Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua mobil boks parkir di samping Pasar Pramuka, Jakarta Timur, yang bersebelahan dengan los penjaja burung kicau. Beberapa laki-laki muda yang sedang duduk di selasar pasar, di antara keriuhan kios obat, bergegas menghampiri mobil itu. Setelah membuka pintu, mereka menurunkan kotak-kotak yang bercap aneka logo perusahaan farmasi.
Setelah nomor kendaraannya dicari di aplikasi pengecekan milik Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, terungkap satu mobil berkelir kuning adalah milik perusahaan ekspedisi yang sudah melantai di bursa. Di sebelahnya, ada mobil pelat hitam yang awaknya sedang sibuk menurunkan kotak berlogo Enseval—distributor obat milik PT Kalbe Farma Tbk.
Apa yang disaksikan Tempo di Pasar Pramuka pada awal Oktober 2019 itu merupakan praktik “buang obat” perusahaan farmasi. Mereka melempar obat yang tak terserap konsumen ke Pasar Pramuka, yang terkenal sebagai surga obat harga murah. “Biasanya buang obat ini akhir bulan,” kata Koko Darmadji—bukan nama sebenarnya—salah seorang medical representative Kalbe Farma. Medical representative (medrep) adalah karyawan perusahaan farmasi yang bertugas memasarkan produk dengan dibekali target penjualan.
Koko tak ingin nama dan identitasnya diungkap karena dia masih berstatus pegawai Kalbe. Pria 30 tahun itu mengaku praktik buang obat jamak dilakukan karena ada target penjualan, sementara daya serap rendah. Selain itu, ada faktor persaingan dengan obat generik di rumah sakit.
Persaingan antarpabrik obat dan tingginya target penjualan yang tak sebanding dengan daya serap membuat medrep dan penjual obat lain harus putar otak, mencari cara serapan baru. Praktik buang obat klop dengan tabiat masyarakat Indonesia yang lebih senang membeli obat tanpa resep dokter karena tahu merek yang direkomendasikan untuk tiap gejala penyakit.
Koko Darmadji mengakui buang obat merupakan modus medrep tiap kali target penjualan tak tercapai. Koko mencontohkan, jika masih kurang pendapatan Rp 10 juta dari Rp 163 juta target penjualan yang harus tercapai dalam satu bulan, ia menghubungi para penjual obat di Pramuka. “Hubungi kokoh-kokoh itu lalu berikan diskon besar,” ujarnya.
Diskon besar itu ditutupi Koko dari uang pribadinya. Para medrep, seperti Koko, lebih rela pendapatan berkurang ketimbang kehilangan bonus akibat tak mencapai target yang dibebankan. Toh, kata Koko, pemberian diskon kepada penjual obat Pasar Pramuka di bawah bonus yang akan mereka terima.
Bonus medrep yang mencapai target biasanya tiga kali lipat gaji mereka yang mengacu pada upah minimum regional Jakarta. Dengan cara buang obat, menurut Koko, ia selamat dengan tetap mendapatkan bonus, perusahaan tak menumpuk produk, penjual obat bisa terus berbisnis, dan konsumen memperoleh obat dengan harga murah.
Pasar Pramuka berdiri pada 1975. Di pasar yang pengelolaannya berada di bawah Perusahaan Daerah Pasar Jaya ini terdapat 403 kios penjual obat yang mayoritas mengantongi izin operasi sebagai pedagang eceran obat. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1331/MENKES/SK/X/2002, pedagang eceran hanya boleh menjual obat bebas dan jenis obat bebas terbatas yang diproduksi dalam bentuk kemasan.
Obat “bebas terbatas” dulu dikenal sebagai obat W, yang bisa dibeli tanpa resep dokter. Sedangkan obat keras serta obat narkotik dan psikotropika wajib mendapat resep. Sesuai dengan aturan, pedagang eceran hanya memiliki asisten apoteker sehingga tidak boleh melayani resep dokter, bahkan dilarang menyimpan obat resep. “Hanya apotik yang boleh,” ucap Inspektur Utama Badan Pengawas Obat dan Makanan Reri Indriani.
Faktanya, Tempo memperoleh obat keras dengan mudah di Pasar Pramuka. Kami membeli Clavamox. Obat yang diproduksi Kalbe Farma ini biasanya diresepkan dokter untuk pasien yang terkena infeksi saluran kemih. Obat ini kami tebus dengan harga Rp 15 ribu per tablet, di bawah harga apotek umumnya senilai Rp 18 ribu per tablet.
Obat lain adalah Truvaz, yang biasanya diresepkan dokter untuk pasien jantung. Obat yang diproduksi Kalbe Farma ini memiliki kandungan aktif atorvastatin untuk menurunkan kolesterol jahat dan trigliserida dalam darah. Di Pramuka, obat ini dijual Rp 20 ribu per tablet, lebih murah Rp 2.000 dibanding di apotek terdaftar.
Seorang medrep lain, Anton Mansyur, mengiyakan apa yang diungkapkan Koko Darmadji. Anton sendiri tak punya jabatan resmi dan formal dalam sengkarut jejaring bisnis obat ini. Tapi dia punya pengalaman 15 tahun sebagai makelar yang menghubungkan medrep dan penjual obat di pasar-pasar. Ia menyebut dirinya sebagai salesman freelance.
Anton mengatakan para penjual obat dari perusahaan distributor harus selalu memegang uang tunai untuk bonus bagi pedagang obat atau salesman freelance seperti dia. Karena itu, para salesman kerap bekerja sama dengan para medrep perusahaan farmasi dalam memberikan diskon. Keduanya memiliki tekanan mengejar target penjualan tiap bulan agar mendapatkan bonus.
Menurut Anton, diskon merupakan mantra ampuh dalam bisnis obat “asli tapi palsu” ini. Para salesman freelance, kata dia, punya jaringan yang luas ke pedagang obat dan bisa menerbitkan faktur palsu pemesanan obat.
Anton mengatakan para penjual obat dari perusahaan distributor harus selalu memegang uang tunai untuk bonus bagi pedagang obat atau salesman freelance seperti dia. Karena itu, para salesman kerap bekerja sama dengan para medrep perusahaan farmasi dalam memberikan diskon. Keduanya memiliki tekanan mengejar target penjualan tiap bulan agar mendapatkan bonus.
Aktor lain dalam proses buang obat, menurut Anton, adalah kepala farmasi atau kepala bagian pembelian obat di rumah sakit. Mereka bertugas mengeluarkan faktur pemesanan obat sehingga seolah-olah obat tersebut diterima rumah sakit padahal langsung didistribusikan ke pasar gelap.
Dibanding faktur yang dibuat salesman freelance seperti Anton Mansyur, faktur pemesanan obat yang mereka keluarkan lebih bonafide karena atas cap pemesan asli. Christian, mantan medical representative Kalbe Farma, bersaksi, selama dia bekerja, praktik buang obat dengan melibatkan rumah sakit acap ia lakukan. Pihak rumah sakit juga bersedia melakukannya karena upahnya cukup menggiurkan. Setiap bulan, pejabat yang menandatangani faktur pembelian palsu mendapat Rp 5-10 juta.
Menurut Christian, praktik buang obat seperti ini lazim dilakukan pejabat rumah sakit. Salah satunya Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih di Cawang, Jakarta Timur. “Budhi Asih sempat kencang melakukan buang obat, sekarang sudah jarang,” ujar Christian.
Wakil Direktur Budhi Asih, Endah Kartika, tak menampik kabar ihwal adanya pegawai Budhi Asih yang bermain mata dengan medrep dan salesman. “Dulu pernah ada permainan pembelian ini, dijalankan oleh dua orang, tapi keduanya sekarang sudah tidak bekerja di sini,” katanya ketika ditemui di ruang kerjanya, pekan lalu. Endah mengklaim praktik buang obat itu bukan kebijakan rumah sakit, melainkan ulah beberapa orang pegawai saja. Ia mengatakan sedang memperbaiki tata kelola rumah sakit untuk memastikan hal serupa tidak terulang.
Bernadus Karmin Winata, Direktur PT Kalbe Farma Tbk, mengaku pernah mendengar soal buang obat. Namun ia menegaskan bahwa Kalbe tidak pernah melakukan hal tersebut. “Itu oknum,” ucap Karmin. “Sewaktu ada obat palsu, kami juga diperiksa karena dianggap tidak bisa mengontrol peredaran obat.”
Obat-obat Entertain
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo