Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Saat pandemi corona, iuran BPJS malah naik
Penyebab defisit bukan fraud melainkan iuran kecil
BPJS mengakui jika ada fraud meskipun angkanya hanya 0,18 persen
DI tengah pandemi virus corona, yang membuat ekonomi mandek karena pembatasan interaksi sosial untuk mencegah penularan, pemerintah menaikkan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan kelas I, II, dan III hampir 100 persen mulai Juli 2020. Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, kenaikan tarif bertujuan menambal defisit BPJS yang menganga Rp 15,5 triliun tahun lalu
Fachmi mengatakan kenaikan tarif adalah jalan menambal bolongnya anggaran untuk menyelamatkan pelayanan kesehatan. Karena itu, meski Mahkamah Agung membatalkan kenaikan tarif pada April lalu dan meminta pemerintah membereskan pelbagai penyelewengan lebih dulu, iuran tetap naik. “Meskipun fraud nol, kolektabilitas terpenuhi, pengelolaan efisien, BPJS tetap defisit,” katanya kepada Tempo dalam wawancara virtual pada Jumat, 29 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa tarif naik ketika terjadi pandemi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020, ada beberapa pasal yang mengakomodasi kondisi ini. Ada relaksasi. Kalau menunggak iuran 24 bulan, bisa bayar hanya enam bulan.
Bukankah BPJS mengalami defisit karena penyelewengan?
Setelah melihat audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) 2018, yang menurunkan 2.000 auditor, penyebab defisit adalah iuran kurang. Sejak awal kita memang tak memakai hitungan aktuaria sebagaimana yang seharusnya dalam sistem penjaminan sosial. Jadi, meskipun fraud nol, kolektabilitas peserta terpenuhi, tidak ada inefisiensi, BPJS tetap defisit. Idealnya, iuran untuk kelas I sebesar Rp 275 ribu per orang, kelas III Rp 100 ribu. (Sekarang iuran kelas I Rp 81 ribu, kelas II Rp 51 ribu, dan kelas III Rp 25 ribu.)
Kami menemukan rumah sakit memberikan komisi kepada klinik agar merujuk pasien sehingga BPJS mesti membayar ganda....
Kami akan cek lagi karena ini ada di sistem penagihan klaim. Kami mengembangkan sistem rujukan online untuk menekan kasus seperti itu. Verifikasinya di depan dan setelah berkas masuk diverifikasi lagi. By system, tidak bisa lagi orang didorong ke rumah sakit tertentu. Kalaupun itu terjadi, ini bukan masalah hukum, tapi etika. Dalam disiplin kedokteran, hal itu bisa diadukan. (Dalam Pasal 5 ayat 3c Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 7 Tahun 2016 tentang Sistem Pencegahan Kecurangan dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan, menerima komisi atas rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut disebut sebagai tindak kecurangan.)
Ada juga rumah sakit yang mengubah diagnosis dokter untuk mendapatkan klaim yang besar....
Ini akan terbaca oleh sistem kami. Contohnya diagnosis tifoid yang ditambah dengan kelainan darah. Ini akan terbaca oleh sistem di BPJS apakah logis atau tidak. Kami memiliki empat lapis pengecekan agar hal-hal seperti ini tidak terjadi. Tapi informasi ini akan menjadi catatan untuk kami.
Bukankah tetap saja itu penyelewengan sehingga BPJS rugi?
Saya ingin memastikan layanan berjalan dengan baik dan benar. Tidak ada tagihan fiktif ataupun penggelembungan. Meskipun bisa saja, karena ketidaktahuan, rumah sakit menagihkan sesuatu yang tidak seharusnya kepada BPJS. Kalau tagihan fiktif, itu baru kriminal.
Artinya, kalau fraud ditangani, tarif tak perlu naik....
Hasil audit BPKP menemukan memang ada fraud, tapi tidak sampai 1 persen, tepatnya 0,18 persen atau Rp 160 miliar. Kami gembira karena karakter rumah sakit kita ternyata tidak separah itu, walaupun tidak boleh menoleransi fraud. Tapi zero fraud juga tidak mungkin. Di Inggris, yang sistemnya sudah 20 tahun, fraud 3-4 persen.
Kami juga menemukan ada rumah sakit yang menaikkan kelas sehingga menjadi pembayaran klaim tak perlu....
Ini di luar kewenangan BPJS karena otoritas ada di pimpinan daerah. Misalnya seharusnya sebuah rumah sakit standar C, tapi klaim naik menjadi B sehingga bayarannya lebih besar, sekitar Rp 819 miliar. Kami bernegosiasi dengan pemerintah daerah agar kelebihan uangnya dikembalikan. Komisi Pemberantasan Korupsi punya concern besar, termasuk soal fraud. Kami terus berkomunikasi agar masalah ini tak membesar.
Juga lompatan dana kapitasi. Yang ketiga adalah soal peserta bukan penerima upah dan nonformal yang menjadi tugas kami. Tingkat kolektabilitasnya saat BPKP turun itu 60 persen. Untuk meningkatkannya, perlu penegakan hukum dengan mengaitkan pada sistem layanan publik, seperti perpanjangan surat izin mengemudi atau surat tanda nomor kendaraan. Seperti di Korea. Mereka bahkan bisa mengintip rekening peserta sehingga ketika peserta tidak membayar langsung didebit. Kami belum mau sampai ke sana.
Apakah pemerintah daerah sengaja menaikkan kelas rumah sakit?
Saya tidak bisa menjawab soal kesengajaan. Yang pasti, ada perbedaan standar dalam melihatnya. Perbedaan ini kami serahkan kepada auditor.
Soal data juga, terutama orang miskin, ada kekacauan....
Kami bersama Kementerian Sosial sedang memperbaikinya. Ada lima kelompok peserta dalam BPJS. Pertama, penerima bantuan iuran sebanyak 96,5 juta, lalu penerima bantuan jaminan kesehatan daerah sebanyak 36,1 juta. Ada 130 juta yang iurannya dibayar pemerintah, seperti orang miskin, pegawai negeri, tentara, dan polisi. Nah, kelompok terakhir adalah pekerja informal dan bukan penerima upah. Dibagi tiga kelompok yang jumlahnya 35 juta. Di kelas III ada 21 juta. Mereka sebetulnya miskin, tapi tidak terdaftar sebagai orang miskin. Ada juga yang tak miskin tapi masuk kelompok miskin. Dan separuhnya, kira-kira 10 juta, tidak aktif membayar iuran. Kelas-kelas ini adalah pilihan. Jika tak sanggup membayar iuran di kelas I, bisa turun.
Dalam penanganan pasien juga banyak penyelewengan. Misalnya melahirkan normal menjadi caesar atau katarak tingkat satu dioperasi maksimal....
Sebetulnya, kalau pedoman nasional pelayanan kesehatan (PNPK) ada, hal-hal seperti ini bisa clear. Dua tahun lalu kami menerbitkan aturan penanganan katarak, mana yang boleh dioperasi dan mana yang tidak. Tapi kami digugat karena itu wewenang Kementerian Kesehatan. Dan dalam menangani penyakit praktiknya tidak ada derajat. Dalam katarak, misalnya, dokter pasti akan mengoperasi semuanya.
Kenapa Kementerian Kesehatan tidak menerbitkan PNPK?
Mungkin tidak mudah karena prosesnya panjang. Organisasi profesi mengusulkan ke Kementerian, lalu dibahas. Selain itu, ada irisan profesi. Contohnya sakit punggung, ada irisan antara dokter bedah syaraf, ortopedi, dan dokter syaraf.
BPJS tak meminta?
Sudah berulang-ulang kami mengirim surat.
Jika sistem BPJS sudah canggih, mengapa masih kecolongan?
Tahun 2019 kami menyelamatkan uang negara lebih dari Rp 10 triliun. Karena ada verifikasi di depan, lalu berkas masuk, kita cek lagi apakah sesuai dengan ketentuan. Verifikasinya secara digital, ada algoritmanya. Kebijakan anti-fraud kami jelas. Ada juga pengawas internal. Kalau ada kantor cabang tidak benar, kami tak segan memecatnya. Jadi apa yang menjadi temuan BPKP dan KPK itu bagian dari laporan kami.
Karena masih ada fraud, artinya sistemnya keliru....
Saya tidak ingin menyimpulkan seperti itu. Kepesertaan kita sudah nge-link dengan dinas kependudukan dan pencatatan sipil. Sistem pembayaran kita sudah sangat canggih. Tapi no perfect system in the world. Sistem itu terkait dengan regulasi, butuh proses panjang dari berbagai aspek. Tidak mungkin BPJS bekerja baik jika ekosistemnya tidak mendukung. Kami tak ingin ada fraud, tapi sistem pelayanannya tidak memakai PNPK.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo