Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HALAMAN rumah dua lantai di kompleks Purwosari, Sleman, Yogyakarta itu cukup luas. Hamparan rumput manila yang terawat membuatnya terasa teduh. Catnya kombinasi putih dan biru toska. Sebuah mobil BMW metalik terparkir anggun di depan garasi. Di rumah itu bekas Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo, 59 tahun, menghabiskan masa pensiunnya.
Sri Roso, yang mendapatkan gelar kanjeng raden tumenggung yudadiningrat ketika menjadi Bupati -Bantul, terlihat sangat menikmati hari-hari-nya setelah lengser dari jabatannya. Sepekan dua kali dia bermain tenis. Di luar itu, kata pembantu-nya, Sri Roso tak memiliki kesibukan lain. "Bapak sering membaca buku atau bermain dengan cucunya," ujarnya.
Bapak tiga anak ini juga terlihat membaur de-ngan masyarakat di sekitarnya. Salah satu tetangganya, Sugondo, menceritakan bahwa Sri Roso rajin mengikuti pengajian yang diadakan sepekan sekali. Dia juga hampir tak pernah absen mengikuti pertemuan atau arisan RT sebulan sekali. "Kalau diminta bantuan keuangan juga gampang," kata Sugondo.
Boleh jadi kehidupan yang tenang itulah yang membuat Sri Roso tak ingin masa lalunya diungkit kembali. Ketika Tempo hendak me-minta pernyataannya t-entang kasus terbunuhnya war-tawan Bernas Fuad Mohammad Syafruddin se-puluh tahun silam, Sri Roso mengelak. "Terserah kalian mau nulis apa, saya tak akan berkomentar," kata Sri Roso via telepon.
Nama Sri Roso, apa boleh buat, m-emang lekat dengan kasus tewasnya Udin. Se-belum tewas, Udin rajin menulis berbagai kasus penyim-pangan di Bantul. Temuan tim pencari fakta dari PWI Yog-ya-karta bahkan secara tegas menyatakan Udin dihabisi akibat pemberitaan yang menyudutkan Sri Roso. Salah satu yang menonjol adalah kasus suap Rp 1 miliar dari Sri Roso kepada Yayasan Dharmais. Namun, dalam berbagai kesempatan, dia tegas menyatakan tak terlibat dalam kematian Udin.
Toh, akhirnya Sri Roso terjerat masalah hukum juga. Ia diseret ke pengadilan militer untuk kasus penyuapan Rp 1 miliar itu. Buktinya adalah sebuah surat tulisan tangan -bersegel yang diteken Sri Roso. Surat bertanggal 2 April 1996 itu menyatakan kesanggupan Sri Roso menyumbang Rp 1 miliar setelah menjabat Bupati Bantul pe-riode kedua (sejak 1996).
Lulusan Akademi Militer Nasional tahun 1968 itu membantah membuat surat berbau kolusi, korupsi-, dan nepotisme tersebut. Tetapi dalam pemeriksa-an Mahkamah Militer pada 1999, di Semarang, dia mengakui menulis surat itu. Maka Pengadil-an Militer memvonis dia sembilan bulan penjara. Ia dituduh melanggar Undang-Undang Tindak Pida-na Korupsi Tahun 1971 dan Undang-Undang Pe-nyuapan Tahun 1980.
Sebenarnya ancaman hukuman atas pelanggaran itu cukup berat, yakni minimal 10 tahun penjara. Tetapi oditur militer melihat Sri Roso tak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tapi baru dalam tahap niat. Karena itulah lelaki kelahiran 1 Agustus 1947 ini "cuma" dihukum sembilan bulan penjara.
Sri Roso menjadi pesakitan setelah Menteri Dalam Negeri S-yarwan Hamid memecatnya pada 1998. Praktis dia hanya menjalani dua tahun dalam masa jabatan keduanya itu. Tumbangnya rezim Orde Baru serta penolakan masif warga Bantul lewat berbagai unjuk rasa saban harilah yang memicu dia terguling dari ke-kuasaannya. Kini, semua itu menjadi masa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo