Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Keluar Barak Teroris Dilabrak

Tentara melancarkan lobi untuk mengegolkan rancangan peraturan presiden tentang keterlibatan militer dalam mengatasi terorisme. Ditolak berbagai kalangan karena dianggap melewati kewenangan militer, draf tersebut dievaluasi lagi oleh pemerintah.

6 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Latihan gabungan personel TNI dalam penanggulangan terorisme di Lapangan Batalion 461 Paskhas, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Desember 2014. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • TNI berharap draf peraturan presiden soal pelibatan tentara mengatasi terorisme bisa disetujui.

  • Sejumlah perwira menengah dan jenderal melobi purnawirawan dan DPR.

  • Kantor Staf Presiden dan Kementerian Koordinator Polhukam mengkaji lagi isi draf yang sudah diserahkan ke DPR.

BERASAL dari juniornya di Badan Intelijen Strategis (Bais) Tentara Nasional Indonesia, panggilan telepon pada akhir Mei lalu langsung disambut Soleman B. Ponto. Setelah berbasa-basi sejenak, perwira berpangkat kolonel itu meminta Soleman mendukung Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Draf itu sudah diserahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada 4 Mei lalu.

Meski pernah memimpin Bais pada 2011-2013, Soleman secara terbuka kerap menyuarakan penolakan terhadap rancangan tersebut. Kepada juniornya itu, Soleman menyatakan tak bisa mendukung rancangan peraturan tersebut. Purnawirawan laksamana muda itu menjelaskan, perpres tersebut justru berpotensi mengacaukan sistem hukum di negeri ini. Sebab, perpres itu menyebutkan TNI bisa melaksanakan fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan dalam menangani terorisme. Padahal Undang-Undang Nomor 15 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan pelaku teror dikenai sanksi pidana. Menurut Soleman, penegakan hukum pidana bukan ranah militer, melainkan kepolisian.

Soleman juga menilai peraturan itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI karena menyatakan operasi untuk mengatasi terorisme cukup melalui keputusan presiden. Padahal Undang-Undang TNI menyebutkan pengerahan kekuatan TNI oleh presiden harus mendapatkan izin Dewan. “Perpres ini bisa jadi buah simalakama untuk TNI,” ujarnya pada Kamis, 4 Juni lalu. Perwira tersebut memahami sikap Soleman dan menyatakan akan melaporkan hal itu kepada atasannya di Bais.

Tak hanya sekali itu Soleman dibujuk untuk mendukung perpres. Sejumlah perwira TNI kembali menghubunginya dan menggelar pertemuan secara virtual. “Ada jenderal bintang satu juga yang menelepon saya,” ujarnya. Soleman ogah mengubah sikapnya. Dia bisa memahami lobi-lobi itu dilancarkan Bais karena satuan intelijen TNI ini ikut membahas revisi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme sejak 2016 hingga disahkan pada 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasukan Satgultor TNI melakukan simulasi penanggulangan terorisme di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Selasa, 9 April 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Permintaan dukungan juga dilakukan TNI kepada anggota Dewan. Dua anggota Komisi Pertahanan dan dua anggota Komisi Hukum DPR menyebutkan pejabat di Bais serta di Badan Pembinaan Hukum TNI mulai menggalang dukungan dengan cara meminta pendapat para anggota Dewan. Menurut seorang sumber, Badan Pembinaan Hukum TNI juga menyampaikan analisis mereka ihwal rancangan perpres dan Undang-Undang Pemberantasan Terorisme.

Catatan Badan Pembinaan Hukum TNI yang diperoleh Tempo di antaranya rancangan peraturan presiden sudah dibahas selama satu tahun lebih bersama sejumlah kementerian dan lembaga. Perpres itu juga bersifat terbatas dan limitatif karena penggunaan kekuatan TNI hanya boleh dilaksanakan Panglima TNI dan berdasarkan perintah presiden. Begitu pula soal area keterlibatan TNI, seperti ancaman terhadap kepala negara, kantor perwakilan Indonesia di luar negeri, dan obyek vital strategis.

Direktur E Bais Brigadir Jenderal Rudi Rahmat Nugraha mengatakan lembaganya tidak pernah menggalang dukungan untuk mengegolkan rancangan peraturan presiden, termasuk kepada Soleman Ponto dan politikus Senayan. “Bais tidak ada kepentingan untuk mendorong draf perpres ini jadi atau tidak,” ujarnya pada Jumat, 5 Juni lalu. Adapun Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Anwar Saadi enggan memberikan komentar. “Anda mendapat informasi dari siapa?” ujarnya ketika dihubungi pada Kamis, 4 Juni lalu.


•••

RANCANGAN Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme digodok pemerintah sejak pengesahan revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Juni 2018. Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menugasi beberapa kementerian dan lembaga merancang peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden yang menjadi aturan turunan dari Undang-Undang Pemberantasan Terorisme.

Sri Yunanto, anggota staf khusus Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan saat itu, bercerita bahwa lembaganya menugasi Kementerian Pertahanan menggodok peraturan presiden tentang keterlibatan TNI. “Mereka membuat kelompok kerja. Dan kami hanya dilapori perkembangannya sesekali,” ujar Sri Yunanto, yang kini anggota staf ahli Dewan Pertimbangan Presiden. Direktur Jenderal Potensi Keamanan Kementerian Pertahanan Bondan Tiara Sofyan membenarkan kabar bahwa kementeriannya menjadi tempat membahas rancangan perpres.

Pembahasan rancangan itu melibatkan berbagai unsur militer, seperti Markas Besar TNI serta perwakilan Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Ada juga Badan Intelijen Strategis, Badan Pembinaan Hukum TNI, serta perwakilan pasukan khusus di TNI. Direktur E Bais Rudi Rahmat Nugraha membenarkan hal ini. “Semua unsur dimintai pandangan agar rancangan perpres sesuai dengan isi undang-undang,” ujar Rudi.

Pendapat yang diberikan itu misalnya tentang jumlah pasukan khusus beserta operasionalisasinya dan anggaran yang dibutuhkan. Menurut Rudi, Bais memberikan penjelasan tentang fungsi intelijen untuk mencari informasi dan menganalisis peristiwa. Selesai di Kementerian Pertahanan, kata Rudi, pembahasan draf dilanjutkan dengan melibatkan lembaga lain, di antaranya Kantor Staf Presiden pada akhir 2019. Mereka juga meminta pandangan kelompok masyarakat sipil.

Sebelum diserahkan ke DPR, rancangan itu dibawa ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diharmonisasi agar tak bertentangan dengan aturan lain. Rudi mengatakan pembahasan draf kerap berlangsung alot. “Saking alot dan hati-hati, pembahasan baru selesai tahun ini. Padahal undang-undang memberikan batas waktu satu tahun,” ujarnya.

Namun anggota Komisi Hukum DPR, Arsul Sani, mengatakan rancangan perpres yang diserahkan ke Dewan mirip dengan draf awal revisi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme yang dibuat pemerintah pada 2016. Misalnya, kebijakan dan strategi pemberantasan tindak pidana terorisme bisa dilaksanakan oleh Polri, TNI, serta instansi pemerintah yang dikoordinasi dengan lembaga non-kementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme. “Pembahasan pasal-pasal ini dulu kami tunda karena tidak mendapatkan titik temu,” ujar mantan anggota Panitia Khusus RUU Pemberantasan Terorisme ini, Rabu, 3 Juni lalu.

Pasal itu pun sempat terkatung-katung sebelum Presiden Joko Widodo menyatakan keinginannya agar TNI terlibat dalam penanganan terorisme. “Berikan kewenangan kepada TNI untuk masuk dalam RUU ini,” ujarnya pada 2017. Pembahasan RUU Pemberantasan Terorisme yang kala itu sempat mandek akhirnya kembali berjalan setelah peristiwa bom Surabaya pada Mei 2018. Presiden sempat mengultimatum akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang jika pembahasan tak selesai. Akhirnya, DPR mengebut pembahasan dan memasukkan keterlibatan tentara melalui operasi nonperang yang pelaksanaannya diatur dengan perpres.

Sama seperti Soleman B. Ponto, Arsul Sani menilai draf peraturan presiden yang diserahkan ke DPR mencampuradukkan pendekatan militer dan penegakan hukum dalam menanggulangi terorisme. “Seharusnya perpres mengatur level ancaman terorisme yang menjadi syarat masuknya TNI,” kata Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan ini. Ia berharap pemerintah bisa memperbaiki draf tersebut.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, menilai draf tersebut bakal menyeret TNI kembali ke zaman Orde Baru dan berpotensi melanggar hak asasi manusia. Potensi itu terlihat dari diperbolehkannya TNI menggelar operasi intelijen serta operasi lain. Ia mengingatkan, perpres itu memposisikan presiden sebagai penanggung jawab utama operasi TNI karena tak menyebutkan perlunya konsultasi dengan DPR untuk mengerahkan kekuatan tentara. “Presiden perlu hati-hati,” ujarnya.

Choirul Anam menyarankan TNI lebih baik menyelesaikan amanat reformasi 1998 yang belum tuntas daripada mengurus tindak pidana terorisme yang bukan kewenangannya. Misalnya membenahi pengadilan militer dan meningkatkan modernisasi serta profesionalitas. “Seperti istilah reformasi, tentara perlu kembali ke barak.”

Derasnya kritik itu membuat pemerintah mulai mengkaji kembali rancangan perpres tersebut. Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantos Staf Presiden, Rumadi Ahmad, mengatakan lembaganya telah membahas secara internal draf tersebut pada akhir Mei lalu. Selain membahas persoalan yang disorot publik, kata Rumadi, kedeputiannya mengkaji soal pendanaan aksi TNI ketika menangani aksi terorisme, yang dalam perpres bisa bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah dan sumber pendanaan lain. Undang-Undang TNI menyebutkan pendanaan pertahanan negara hanya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Kantor Staf Presiden sudah menanyakan persoalan itu kepada Kementerian Pertahanan. Menurut Rumadi, Kementerian Pertahanan menjelaskan bahwa ketentuan itu mengacu pada Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. “Ini sifatnya masih diskusi dan belum ada keputusan apa pun,” ujar Rumadi pada Rabu, 3 Juni lalu.

Dua pejabat pemerintah menyebutkan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan juga telah menggelar sejumlah rapat untuk mengkaji lagi rancangan perpres tersebut. Dimintai tanggapan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. tak menjawab panggilan telepon dan pesan yang dilayangkan Tempo.

Di DPR, kasak-kusuk soal rancangan perpres itu juga muncul di Komisi Pertahanan dan Komisi Hukum. Salah satunya terkait dengan alat kelengkapan Dewan yang bakal membahas rancangan tersebut. Dua anggota Komisi Pertahanan dan Komisi Hukum bercerita, nasib rancangan itu bakal ditentukan oleh komisi yang membahasnya. Namun Wakil Ketua DPR Bidang Politik, Hukum, Dan Keamanan Azis Syamsuddin mengatakan draf tersebut belum diterimanya. “Belum ada di meja saya,” ujar politikus Partai Golkar itu.

Anggota Komisi Pertahanan dari Golkar, Dave Laksono, dan anggota dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Effendi Simbolon, membenarkan kabar bahwa komisinya ingin menjadi tempat membahas konsultasi karena perpres tersebut lebih banyak membahas TNI, yang menjadi mitra kerjanya. Sedangkan anggota Komisi Hukum dari Partai Amanat Nasional, Sarifuddin Sudding, dan anggota Fraksi Demokrat, Benny K. Harman, mengatakan rancangan tersebut perlu dibahas di komisi mereka karena terkait dengan penegakan hukum.

Baik Sarifuddin maupun Benny mengaku mendengar informasi bahwa kepolisian juga mulai meminta pandangan hukum anggota DPR tentang draf tersebut. “Ini sudah menjadi pembicaraan karena polisi keberatan,” ujar Benny. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Inspektur Jenderal Argo Yuwono tak menjawab permintaan wawancara. Adapun Kepala Detasemen Khusus  88 Antiteror Inspektur Jenderal Martinus Hukom enggan berkomentar soal rancangan tersebut.

HUSSEIN ABRI DONGORAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus