Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Dugaan Penipuan Agus Suparmanto yang Diadukan Bekas Rekan Bisnisnya

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto berseteru dengan bekas teman bisnisnya dalam pertambangan bijih nikel Aneka Tambang di Halmahera. Penyelidikan polisi tak kunjung bergerak.

28 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dituduh menipu kongsi bisnisnya.

  • Untuk mencabut laporan polisi, Agus kabarnya sempat berjanji membayar Rp 500 miliar.

  • Polisi menghentikan kasusnya karena ada perjanjian damai.

SETELAH tiga bulan bolak-balik ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia, Husdi Herman menerima pemberitahuan yang dinanti tapi tak diharapkannya itu. Pada Kamis, 19 Maret lalu, polisi menerbitkan surat penghentian penyelidikan laporan dugaan penipuan terhadap Menteri Perdagangan Agus Suparmanto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi menilai laporan Husdi “bukan merupakan tindak pidana”. “Kami kecewa dan sedang memikirkan kemungkinan membuat gugatan praperadilan,” ujar Husdi, Jumat, 27 Maret lalu. Husdi adalah pengacara Yulius Isyudianto, mantan komisaris PT Yudistira Bumi Bhakti—perusahaan pertambangan yang dihelanya bersama Agus dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 2001-2014, perusahaan ini mendapatkan proyek mengeruk bijih nikel sekaligus mengangkutnya dari Pulau Pakal dan Tanjung Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara. PT Aneka Tambang Tbk menunjuk Yudistira mengerjakan proyek itu melalui lelang pada 2001, seterusnya dengan penunjukan langsung. Total pendapatan Yudistira selama 14 tahun itu US$ 750,4 juta atau Rp 7,05 triliun dari 38,93 juta ton bijih nikel yang mereka ambil.

Menurut Yulius, Agus menjadi investor proyek itu dengan menanam US$ 6 juta melalui PT Mitrasysta Nusantara. Dalam nota kesepahaman yang ditandatangani para pemegang saham pada 13 Maret 2001, mereka bersepakat berbagi keuntungan: Agus dan Miming Leonardo mendapat 70 persen, sementara Yulius dan enam pemegang saham lain 30 persen. Setahun sebelum proyek berakhir, pada 2013, Yulius belum memperoleh jatah yang mereka sepakati itu.

Yulius dan Rafli Ananta Murad—pemegang saham lain—menghitung, dari pendapatan itu, nilai keuntungan proyek pada 2001-2012 sebesar US$ 280 juta atau Rp 2,7 triliun. Karena itu, mereka seharusnya mendapat US$ 84 juta atau Rp 1 triliun dengan kurs Rp 12 ribu pada akhir 2013. Jatah Pramono sebanyak 5 persen dan Rafli 10 persen.

Ditunggu-tunggu, janji itu tak kunjung dipenuhi. Yulius, lewat pengacara Hotman Paris Hutapea, menyomasi Agus. Upaya itu tidak membuahkan hasil. Rafli pun melaporkan Agus beserta Miming Leonardo dan Juandy Tanumihardja dengan tuduhan penipuan dan penggelapan pada 2013. Di Yudistira, Miming adalah komisaris, sementara Juandy direktur.

Menurut Yulius, pada Maret 2014, Agus menemuinya di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, untuk menawarkan perdamaian. Agus berjanji memberikan jatah Yulius Rp 500 miliar dengan syarat laporan ke polisi dicabut. Sebagai komitmen, Agus memberikan Rp 30 miliar. “Sisanya dibayar setelah Juandy menyelesaikan laporan keuangan perusahaan,” ucap Yulius.

Ia setuju. Apalagi, kata Rafli, Pramono Anung, yang waktu itu menjabat Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, meminta Yulius menerima tawaran Agus supaya tidak gaduh. Sebab, saat itu mendekati masa pemilihan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Tapi Pramono menyangkal pernyataan ini. “Saya tidak ikut campur dalam perjanjian perdamaian itu,” tuturnya.

“Perjanjian perdamaian” yang disebut Pramono itu terjadi pada 3 April 2014. Di hadapan notaris Djumini Setyohadi, Agus dan Yulius beserta pemegang saham lain menandatangani surat perjanjian yang isinya pencabutan laporan ke polisi serta pembatalan nota kesepakatan perjanjian keuntungan 2001. Polisi pun menghentikan perkara dengan alasan tidak cukup bukti.

Belakangan, Rafli dan Yulius baru sadar bahwa perjanjian perdamaian itu merugikan mereka. Soalnya, dalam nota kesepakatan di depan notaris itu tak tertulis Agus bakal membayar Rp 500 miliar seperti yang ia janjikan secara lisan. Walhasil, ketika mereka menagih, Agus mengelak. “Ia bilang, ‘Kalian kan sudah menandatangani perjanjian perdamaian’,” ujar Yulius.

Agaknya, surat damai itu pula yang menjadi senjata Agus. Menteri Perdagangan ini tak menjawab Tempo ketika ditanyai soal dugaan penipuan itu. Melalui pengacaranya, Petrus Bala Pattyona, Agus menyangkal pernah berjanji memberikan Rp 500 miliar kepada Yulius. “Mana buktinya? Ada saksi? Kasus ini sudah selesai,” kata Petrus.

Kendati sudah dua kali gagal, Rafli tak putus asa. Ia menyewa pengacara Henry Yosodiningrat untuk melaporkan kembali Agus Suparmanto ke polisi. Langkah pertamanya meminta polisi menghidupkan kembali laporan pertamanya pada 2013.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Seteru Setengah Triliun"

Agung Sedayu

Agung Sedayu

Alumnus Universitas Jember, Jawa Timur. Menekuni isu-isu pangan, kesehatan, pendidikan di desk Investigasi Tempo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus