Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK sulit mencari gedung Suntec Tower Four di Singapura. Terletak di Temasek Boulevard, gedung ini bisa dicapai dengan berjalan kaki dari Stasiun Mass Rapid Transit City Hall, menyusuri pertokoan CityLink Mall dan Suntec City Mall. Pertengahan Oktober lalu, Tempo mampir ke gedung ini. Menurut data pusat informasi bisnis ACRA, P3 Global Energy Pte Ltd, atau P3GE cabang Singapura, berkantor di sini.
Perusahaan minyak dan gas ini dimiliki pengusaha Thailand, Poawpadet Vorabutr. Dokumen dari ACRA menyebutkan P3GE didaftarkan di Singapura pada Agustus 2011 sebagai perusahaan terbatas dengan modal US$ 1. Kantor pusatnya di Thailand. Ada dua warga Singapura dalam struktur pengurus perusahaan, yakni Tan Sze Lian Celine dan Lim Wan Hoon, masing-masing sebagai sekretaris dan direktur.
Di Indonesia, perusahaan ini diwakili oleh Jeffrey Soebekti, yang juga Presiden Direktur PT Karya Bumi Lestari. Kantornya di lantai 30 The City Tower, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Terakhir Karya Bumi tercatat sebagai agen Haver & Boecker OHG German, yang bergerak di bidang peralatan tambang. Sedangkan pada database Kementerian Perdagangan yang diakses secara online, perusahaan ini tercatat pada akhir Mei 2010 sebagai agen tunggal Grypon Energy Sdn Bhd, Malaysia.
Mengatasnamakan P3GE, Jeffrey membawa proposal penawaran kepada para pejabat yang mengurus transaksi gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG). Sumber Tempo di Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) bercerita, ketika lembaga ini masih aktif, Jeffrey sering bertandang ke sana, mengetuk semua pintu dari ruang staf hingga BP 1-sebutan untuk Kepala BP Migas Priyono.
Karena P3GE tak punya kantor perwakilan resmi di Indonesia, Tempo lalu ke Singapura untuk mencari tahu profil detail perusahaan ini. Maka tibalah Tempo di Blok #09-05 Suntec Tower Four siang itu, bersesakan dengan banyak tamu lain. Ternyata itu alamat sebuah perusahaan vehicle bernama Portcullis Trustnet (Singapore) Pte Ltd, yang kantor pusatnya di British Virgin Island. Dan Tan Sze Lian Celine rupanya direktur sekaligus sekretaris di perusahaan yang antara lain menawarkan jasa "menyiapkan struktur untuk akumulasi dan menjaga aset-aset secara rahasia dan irit pajak" itu.
n n n
BEBERAPA pengusaha minyak dan gas mengatakan baru mendengar nama P3GE di Indonesia 2-3 tahun terakhir. Antara lain, perusahaan ini sempat menjadi topik panas di kalangan terbatas pengusaha minyak dan gas lantaran menjadi penyebab cekcoknya Pertamina dan BP Migas.
Itu terjadi pada akhir 2010. P3GE mencoba ikut dalam tender penjualan spot 12 kargo LNG di Bontang, Kalimantan-berasal dari Blok Mahakam yang dioperasikan oleh Total E&P Indonesie. Pertamina ditunjuk pemerintah untuk menjual jatah negara.
Pertamina memulai proses prakualifikasi pada awal November 2010. Mereka mengundang delapan perusahaan yang memiliki reputasi tepercaya untuk pemilihan langsung, di antaranya Chevron, British Gas, Shell, dan Marubeni.
Saat proses tender berlangsung, sumber Tempo bercerita, Kepala BP Migas Priyono meminta agar P3GE diikutkan. Ceritanya, Deputi Keuangan BP Migas saat itu, Wibowo Suseno Wirjawan, sampai menemui pihak Pertamina di sebuah restoran di Jakarta untuk membicarakan hal ini.
Mengaku lupa tentang pertemuan itu, Wibowo mengatakan BP Migas ingin memasukkan trader karena hendak membuka diri kepada calon pembeli yang lebih luas. "Saat itu, spiritnya Pak Priyono meminta Pertamina tidak hanya bergantung pada traditional buyer," ujarnya Senin pekan lalu.
Lobi terpaksa dilakukan karena Pertamina menetapkan persyaratan ketat dalam memilih pembeli kargo LNG Bontang. Beberapa di antaranya: ketersediaan kapal angkut dalam periode yang ditentukan, punya akses ke terminal penerima LNG, memiliki pengalaman dalam transaksi LNG di Asia minimal 3 tahun, dan mampu secara finansial. Dengan syarat itu, P3GE gagal masuk.
Harry Karyuliarto, yang kala itu menjabat Kepala Bidang Usaha LNG Pertamina, mengatakan utusan P3GE malah pernah datang ke kantornya, meminta diberi kesempatan membeli kargo LNG. "Tapi saya jelaskan harus lewat tender dan tanggung jawab pembeli harus jelas," kata Harry, yang saat ini Direktur Gas Pertamina.
Terhadangnya P3GE membuat BP Migas-1 marah. "Situasinya ruwet. Pertamina saat itu posisinya hanya mendapat perintah, jadi lebih baik memilih mundur," ujar sumber Tempo yang kala itu ikut mengurus penjualan ini. Akhirnya, pada Januari 2011, Pertamina mengundurkan diri sebagai penjual gas jatah negara di Bontang.
Setelah Pertamina mundur, Total mengambil alih proses penjualan. Ke-12 kargo tersebut akhirnya dilego ke Jepang seharga US$ 13/mmbtu. Jepang berani beli mahal karena memerlukan banyak gas akibat reaktor nuklir Fukushima yang bocor karena terjangan tsunami.
Banyak yang membenarkan adanya ribut-ribut ini, termasuk Kardaya Warnika, mantan Kepala BP Migas. "Saya pernah dengar konflik Pertamina dan BP Migas itu," katanya pekan lalu.
Tapi Priyono mengelak. Dia mengatakan perselisihan itu terjadi karena Pertamina tak mau mempertemukan dia dengan end user. "Kalau mereka tak mau mengakui BP Migas yang ditunjuk sebagai penjual, bagaimana, dong?" ucapnya ketika ditemui di kantornya di Wisma Mulia, Jakarta, pertengahan November lalu.
Priyono juga mengaku tidak mengenal Jeffrey. Dia bilang pengusaha yang masuk-keluar kantornya sangat banyak. "Tamu terbuka buat datang."
Tiga hari berturut-turut, Tempo menunggui Jeffrey di kantor PT Karya Bumi Lestari untuk meminta konfirmasi semua informasi itu. Ditunggu dari pagi hingga sore, dia tak muncul. "Pak Jeffrey ke Kuala Lumpur, besok Rabu pulang," kata resepsionis kantor itu, Senin pekan lalu. Namun, hingga Rabu sorenya, Jeffry tak juga tampak. Pertanyaan tertulis juga tak dijawab.
n n n
GAGAL di Bontang, tahun lalu P3GE akhirnya mendapatkan jatah satu kargo LNG dari pasar spot Tangguh, yang kemudian dijual lagi kepada perusahaan milik Thailand, PTT. Jual-beli pada Juli 2011 ini dilakukan tanpa tender.
Lalu, akhir tahun lalu, P3GE kembali ikut dalam tender penjualan empat kargo spot Tangguh. Dalam urusan tender yang ini pun P3GE diperantarai oleh Jeffrey. Tapi kali ini gagal. Harga yang dia tawarkan beberapa dolar di bawah pembeli lain, yang rata-rata end user.
Seperti yang terjadi di Bontang, kegagalan P3GE membuat BP Migas marah. Kali ini yang jadi sasaran BP Indonesia, pihak yang ditunjuk untuk menjual gas jatah pemerintah Indonesia. Yang jadi korban di antaranya staf senior di BP Indonesia, Elijas Pudjianto. Dia akhirnya dipindahkan ke Singapura. "Karena dia tidak mau registered trader," ujar Priyono beralasan. Pihak BP ataupun Elijas, yang dihubungi Tempo, menolak berkomentar soal ini.
Satu lagi jejak P3GE di Indonesia dapat ditemui di Bali. Bersama Pemerintah Provinsi Bali, Italian-Thai Development, dan beberapa investor dalam negeri, mereka hendak membangun terminal penerima LNG di Desa Patas, Celukan Bawang, Buleleng.
Kerja sama dilakukan melalui perusahaan yang didirikan lima tahun lalu, PT Bali Global Energy. Ketut Sutanta, Presiden Direktur Bali Global Energy, membenarkan hal ini. "Tapi saya lebih dekat dengan Mr. Poawpadet Vorabutr daripada dengan Pak Jeffrey. Dia itu, ya, businessman saja," kata Sutanta, yang ditemui di Bali, pertengahan November lalu. Dia mengatakan mereka ingin menjadi penyuplai gas bagi tiga pembangkit listrik di Bali: pembangkit listrik tenaga uap (PLTGU) di Pemaron, Buleleng; PLTGU Gilimanuk; dan pembangkit listrik tenaga gas di Pesanggaran, Denpasar.
Tempo sempat berkunjung ke lahan seluas dua hektare yang akan disulap menjadi terminal LNG itu. Ini merupakan tanah pesisir, bekas permukiman dan kebun pisang. Sebagian mulai diratakan.
Awal November lalu, sebagaimana dilaporkan Kantor Berita Antara, sekelompok warga Celukan mendatangi lokasi proyek membawa spanduk bertulisan "Stop Proyek PLTU Sebelum Tuntas Sertifikat Warga". Warga mengatakan ada sekitar 20 keluarga telah menerima ganti rugi atas tanah mereka. Namun Sutanta kepada Tempo mengatakan sudah melunasi ganti rugi lahan. Dia menegaskan, investor menyediakan investasi Rp 3,5 triliun untuk proyek ini dan mengklaim mendapat dukungan Made Beratha, mantan Gubernur Bali.
Putaran Bisnis Gas Alam Cair
BERBEDA dengan penjualan minyak, proses penjualan gas alam cair (liquefied gas natural/LNG) biasanya melalui rangkaian yang panjang. Persiapan khusus perlu dilakukan, mulai penyimpanan LNG yang mesti memakai tangki khusus hingga suhu yang harus minus 160 derajat Celsius. Kapal pengangkutnya pun tak bisa sembarangan. Proses yang rumit ini membuat LNG hanya dijual kepada pedagang yang memenuhi syarat.
Kilang Tangguh LNG
Tangguh merupakan pusat LNG ketiga di Indonesia, selain Arun (Aceh) dan LNG Bontang (Kalimantan Timur). Proyek diawali dengan kesepakatan antara BP, yang berbasis di London, Inggris, dan pemerintah, yang diwakili Pertamina, pada 1997. Pada 2005, pemerintah mengizinkan proyek Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat. Pada 2007, proyek Tangguh mendapat pembiayaan US$ 3,5 juta dari beberapa bank internasional untuk pengembangan kilang LNG. Kontrak penjualan gas dengan pemerintah berlaku 25 tahun, berakhir pada 2034.
Pemegang Saham
Kapasitas
Penjualan LNG
Renegosiasi Sempra
Tarik-Ulur 4 Kargo Eks Sempra
Tender 15 Mei 2012
Realisasi (Juni-Juli 2012)
Selisih Rugi
Jawara Bisnis LNG
Pendatang Baru dari Thailand
PTT LNG Company Limited
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo