Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK biasanya korespondensi itu memakai kop surat Tangguh LNG. Tertanggal 22 Mei 2012, surat berbahasa Indonesia dan Inggris itu ditujukan kepada M.I. Zikrullah, Kepala Divisi Pemanfaatan Minyak dan Gas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Isinya: penyesalan dan kekecewaan Tangguh LNG karena Kepala BP Migas Raden Priyono membatalkan hasil tender penjualan spot empat kargo gas alam cair periode pengiriman Mei-Juni 2012.
Tujuh orang membubuhkan tanda tangan di surat sepanjang lima halaman itu. Mereka adalah perwakilan pemegang konsesi Blok Tangguh yang tergabung dalam Tangguh Partner, yakni BP Berau Limited, CNOOC Muturi, Talisman Wiriagar Overseas, Nippon Oil Exploration, KG Berau, MI Berau, dan Indonesia Natural Gas Resources.
Surat itu memperlihatkan betapa serius polemik penjualan gas yang terletak di Selat Bintuni, Papua Barat, tersebut. "Kami sangat terkejut dan kecewa menerima penolakan Kepala BP Migas terhadap rekomendasi pemenang tender," demikian penyesalan itu ditulis di halaman dua. Ditembuskan kepada Priyono dan Presiden BP Berau William Lin, surat dikirim satu pekan setelah BP menggelar tender spot penjualan empat kargo.
Dari 22 calon pembeli yang diundang tender, hanya 12 perusahaan mengirim faksimile balasan. Penawaran dibuka pada pukul 11.00-13.00. Tepat pukul satu siang, BP mengevaluasi proposal penawaran tiap peserta di ruang rapat C lantai 27 kantor BP Migas, Wisma Mulia, Jakarta.
Hasilnya, BP Singapore Pte Ltd terpilih sebagai pemenang kargo satu dan empat dengan nilai penawaran US$ 17,36 dan US$ 17,76 per mmbtu. Adapun Petronas LNG Ltd ditetapkan sebagai pemenang kargo tiga setelah memasukkan penawaran US$ 17,66 per mmbtu. Sedangkan kargo kedua tidak ada pemenang karena tawaran para pembeli di bawah harga estimasi (owner estimate). BP mengusulkan kargo kedua dijual kepada EDF Trading dengan mekanisme penunjukan langsung karena perusahaan asal Jepang itu mengajukan harga US$ 18,25 per mmbtu.
Malapetaka terjadi keesokan harinya. Pada 16 Mei 2012, Zikrullah mengirimkan memo kepada Priyono meminta persetujuan hasil tender. Yang terjadi, Priyono mencoret kata setuju. Ia menolak hasil tender karena dinilai tidak mengikuti arahan Kepala BP Migas agar ada jaminan pasokan gas dalam negeri.
Keputusan ini diteruskan oleh Zikrullah kepada BP Berau hari itu juga. Anak usaha BP itu diminta menggelar tender ulang, dengan memasukkan dua syarat tambahan di dalam dokumen invitation to bidder, yakni menggunakan bank umum nasional dalam transaksi pembayaran atau penerbitan surat kredit. Syarat kedua, ya, itu tadi, kesanggupan dari pemenang tender memasok gas buat kebutuhan domestik. "Syarat tersebut buat memastikan terpenuhinya pasokan dalam negeri," kata Zikrullah saat dihubungi pekan lalu. Dua syarat tambahan ini wajib dipenuhi calon pembeli.
Sejumlah sumber yang ditemui Tempo menyebutkan keputusan Priyono ini membuat para pemegang saham konsensi Blok Tangguh meradang. Itu sebabnya, dalam suratnya kepada Zikrullah, tujuh perwakilan Tangguh Partner menyatakan dua syarat tambahan itu sulit dipenuhi.
Pembatalan itu juga dinilai bertentangan dengan tata cara pelaksanaan tender yang disetujui BP Migas pada 9 Mei 2012. Merujuk pada dokumen tender, pemenang ditentukan berdasarkan harga penawaran tertinggi. Dua syarat tambahan BP Migas baru diterapkan bila ada lebih dari satu peserta menyodorkan angka penawaran yang sama.
Aturan main tender itu mengacu pada surat yang dikeluarkan Rudi Rubiandini, ketika itu Deputi Pengendali Operasi BP Migas, pada 27 April 2012. "Dua syarat itu merupakan opsi yang dapat dipilih dan bukan suatu keharusan," tulis Rudi Rubiandini dalam suratnya. Namun Rudi, yang saat ini menjabat Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Alam, mengatakan, "Saya tidak tahu kenapa aturan yang sudah dibuat itu dibatalkan oleh Kepala BP Migas."
Ada apa di balik pembatalan tender itu? Sumber Tempo di sejumlah lembaga pemerintah menyatakan dua persyaratan itu dipaksakan demi memenangkan P3 Global Energy (P3GE). Perusahaan yang berbasis di Thailand ini merupakan salah satu peserta tender tapi kalah karena menawarkan harga lebih rendah ketimbang peserta lain.
Di Indonesia, sepak terjang P3GE diwakili oleh Jeffrey Soebekti. Lelaki separuh baya itu kerap bertandang ke kantor BP Migas di Wisma Mulia. Bahkan beberapa kali Jeffrey terlihat keluar-masuk ruangan Priyono. Banyak karyawan BP Migas di level menengah mengenal pria ini sebagai sosok yang supel. "Dia tidak hanya baik kepada pejabat atas, tapi juga kepada para karyawan," kata sumber Tempo di BP Migas.
Sebelum kasus empat kargo itu mencuat, P3GE pernah mencoba mengadu peruntungan di Bontang pada akhir 2010, tapi gagal. Seorang pejabat Pertamina mengatakan, dari hasil verifikasi sebelum tender digelar, terkuak P3GE bukan perusahaan bonafide. Perusahaan ini tidak memiliki kriteria dasar sebagai perusahaan dagang gas (trader), di antaranya akses terhadap kepemilikan kapal dan terminal penerima LNG serta kredibilitas di tingkat internasional. "Gara-gara hal itu, kami sempat mendapat tekanan dari BP Migas," ujar sumber di perusahaan minyak pelat merah tersebut. Sejak kasus Bontang, P3GE rajin mengikuti tender.
Ketika dihubungi tiga pekan lalu, Jeffrey membantah bahwa ia memperoleh perlakuan khusus dari BP Migas. Menurut dia, satu kargo gas yang ia peroleh dari Blok Tangguh itu dibeli melalui mekanisme tender. Kargo tersebut dikirim ke Thailand. Kemudian ia buru-buru menutup telepon.
Sejak itu, Jeffrey selalu menghindar. Pesan pendek dan pertanyaan tertulis—termasuk soal kedekatannya dengan Priyono— yang dikirim ke kantornya tidak direspons.
PENJUALAN gas dari Blok Tangguh ke pasar spot bermula dari jatah gas milik Sempra LNG International yang dialihkan ke pembeli lain. Perusahaan asal Amerika Serikat ini tercatat sebagai salah satu pembeli gas Tangguh. Pada 2004, Sempra meneken kontrak pembelian gas selama 20 tahun dengan harga US$ 3,6 per mmbtu. Untuk meningkatkan nilai penjualan Tangguh, dibuatlah amendemen perjanjian jual-beli. Sempra setuju.
Tahun lalu, ada 8 kargo eks Sempra yang dialihkan ke pasar spot. Untuk pengiriman gas tahun ini, jatah pengiriman gas dari Tangguh buat Sempra cuma enam kargo. Sisanya, 55 kargo, dialihkan ke pembeli lain. Dari 55 kargo itu, ada 8 kargo yang tersedia buat pasar spot.
Nah, P3 Global Energy tercatat sebagai salah satu perusahaan yang ikut tender penjualan gas periode pengiriman November-Desember 2011. Harga yang diajukan P3GE cuma US$ 8,7 per mmbtu. Tender ini dimenangi Korea Gas Corporation (Kogas). Perusahaan pelat merah Negeri Ginseng ini mengajukan harga tertinggi untuk empat kargo, dengan nilai US$ 17,55-17,9 per mmbtu.
Zikrullah memperkirakan, jika transaksi dengan Kogas terlaksana, ada penambahan penerimaan sebesar US$ 229 juta atau sekitar Rp 2,2 triliun. Ini berdasarkan asumsi volume setiap kargo paling sedikit 3 juta mmbtu.
Namun Kogas memberi catatan. Perusahaan ini keberatan bila harus menerbitkan surat kredit (letter of credit/LC) dari bank nasional. Kogas beralasan mereka memiliki rekam jejak baik tanpa perlu menerbitkan LC. Mereka juga sudah lama menjalin hubungan dengan produsen gas alam cair Indonesia melalui skema kontrak pembelian jangka panjang dari Bontang. Kogas juga tidak mau mengembalikan kargo yang sudah dibeli buat memasok kebutuhan dalam negeri Indonesia.
Zikrullah lalu mengirimkan hasil tender tadi kepada Priyono pada 3 November 2011. Dalam suratnya, ia berpendapat penggunaan LC dalam negeri tidak dapat diterapkan karena kredibilitas Kogas tak perlu diragukan lagi. Ini bisa dilihat dari profil Kogas, yang tercatat sebagai pembeli gas alam cair terbesar di dunia pada tahun lalu, yakni 44 juta ton per tahun. Ditanya soal isi surat tersebut, Zikrullah menyatakan tidak ingat. "Harus saya cek dulu," katanya.
Saat itu, Priyono setuju Kogas ditetapkan sebagai pemenang tender empat kargo tadi. Tapi dia memberi catatan, pada penjualan gas berikutnya, dua syarat mengenai pembiayaan dari bank nasional dan jaminan untuk memasok kebutuhan dalam negeri harus diterapkan. "Ambil tindakan administrasi kepada pejabat BP yang tidak melaksanakan arahan BP Migas," demikian Priyono menutup memo tersebut. Sejumlah sumber Tempo mengatakan dua pasal tadi membuka peluang P3 Global Energy kembali ikut tender selanjutnya.
Ditemui di Wisma Mulia lantai 37 pada pertengahan November lalu, Priyono mengutarakan alasan munculnya dua syarat tersebut. Langkah itu, kata dia, ditempuh sebagai upaya pemerintah mengamankan sumber energi nasional. Itu sebabnya, pembeli diwajibkan memberi jaminan pasokan dalam negeri. "Ini proses perubahan paradigma," ujar Priyono, satu hari setelah BP Migas dibubarkan Mahkamah Konstitusi. Ia membantah anggapan bahwa P3 Global Energy ataupun Jeffrey Soebekti di balik sengkarut ini.
Lazimkah klausul itu? Menurut Kardaya Warnika, mengutamakan kebutuhan dalam negeri merupakan usaha mulia. Namun sebuah aturan tetap harus memperhatikan berbagai aspek. Mantan Kepala BP Migas ini mengatakan, dalam penjualan kontrak jangka panjang, persyaratan itu mungkin diterapkan. "Dalam penjualan spot, jelas tak masuk akal," kata Kardaya, Kamis dua pekan lalu.
Menurut pendahulu Priyono ini, syarat yang mengada-ada tadi hanya akan menutup peluang para pembeli pemakai (end user). Padahal mereka berpotensi membeli gas dengan harga premium. Apabila menjual melalui broker atau trader, keuntungan buat negara kurang optimal karena para pemain itu akan mengambil selisih dalam transaksi. "Persyaratan itu tidak logis. Saya kira tidak akan ada yang mau membeli," ujar mantan Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan Konservasi Energi itu.
Praktisi di industri gas alam cair, Yoga P. Suprapto, mengutarakan pendapat serupa. "Ini kan spot kargo. Di dalam bisnis LNG, siapa yang mau?" kata bekas Presiden Direktur Badak LNG Plant ini, awal November lalu.
Toh, BP Migas—kini bernama Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas—ngotot memasukkan dua syarat tadi. Sejumlah rapat antara BP dan BP Migas digelar sepanjang Maret-April tahun ini. Namun rapat-rapat tidak menghasilkan titik temu. Karena buntu, BP mengusulkan diterapkannya equity lifting, yakni penjualan gas dengan cara memisahkan porsi pemerintah dari bagian kontraktor.
Usul itu dibahas pada rapat Kamis pagi, 12 April 2012. Suasana tegang terasa di ruang rapat Badak, lantai 35 Wisma Mulia. Tak ada kata bulat dalam pertemuan. Menurut sumber Tempo, dari 19 peserta, 7 di antaranya perwakilan BP. Salah satunya Ani Retno, Marketing BP. Saat dimintai klarifikasi, Ani tak banyak bicara. "Saya tidak bisa komentar tentang hal itu," ujarnya.
Sikap BP membuat Priyono gerah. "Ada perlawanan dari BP sehingga kami minta Vice President BP Elijas Pudjianto keluar," kata Priyono. Menurut dia, tujuan dari kebijakan yang dijalankan adalah membuat sistem registrasi trader. Priyono berpendapat, jika ketentuan itu terlaksana, program ketahanan energi nasional gampang dicapai.
Priyono tidak cuma menggertak. Tak lama kemudian, Elijas dipindahkan ke BP Singapore Pte Ltd. Tapi seorang sumber mengatakan Elijas hanya ketiban pulung. Di dalam memo yang ditulis kepada Zikrullah pada 10 April 2012, Priyono sebenarnya membidik Presiden BP Berau William Lin.
Dihubungi melalui telepon pertengahan bulan lalu, Dharmawan Samsu, Head of Country BP Indonesia, menyatakan semua kebijakan yang diambil perusahaannya hanya menjalankan perintah BP Migas. "Kami tidak dapat memberi komentar seputar penjualan dan pemasaran," ujar Dharmawan dalam jawaban tertulis beberapa hari kemudian.
Yang jelas, satu bulan kemudian, pada aturan tender penjualan gas empat kargo tertulis dua syarat tadi merupakan opsi tambahan, bukan keharusan yang mesti dijalankan. Pemenang ditetapkan dari harga penawaran tertinggi. Dua syarat itu tetap dimasukkan sebagai penentu (tie-breaker) bila ada dua peserta tender atau lebih menyodorkan harga sama.
Selain tidak sesuai dengan aturan tender yang disetujuinya sendiri, alasan Priyono membatalkan tender demi pasokan dalam negeri tidak klop dengan hasil rapat koordinasi yang membahas kebutuhan gas dalam negeri. Rapat itu digelar di hari yang sama saat Priyono membatalkan hasil tender. Dihadiri wakil dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, BP Migas, PT Perusahaan Listrik Negara, dan PT Nusantara Regas, ikhtisar rapat itu menyatakan kebutuhan gas dalam negeri pada 2012 sudah terpenuhi. "Itu sebabnya, tawaran agar mengambil sejumlah kargo dari Tangguh ditolak Nusantara Regas," ucap Direktur Utama Nusantara Regas Hendrajaya.
Tarik-ulur setelah pembatalan tender masih berlangsung hingga awal Juni 2012. Priyono ngotot dua syarat tambahan itu wajib dilaksanakan. Di sisi lain, BP mesti berlomba dengan waktu. Sebab, tertundanya penjualan gas akibat pembatalan tender bisa berimbas pada kelebihan persediaan (high inventory). Bila situasi itu terjadi, pemotongan produksi—bisa mencapai 600 ribu barel setara minyak—menjadi salah satu opsi yang sulit terelakkan. Menurut kalkulasi perusahaan asal Inggris ini, terhentinya produksi gas dapat merugikan negara dan kontraktor sebesar US$ 75-250 juta.
Priyono akhirnya melunak. Pada pertengahan Juni, syarat agar pemenang tender menjamin pasokan dalam negeri dihapus pada penjualan spot periode Agustus-Desember 2012. Adapun untuk penjualan Juni-Juli 2012, Priyono setuju penjualan gas dilaksanakan melalui mekanisme negosiasi langsung. Meski begitu, dia meminta proyek itu tetap memakai perbankan nasional.
Masalahnya, sejak tender dibatalkan, harga gas di pasar spot terus merosot, menjadi US$ 12-15 per mmbtu. Itu sebabnya, para pembeli potensial dihubungi karena kargo LNG harus segera meninggalkan Teluk Bintuni. Petronas, misalnya, memboyong satu kargo dengan harga US$ 15 per mmbtu pada akhir Juni tahun ini. Dua kargo lain terjual ke Kogas seharga US$ 13 per mmbtu pada awal Juli. Masih di bulan yang sama, SK E&S membeli satu kargo di harga US$ 13 per mmbtu. Agar kargo kedua segera terjual, Priyono akhirnya membatalkan klausul mengenai keterlibatan bank dalam negeri untuk penjualan kargo tersebut.
P3 Global Energy akhirnya dihubungi oleh BP. Perusahaan perantara ini lalu menyodorkan harga US$ 15,6 per mmbtu untuk pengiriman akhir Juli. Meski P3GE sudah diberi "kesempatan", negosiasi putus di tengah jalan karena perusahaan ini tidak punya kepastian transaksi dengan PTT Thailand, sebagai pemakai (end user).
Meski sejumlah kargo bisa juga dilepas, sumber-sumber di pemerintahan menyebutkan penjualan itu mengurangi pendapatan negara. Selisih harga jual dari saat tender dibatalkan menyebabkan penerimaan negara berkurang US$ 47,82 juta atau sekitar Rp 430,38 miliar. "Selisih itu adalah kerugian," kata Kardaya. l
Tim investigasi Kepala Proyek: Muchamad Nafi Penulis: Agung Sedayu, Muchamad Nafi, Yuliawati Penyunting: Philipus Parera, Purwanto Setiadi, Yandhrie Arvian Penyumbang Bahan: Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Rofiqi Hasan (Bali) Riset Foto: Ratih P. Ningsih Bahasa: Iyan Bastian, Sapto Nugroho, Uu Suhardi Desain: Djunaedi, Agus Darmawan Setiadi |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo