Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Syarifuddin, calo yang selalu berkeliaran di Kantor Imigrasi Kelas II Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, membuat paspor baru itu perkara mudah. Kepada Tempo, dia bercerita bisa menguruskan penerbitan paspor walau tanpa kartu tanda penduduk. "Di sini sudah ada jaringannya," kata pria asli Nunukan itu, November tahun lalu.
Jaringan makelar paspor, menurut Syarifuddin, melibatkan staf kantor imigrasi setempat. Paspor selesai hanya dalam sehari. Tapi biayanya berkali-kali lebih mahal, Rp 3-4 juta, tergantung nego. Tarif resminya cuma Rp 100 ribu untuk paspor 24 halaman dan Rp 300 ribu untuk 48 halaman. Padahal, kalau mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlalu pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tarif paspor 24 halaman untuk calon pekerja migran bahkan bisa nol rupiah.
Calon tenaga kerja Indonesia yang hendak mengadu nasib ke Malaysia tanpa perantaraan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) banyak yang membuat paspor di Nunukan. Tempat ini menjadi pilihan karena dekat dengan Tawau dan memiliki banyak "jalur samping" untuk menyelundup ke kota di Negara Bagian Sabah, Malaysia, itu.
Mereka menyukai jalur samping karena lebih cepat. Menjadi TKI lewat jalur resmi pemerintah, menurut mereka, prosesnya lama, bayarannya pun tidak sedikit. Sebaliknya, masuk Tawau sebagai pelancong biasa, hanya berbekal paspor, atau lewat "jalur samping", prosesnya lebih cepat.
Tahun lalu, sepanjang Januari-Agustus, BP3TKI Nunukan hanya menempatkan 1.647 TKI, atau rata-rata 205 TKI per bulan, di Sabah. Tapi, pada periode yang sama, Imigrasi Nunukan mengeluarkan hingga 16.797 paspor, yakni sekitar 2.100 paspor setiap bulan.
Pencari kerja yang tidak membawa identitas resmi atau sengaja ingin menyembunyikan identitas aslinya pun mudah memperoleh paspor di Nunukan. Jaringan pembuat paspor sanggup menyediakan KTP, kartu keluarga, hingga ijazah. Tentu saja semuanya palsu. Sepaket, ketiga dokumen ini dapat ditebus Rp 250-350 ribu per orang.
Tempo memperoleh fotokopi tujuh KTP yang disuplai jaringan Syarifuddin. Alamat yang tertera pada semua KTP sama, Jalan Benteng Batu, Desa Baruppu, Kecamatan Baruppu, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Tanggal terbitnya 16 Oktober 2013, dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Toraja Utara. Imigrasi menerbitkan paspor untuk ketujuh orang itu pada Agustus tahun lalu.
Nyatanya, semua identitas itu palsu. Camat Baruppu, Yunus Duma, melalui telepon menegaskan tidak ada desa di Toraja Utara bernama Baruppu. Yang ada Desa Baruppu Benteng Batu, Baruppu Parodo, Baruppu Selatan, dan Baruppu Utara. "Apakah nama-nama yang Anda sebutkan tadi benar warga kami atau bukan, harus dicek lagi," katanya.
Setelah ditelisik, ketujuh orang tersebut rupanya berasal dari Kabupaten Bulukumba dan Takalar di Sulawesi Selatan serta Kabupaten Timur Tengah Selatan dan Kupang di Nusa Tenggara Timur.
"Imigrasi kan tidak mungkin memeriksa semua aplikasi," kata Kepala Imigrasi Nunukan I Nyoman Gede Surya Mataram, ketika Tempo bertanya tentang identitas palsu tersebut pada Desember tahun lalu. Menurut dia, sumber daya mereka terbatas sehingga tidak sanggup mendeteksi keaslian dokumen setiap pemohon paspor. Dia juga membantah tuduhan bahwa anak buahnya memungut biaya pembuatan paspor melebihi ketentuan.
Nyoman mengatakan Imigrasi mengecek keaslian dokumen kependudukan pemohon paspor hanya jika ada kecurigaan. Misalnya terdapat perbedaan mencolok antara usia yang tertera di KTP dan penampilan fisik pemohon. Biasanya mereka lalu menyurati pemerintah daerah untuk bertanya. Paspor hanya diterbitkan setelah ada konfirmasi dari pemerintah daerah.
Analis Kebijakan Migrant Care—organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang advokasi buruh migran Indonesia—Wahyu Susilo mengatakan memang banyak pencari kerja yang meninggalkan daerahnya tanpa membawa dokumen kependudukan lengkap. Itu sebabnya berkembang jasa pembuatan paspor dengan dokumen palsu. "Menurut informasi yang kami peroleh, lebih dari separuh calon TKI di Nunukan membuat paspor dengan dokumen asal-asalan," katanya pada Kamis dua pekan lalu.
Hal serupa terjadi di Tawau. Tahun lalu, Konsulat Republik Indonesia (KRI) setempat menerbitkan hingga 12 ribu paspor baru untuk TKI di Tawau.
Saat membuat paspor di KRI Tawau, menurut Wahyu, TKI masuk jerat mafia dokumen. "Visa dan izin kerja diperdagangkan, sehingga sering ada perbedaan identitas antara paspor TKI dan kedua dokumen itu," ujarnya. Perbedaan data pada dokumen, menurut dia, kerap menjadi masalah bagi TKI ketika berurusan dengan hukum.
Menurut Petrus Atulangu, seorang "pengurus" TKI di Nunukan, lebih mudah mengurus paspor di KRI Tawau ketimbang di Nunukan. Cukup berbekal surat izin kerja dari pemerintah Malaysia, TKI ilegal bisa mendapatkan paspor dari KRI. "Mafia ini terkoordinasi," ujar Petrus. Ia mengatakan jaringan makelar dokumen terhubung dengan majikan perusahaan dan pegawai KRI.
Akibatnya, ongkos yang dibayar TKI jadi berlipat-lipat. Seorang "pengurus" TKI di Tawau—biasa dipanggil cukong—bercerita kepada Tempo, biaya pembuatan paspor mencapai 1.000 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 3,5 juta. Ini jauh lebih mahal daripada tarif resmi yang hanya 47 ringgit untuk paspor 24 halaman dan 102 ringgit untuk 48 halaman.
Praktek yang lumrah terjadi, pemberi kerja lebih dulu membayar biaya pembuatan paspor, kemudian memotong gaji TKI setiap bulan untuk menebusnya. Karena TKI dianggap berutang, paspor mereka disimpan oleh majikannya.
TKI yang mengurus sendiri pembuatan paspor ke KRI juga diperas, seperti diceritakan Hermawati—bukan nama sebenarnya. Perempuan muda asal Sulawesi Selatan itu membuat paspor setelah masuk Tawau secara ilegal tahun lalu. "Di konsulat seorang petugas imigrasi meminta saya membayar 1.000 ringgit," katanya.
Konsul RI di Tawau, Mohammad Saleh, menampik tudingan tersebut. "Di sini zero toleransi. Kalau ada yang begitu, saya sikat," ujarnya Desember tahun lalu. Berbeda dengan Saleh, Direktur Dokumen Perjalanan, Visa, dan Fasilitas Keimigrasian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Maryoto Sumadi mengatakan manipulasi dalam pembuatan paspor di daerah mungkin saja terjadi. "Motifnya pasti soal perut," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo