Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Simsalabim Aset Kota

Di bawah kepemimpinan Sutiyoso, aset Jakarta menyusut

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGKAH Sutiyoso kembali menjadi gubernur tinggal sejengkal lagi. Tapi, dengan sejumlah soal yang terbengkalai, layakkah dia dipilih lagi? Pada Februari 2001, Sutiyoso membentuk Tim Asistensi Pengamanan Aset, yang bertugas menginventarisasi tanah dan bangunan milik pemerintah kota. Menurut Rio Tambunan, anggota tim itu, kini setidaknya ada 15 aset penting pemerintah kota yang telah beralih fungsi dan kepemilikan. Sebagian darinya terancam hilang percuma karena kelambanan pemerintahan Sutiyoso menanganinya. Tak hanya lamban. Beberapa kasus lain mengindikasikan praktek kolusi dan korupsi. Kompleks Hotel Hilton Kompleks Hotel Hilton di dekat Jembatan Semanggi identik dengan kerajaan bisnis Ibnu Sutowo, bekas Direktur Utama Pertamina (di awal Orde Baru). Tapi, belakangan, lahan itu diketahui pernah menjadi milik pemerintah Kota Jakarta. Sutiyoso menunda penyelesaian soal ini dan lahan senilai Rp 1,5 triliun itu kini terancam hilang percuma. Pada tahun 2002 ini, genap 30 tahun kompleks itu dikuasai keluarga Ibnu Sutowo. Dan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Nomor 1967, dokumen negara hanya dijamin 30 tahun. Setelah itu, dokumen dianggap kedaluarsa. "Pemda DKI harus menemukan dokumen tanah Hilton paling lambat akhir tahun ini," kata Rio Tambunan, yang juga bekas Kepala Dinas Tata Kota Jakarta, "Jika tidak, pemerintah bakal kehilangan Hilton." Kompleks Hilton sebenarnya masuk kawasan hijau Gelora Bung Karno. Pada 1960-an, Presiden Sukarno menyerahkan tanah seluas 17 hektare itu kepada Yayasan Kerajinan Rakyat. Tapi, pada era Orde Baru, Soeharto memerintahkan agar Pertamina membangun hotel di situ. "Jadi, bukan duit Ibnu Sutowo yang dipakai membangun Hilton, tapi uang Pertamina," kata Rio. Ali Sadikin, gubernur kala itu, memberi Pertamina izin membangun Hilton dengan syarat pemerintah Jakarta memperoleh ganti lahan. Jakarta memperoleh lahan Convention Hall, sedangkan Hotel Hilton menjadi aset pemerintah pusat. Pada pertengahan 2001 lalu, tim pengamanan aset itu telah melaporkan temuan ini kepada Gubernur Sutiyoso. Walau Sutiyoso sendiri tak pernah hadir dalam rapat tim tadi. Bahkan, ketika Rio dan Ali Sadikin mempertanyakan tindak lanjut kasus Hilton, Gubernur tak pernah punya sikap jelas hingga kini. Sutiyoso sendiri mengaku hingga kini belum menerima dokumen komplek Hilton. Dan sampai saat ini, Pemda Jakarta masih terus mencari dokumen tersebut. Kasus-kasus Tanah di Kelapa Gading Pada Desember 1989 pengembang PT Summarecon Agung menyerahkan tanah untuk fasilitas umum kepada pemda Jakarta. Namun sebagian tanah itu belakangan berubah fungsi. Contohnya, tiba-tiba saja di sana berdiri North Jakarta International School (NJIS). Tapi Direktur Utama PT Summarecon, Sunardi Rusli yang mendirikan sekolah itu berkilah pihaknya telah membeli tanah tersebut dari warga. Selanjutnya pada Februari 2002 di sebelah sekolah internasional itu, Yayasan Dharma Bakti Mahaka membangun gedung olahraga basket merangkap pusat pertokoan (Sportmall) di atas lahan seluas 2,6 hektare. Padahal lahan itu semula direncanakan untuk sekolah, taman, dan kantor pemerintahan. Kasus lainnya adalah pembangunan Apartemen Gading Mediterania setinggi 24 lantai. Padahal di tempat itu semula cuma akan dibuat kompleks rumah kantor setinggi 3,5 lantai. Perubahan itu mengundang protes warga yang rumahnya bakal terhalang dari sinar matahari lantaran hadirnya apartemen itu. Namun, Noer Indra Jaya, Direktur PT Sunter Agung yang membangun apartemen itu, dengan enteng berkilah pihaknya sudah mengantungi semua perizinan yang diperlukan. Ketika kejanggalan di atas ditanyakan oleh anggota parlemen daerah, Sutiyoso justru bertanya balik: aset manakah yang dimaksud. Padahal pada Februari lalu, ia sendiri yang meneken perjanjian dengan Yayasan Mahaka untuk pembangunan Sportmall itu. Taman Impian Jaya Ancol Pemerintah Kota Jakarta menguasai 88 persen saham PT Pembangunan Jaya Ancol, yang mengelola kawasan rekreasi paling populer, Taman Impian Jaya Ancol. Laba kumulatif perusahaan itu pada 1996-2001 mencapai Rp 248,1 miliar. Keuntungan itu ternyata tak dibagikan kepada para pemegang saham, melainkan ditanamkan kembali untuk membangun wahana baru di Dunia Fantasi dan sejumlah gedung perkantoran komersial senilai Rp 139 miliar. Kesepakatan reinvestasi itu memang diputuskan melalui rapat umum pemegang saham. Tapi, Dani Anwar, anggota Dewan dari Partai Keadilan punya dugaan kuat Sutiyoso memanfaatkan jabatannya sebagai presiden komisaris perusahaan itu agar reinvestasi tadi dilakukan. Menurut Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri 1999, gubernur tak boleh merangkap jabatan di perusahaan daerah. Namun, sampai awal 2001, Sutiyoso masih tercatat sebagai Presiden Komisaris Pembangunan Jaya. Kramat Tunggak Di Kramat Tunggak, Sutiyoso membeli lagi lahan yang dulu sudah dibayar oleh Gubernur Ali Sadikin. Menurut Agus Darmawan, anggota Dewan dari Fraksi Partai Amanat Nasional, praktek ini merugikan pemerintah kota. Pada 1972, Ali Sadikin telah membebaskan tanah seluas 10,9 hektare di situ, yang 5,6 hektare di antaranya "dipinjamkan" kepada para germo untuk kompleks lokalisasi pelacuran. Tapi, pada tahun 2000, Sutiyoso mengeluarkan keputusan gubernur untuk membeli kembali tanah yang dipinjamkan itu. Menurut Soebagio, Wali Kota Jakarta Utara, tanah seluas 5,6 hektare itu memang milik para germo. "Pemerintah Jakarta menjual kepada mereka pada 1972," katanya. Sutiyoso membenarkan pernyataan anak buahnya itu. Tapi pernyataan itu tidak didukung bukti: para germo itu tidak memiliki sertifikat tanah. Indikasi penyimpangan lain: ada 130 kuitansi pembelian tanah tanpa meterai senilai Rp 30,13 miliar. "Apakah benar duit itu dipakai untuk pembebasan tanah?" tanya Agus. Menurut Nazamuddin, anggota Dewan yang lain, aneh jika Sutiyoso tak tahu tanah itu telah dibebaskan 30 tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus