Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UCOK Bangsawan Harapan kesal bukan kepalang. Rumahnya di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, tiba-tiba digeruduk petugas gabungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jakarta dan Badan Reserse Kriminal Polri, Oktober lalu. Penyebabnya, ia diduga memelihara harimau Sumatera. ”Padahal harimau saya itu jenis Bengal,” kata Ucok, Camat Kramat Jati, Jakarta Timur.
Kisah serupa pernah menimpa Kusbanu Hadi Soemarto. Petugas Kementerian Kehutanan menyambangi rumahnya di kawasan Ciputat Timur, Tangerang Selatan, dua tahun lalu. Sepasang harimau jantan dan betina jenis Bengal, serta dua anakan berusia delapan bulan, juga hampir dibawa petugas. ”Mereka mengira itu harimau Sumatera,” ujarnya kala itu.
Kementerian Kehutanan memang gencar merazia pemilik harimau tak berizin, khususnya jenis harimau Sumatera. Sebab, hewan dengan nama Latin Panthera tigris sumatrae ini marak diperjualbelikan, baik dalam keadaan hidup maupun mati. Padahal harimau Sumatera termasuk hewan dilindungi, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Adapun harimau Bengal, yang berasal dari India, dibolehkan dipelihara lantaran belum ada hukum yang mengaturnya. Syaratnya cuma berasal-usul jelas dan bukan binatang selundupan. Secara tampilan fisik, harimau ini berbeda dengan harimau Sumatera. Ini bisa dilihat dari postur tubuhnya yang lebih besar daripada harimau Sumatera, warna yang lebih cerah, dan corak loreng yang lebih rapat.
Hasrat memelihara harimau pada sebagian orang berduit terhitung cukup tinggi. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Darori mengatakan, ada keyakinan bahwa memelihara harimau atau memajang kulit harimau (offset) bisa mendatangkan wibawa dan rezeki. ”Mereka merasa hebat,” ujarnya.
Kondisi seperti itu jelas membikin Darori dan stafnya pusing tujuh keliling. Bayangkan, jumlah harimau Sumatera di hutan semakin tipis lantaran terjadi perburuan dan perdagangan liar. Di habitat aslinya, harimau Sumatera ditaksir tinggal 400-500 ekor. Bahkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan satwa endemik Sumatera ini ke dalam status Appendix I alias terancam punah.
Darori pun putar otak. Menurut dia, ada terobosan untuk mengatasi persoalan kepemilikan harimau Sumatera, yakni membangun pusat penangkaran. Terobosan ini bisa mengurangi perburuan ilegal harimau dari hutan. Caranya, mereka yang punya hobi memelihara harimau bisa mengambil dari penangkaran. ”Para pengusaha, orang kaya, atau pejabat yang ingin memelihara harimau bisa mengambil dari sini,” katanya.
Gagasan ini bukan isapan jempol. Cetak biru dan persiapannya sudah matang. Penangkaran ini akan dibangun mulai tahun depan. Lokasinya berada di dalam kawasan Cagar Alam Senepis di Provinsi Riau. Penangkaran bernama Tiger Sanctuary seluas 200 hektare itu diharapkan ampuh dalam mendongkrak populasi si raja rimba.
Darmawan Kusmanto dari Forum Harimau mengatakan harimau Sumatera merupakan spesies harimau terakhir yang ada di Indonesia. Dua spesies lain, yakni harimau Bali dan harimau Jawa, telah dinyatakan punah sejak 1950-an dan 1980-an.
Pada 1970-an, berdasarkan hasil penelitian Borner (1978), populasi harimau Sumatera diperkirakan mencapai 1.000 ekor. Sedangkan pada 1985 populasinya menurun menjadi 800 ekor dan tersebar di 26 kawasan hutan lindung. ”Berdasarkan riset dan penelitian berbagai peneliti, jumlah itu terus menurun dari tahun ke tahun,” kata Darmawan.
Perburuan masih menjadi ancaman utama atas populasi harimau Sumatera. Berdasarkan catatan Chris R. Shepherd dan Nolan Magnus (2004), sebanyak 253 ekor harimau Sumatera diambil secara ilegal dari habitatnya pada 1998-2002. ”Tak hanya itu, tingginya deforestasi hutan Sumatera juga menjadi penyebab semakin menyempitnya habitat harimau,” katanya.
Agar harimau tak punah, ide pembuatan penangkaran pun dilontarkan. Inspirasinya datang dari penangkaran jalak Bali. Burung asli Pulau Bali ini diperkirakan tinggal delapan ekor di habitat aslinya sekitar 15 tahun lalu. Pemerintah saat itu membawa jalak Bali ke kebun binatang di Amerika dan Jepang untuk dibiakkan. Kini, berkat penangkaran intensif, populasi jalak Bali di Indonesia diperkirakan mencapai 3.000 ekor.
Sebagai langkah awal, penangkaran harimau di Cagar Alam Senepis akan diisi oleh harimau hasil sitaan yang tak mungkin dilepas kembali ke alam. Sebagian dari harimau itu mengalami cacat fisik tapi masih produktif. Sebanyak 10 ekor harimau betina dan 3 ekor pejantan, yang selama ini dititipkan di Taman Safari Cisarua (Bogor), Kebun Binatang Ragunan (Jakarta), dan Kebun Binatang Gembira Loka (Yogyakarta), akan menjadi penghuni pertama. Diharapkan ada 30 ekor anak harimau yang bisa dihasilkan tiap tahun.
Selain menyiapkan sarana fisik penangkaran, Kementerian Kehutanan sedang menggodok aturan tentang penyewaan harimau. Darori menegaskan, harimau hasil penangkaran akan tetap menjadi milik negara. Statusnya hanya dititipkan kepada calon penyewa. Anakan yang bisa disewakan pun hanya keturunan kedua atau ketiga, bukan induk harimau yang berasal dari hutan.
Persyaratan untuk memelihara anak harimau ini sangat ketat, antara lain menyerahkan jaminan Rp 1 miliar, memiliki kandang berukuran minimal 400 meter persegi, wajib memiliki dokter hewan dan pawang, serta mampu secara finansial. ”Siapa saja yang memenuhi persyaratan akan diberi sertifikat pemeliharaan berstatus lembaga konservasi perorangan,” katanya.
Namun rencana tersebut mendapat tentangan dari pegiat konservasi harimau Sumatera. Menurut Dwi Nugroho Adhiasto dari Wildlife Conservation Society, pemeliharaan harimau melanggar ketentuan Konvensi Internasional untuk Perdagangan Satwa Langka (CITES), yang sudah diratifikasi. ”Pemerintah seharusnya melarang pemeliharaan semua jenis harimau,” ujarnya.
Koordinator program harimau dan gajah World Wildlife Fund, Sunarto, menilai pembangunan penangkaran harimau kontraproduktif. Pemerintah seharusnya bisa mengupayakan hal yang lebih kritis, seperti mencegah perambahan hutan untuk kawasan perkebunan, pertambangan, dan industri. ”Lebih dari 70 persen harimau berada di luar kawasan konservasi,” katanya.
Selain itu, Sunarto menambahkan, jumlah pasti populasi harimau di alam bebas sangat sulit diperkirakan. Pengamat WWF, dengan 500 kamera jebakan di lima wilayah di Provinsi Riau, hanya bisa mendeteksi sekitar 50 individu selama lima tahun terakhir. Kepadatan harimau di Sumatera diperkirakan hanya 0,5-1 individu per 100 kilometer persegi.
Pendapat berbeda dilontarkan David Hidayat. Direktur PT Sido Muncul di Semarang ini menyambut baik rencana pembuatan Tiger Sanctuary. Hanya, ia mengimbau perlunya penerapan syarat ekstraketat seperti kesadaran konservasi, kemampuan finansial, dan standar perawatan. ”Meski tak di hutan, satwa harus tetap sejahtera dan aman bagi manusia,” ujarnya.
Seperti Ucok dan Kusbanu, David mengoleksi satwa langka. Bedanya, dia memegang izin dari pemerintah. Puluhan satwa, dari buaya, aneka burung, orang utan, lutung, owa, hingga ular, dipelihara di area seluas lima hektare bernama Taman Satwa Agrowisata Sido Muncul di Kabupaten Semarang.
Satwa andalan David tentu saja 11 ekor kucing besar yang terdiri atas seekor harimau Sumatera, sembilan harimau Siberia, dan seekor liger—hasil kawin silang harimau dan singa. Koleksi itu ia mulai ketika menerima hibah seekor harimau Sumatera dan harimau Siberia pada akhir 2002. Dia menerimanya karena ingin melestarikan hewan langka itu. ”Apalagi harimau Sumatera terancam punah,” katanya.
David sebenarnya ingin membiakkan Seto, 12 tahun, satu-satunya harimau Sumatera yang dimiliki. Hanya, dia kesulitan mencarikan jodoh. Kekecewaannya sedikit terobati ketika dia membeli sepasang harimau Siberia. Dari beberapa kali perkawinan, pasangan harimau yang ditebus Rp 150 juta itu memiliki 13 ekor anak. Sayang, hanya enam yang hidup.
Mahardika Satria Hadi, Sohirin (Semarang), Syaipul Bakhori (Jambi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo