Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENDERA, spanduk, umbul-umbul, segala atribut organisasi kemasyarakatan atau partai politik yang dipasang di posko-posko banjir, memang membuat risi. Apalagi bila ada spanduk memuat foto ketua partai, dan di lokasi kita menemukan "sukarelawan" membagi-bagikan baju gratis bersablonkan logo organisasi tertentu. Tidak terlalu salah jika kemudian Gubernur Joko Widodo menyindir gejala itu sebagai kampanye terselubung atau promosi politik murahan.
Sepatutnya memang hal tersebut ditertibkan. Perlu ada aturan keras karena ini menyangkut etika politik. Tak dimungkiri, korban banjir butuh bantuan makanan, minuman, obat-obatan, pakaian, dapur umum, mobil ambulans, dan tempat menginap alternatif. Mereka tak begitu peduli dari mana pertolongan pertama itu. Pemberian siapa pun bisa ditampung karena sifatnya darurat. Pemerintah sering pula kurang sigap, keteteran, senantiasa tak ada koordinasi yang baik dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan sebagainya. Sebaliknya, organisasi politik sering lebih sigap tanggap.
Situasinya baru tak sedap ketika kebaikan itu mulai terlihat penuh pamrih. Fatwa Kitab Suci—jika memberi derma atawa sedekah, janganlah tangan kiri tahu apa yang dilakukan tangan kanan—menjadi basi di sini. Banjir rawan segala macam ekshibisionisme partai. Ia menjadi pameran kompetisi antarpartai meraih simpati publik. Partai-partai pun lalu mendirikan posko masing-masing, dengan tujuan merayakan citra. Akibatnya, urusan penanganan bencana kehilangan sinkronisasi dan sinergi satu sama lain.
Di negeri ini, politik pencitraan memang sudah sampai pada tingkat yang menggelikan. Di jalan-jalan, kita diintervensi oleh spanduk kongres atau ulang tahun partai, lengkap dengan wajah para kandidat pemilihan kepala daerah yang diramah-ramahkan, centang-perenang ditempelkan di pohon-pohon dan tiang listrik. Kota tak hanya kotor dan sumpek, tapi juga norak tanpa cita rasa. Paling celaka bila bencana alam pun dijadikan "momentum" terbaik mendongkrak citra.
Para politikus seolah-olah meyakini "show" amal di arena bencana paling efektif untuk meraih popularitas di mata masyarakat. Di Yogyakarta, misalnya, ketika Gunung Merapi meletus, siapa pun bisa melihat setiap hari datang berbondong-bondong mobil milik berbagai organisasi, yang membagikan barang berlabelkan stiker organisasi pula. Lokasi penampungan korban bencana dipenuhi bendera ormas. Di beberapa lokasi bahkan terpajang spanduk ucapan selamat datang kepada ketua umum partai. Dalam momen banjir terakhir di Jakarta ini, kita melihat ada satu partai yang mengoptimalkan anggota cabang, anak cabang, dan ranting untuk membuat spanduk langsung di kawasan penampungan korban bencana.
Menurut perkiraan, banjir di Jakarta akan mencapai puncaknya pada Januari 2013. Jangan sampai pada saat itu terjadi politisasi bantuan yang vulgar. Barang-barang bantuan, misalnya, bisa disalurkan melalui kelurahan, bukan dari tenda-tenda partai. Bila perlu, ditegakkan aturan pengutipan biaya bagi pemasangan spanduk partai dan ormas, seperti yang berlaku pada pemasangan iklan luar ruang. Hasil pengumpulan uang itu akan disalurkan sebagai bantuan kepada korban bencana juga. Berhentilah bermain dengan korban bencana, karena "permainan" itu sesungguhnya akan makin menjatuhkan citra—bukan sebaliknya.
berita terkait di halaman 22
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo