Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Hikayat yang Terendam Banjir

Sutiyoso pernah meminta sebuah tim menerbitkan buku tentang dirinya. Tapi buku itu batal terbit karena memuat sejumlah kritik.

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA ingin mengobrol santai dengan Gubernur DKI Sutiyoso tanpa banyak halangan? Cobalah cara ini. Datanglah ke rumah dinasnya di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, sehabis jam kerja. Bawalah alat perekam dan beberapa kaset. Lalu minta dia berbicara tentang kesuksesannya memimpin Ibu Kota di tengah krisis. Dan… ini dia! Anda akan terkejut melihat sang Gubernur seolah menjelma menjadi tetangga kita di kampung yang punya banyak waktu dan tahan reriungan selama berjam-jam. Dia akan menjawab aneka pertanyaan sembari berbaring di sofa mengenakan kaus rumah dan celana olahraga. Garis -garis kelelahan boleh jadi tergurat di wajahnya. Tapi dia akan kuat meladeni pembicaraan itu kapan saja, selepas isya hingga menjelang subuh. Ilustrasi di atas bukan omong kosong. Ini pengalaman Herman Ibrahim, bekas Kepala Biro Humas Departemen Dalam Negeri, dan beberapa rekannya saat mereka menggarap buku pesanan Sutiyoso—semacam buku "kehumasan" untuk mendongkrak citra. Kisah ini berawal dari pertemuan Sutiyoso dengan Herman di kantor Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Ryaas Rasyid. Kunjungan itu terjadi tak lama setelah 64 dari 86 orang anggota DPRD DKI menolak pertanggungjawaban Sutiyoso pada Juli 2000. Di kantor Ryaas Rasyid itulah Sutiyoso menemukan jawaban yang dicarinya: sebuah laporan tahunan sulit dipakai untuk mendongkel gubernur dari kursinya. "Ketika mendengar itu, Sutiyoso kontan gembira," ujar Herman kepada TEMPO. Dia bahkan setuju dengan usul Herman untuk menerbitkan sebuah buku tentang profil dan kinerja dirinya. Kepada Herman, Sutiyoso berpesan agar buku tersebut segera digarap. Herman menggandeng dua rekannya untuk urun pikiran dan tenaga: Faisal Siagian, pegawai Radio Republik Indonesia, dan Yusman Heidar, yang bertugas membuat proposal buku, menghubungi calon penerbit, dan lain-lain. "Kami menganggarkan Rp 150 juta," kata Yusman. Sekitar enam kali tim ini mewawancarai Sutiyoso di rumah dinas Gubernur, biasanya berlangsung selepas isya hingga menjelang dini hari. "Suasananya enak dan amat informal," kata Faisal. Menurut Herman, Sutiyoso tak punya pesan apa pun tentang isi buku itu. "Mungkin karena dia percaya kepada saya," ujarnya kepada TEMPO. Tapi Sutiyoso minta tulisan itu dirampungkan dalam dua bulan. Siapa saja yang menyumbangkan cerita? Sudah pasti Sutiyoso. Lalu ada sejumlah ahli tata kota, tokoh Majelis Ulama Indonesia K.H. Ali Yafie, serta mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Narasumber ini umumnya dimintai pendapat soal perjudian dan aneka masalah sosial di Jakarta. Sebulan menjelang buku itu diterbitkan, tim buku tersebut "masuk karantina" empat hari di Hotel Sabang, Jakarta Pusat. Di sana, mereka mendiskusikan hasil akhir. Dan jadilah sebuah draf siap cetak setebal 300 halaman lebih. Judulnya "Kepemimpinan Sutiyoso di Masa Krisis". Sayang, baik kawan maupun lawan Gubernur tak akan pernah bisa menyimak kisah-kisah yang ditulis di sana. Buku ini tak pernah masuk ke percetakan—walaupun naskahnya telah diserahkan ke Sutiyoso melalui stafnya untuk dicek. Poerwanto, staf itu, mengembalikan draf buku tersebut kepada Herman sembari menuding sejumlah kritik yang harus direvisi, dari soal resistansi masyarakat Jakarta kepada Gubernur yang dianggap terlibat kasus 27 Juli itu, soal tata kota, penerangan jalan, taman-taman kota, sampai problem transportasi dan keamanan yang masih runyam. Kepala Biro Humas Pemda DKI Muhayat mengakui kepada TEMPO bahwa Poerwanto—kini tak lagi bertugas di pemda—memang pernah menjadi kepercayaan Gubernur untuk urusan tulis-menulis. "Tapi saya tak tahu lagi di mana dia berada," kata Muhayat. Lalu soal buku? "Itu prakarsa pribadi beliau. Biayanya pun pasti dari dana pribadi beliau," ia menambahkan. Sutiyoso sendiri tidak menyangkal pernah memesan buku itu. Tapi ia membantah membatalkan penerbitan tulisan itu dengan alasan mengandung kritik. "Saya hanya menundanya dan menunggu waktu yang tepat untuk menerbitkan buku itu," ujarnya kepada TEMPO. Toh, buku itu sendiri praktis cuma tinggal nama. Satu-satunya kopi pernah disimpan Poerwanto—kini tak lagi ketahuan jejaknya. Sedangkan naskah yang disimpan Faisal Siagian di dalam disket sudah lenyap terbawa air saat Jakarta tenggelam dalam banjir Februari lalu. "Jangankan hasil print-out dan disketnya. Komputernya saja sudah saya buang karena terendam," kata Faisal—yang merasa bersyukur karena tim itu telah menerima panjar Rp 50 juta, langsung dari kantong Sutiyoso.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus