-konten TVN milik CJ ENM mulai Oktober 2020. “Kehadiran puluhan konten TVN melengkapi katalog konten lokal serta konten Asia Premium,” tutur Edy.
Di antara strategi bisnis para pemain lokal SVOD, agaknya Maxstream yang mengambil jalan paling berbeda. Bukannya menjadi penyedia layanan SVOD eksklusif, Maxstream berperan sebagai marketplace bagi platform OTT video on demand lain. Maxstream, misalnya, mengemas paket kuota Internet dengan akses langganan partner VOD mereka, seperti paket Maxstream Rp 69 ribu untuk akses HBO Go, Vidio, dan Viu dengan kuota 7 gigabita. Tentu saja layanan ini hanya bisa diakses di jaringan Telkomsel. “Kolaborasi bersama penyedia layanan VOD akan menjadi salah satu kekuatan dalam pengembangan platform layanan Maxstream,” kata Luthfi Cahya Wibisono, General Manager Video Telkomsel, lewat jawaban tertulis pada Rabu, 30 Desember lalu.
Pendek kata, Telkomsel membuat Maxstream bukan sebagai mesin penjual konten, melainkan alat bantu untuk menjual data. Berkat Maxstream dan layanan digital lain, bisnis digital Telkomsel tumbuh 10,6 persen secara year-on-year pada triwulan III 2020. Kontribusi lini digital terhadap total pendapatan Telkomsel mencapai 73,2 persen. “Pertumbuhan dan investasi yang berkelanjutan selama bertahun-tahun telah memungkinkan Telkomsel untuk mempercepat pertumbuhan bisnis digital,” ujar Luthfi.
Rezky Yanuar mengakui bisnis video on demand sangat seksi saat ini, persis seperti masa awal pertumbuhan e-commerce dan ride hailing. “Tapi jangan lupa, Hooq tutup. Iflix dibeli WeTV (Tencent),” kata Rezky.
Di tengah persaingan keras itu, seiring dengan gempuran para pemain global, Edy Sulistyo dan GoPlay percaya pada akhirnya industri VOD di Indonesia tidak akan menempatkan the winners take all. “Banyak hal yang dapat kami pelajari dari perusahaan global, termasuk bagaimana mereka berhasil membangun bisnis dan basis pengguna mereka,” tutur Edy.
Semangat itu tentu menguntungkan konsumen semacam Gustidha Budiartie, Ardyan Erlangga, Wisnu Prasetyo, dan Putri Werdiningsih tadi. Masih ada banyak pilihan video on demand untuk setiap kebutuhan dan kemampuan yang beragam.
KHAIRUL ANAM, AISHA SAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo