Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebelum menjabat Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto pernah berkongsi dengan Pramono Anung dalam bisnis tambang nikel.
Agus menjadi investor PT Yudistira Bumi Bhakti yang mengeruk keuntungan tidak wajar hingga Rp 2,9 triliun dari proyek Antam di Halmahera, Maluku Utara.
Bekas rekan bisnis Agus melaporkannya ke polisi karena tidak mendapat bagian keuntungan yang dijanjikan sebelumnya.
PADA 3 Februari lalu, warga di Desa Buli, Halmahera Timur, dihebohkan sepotong berita yang ramai beredar di media daring (online) tentang laporan dugaan penipuan dan penggelapan di PT Yudistira Bumi Bhakti. Sejak 2001, nama perusahaan penambang nikel itu memang sudah akrab di telinga warga desa terpencil di pelosok Provinsi Maluku Utara itu. Hampir duapuluh tahun lalu, Yudistira mulai menambang nikel di kampung mereka. Sejak itu, warga mengeluh udara dan air jadi kotor, laut jadi dangkal dan penuh lumpur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar yang sampai ke Desa Buli: mantan Komisaris Yudistira, Yulius Isyudianto, melaporkan Agus Suparmanto, investor perusahaan itu, dengan tuduhan menggelapkan keuntungan perusahaan hasil menggali nikel di Tanjung Buli sebesar Rp 500 miliar. “Baru kali itu kami tahu perusahaan tersebut ternyata milik Agus,” ujar Slamet Kiye, penduduk Buli, kepada Tempo yang datang ke kampung itu pada 24 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bekas wilayah operasional PT Yudhistira Bumi Bhakti di Tanjung Buli, Maba, Halmahera Timur. TEMPO
Sebelumnya, penduduk hanya tahu, kata Slamet, perusahaan yang memangkas bukit dan membuang sisa nikel ke laut Tanjung Buli itu menambang untuk PT Aneka Tambang (Antam). Slamet dan para nelayan di sana juga baru tahu kalau salahsatu pemilik Yudistira Bumi Bhakti kini menjadi Menteri Perdagangan.
Berita itu cepat menyebar karena warga mengunggahnya ke Facebook lalu menular lewat WhatsApp di telepon genggam mereka. Komentar para nelayan Tanjung Buli hampir seragam: mereka terperangah soal nilai uang yang dipermasalahkan dalam sengketa itu. “Di sini kami sengsara, di atas deal-nya miliar-miliaran,” ucap Slamet, 35 tahun. “Masyarakat enggak kebagian apa-apa.”
•••
TAK hanya melaporkan Agus Suparmanto ingkar janji membagi keuntungan proyek selama 13 tahun itu, Yulius Isyudianto juga membongkar cara culas perusahaannya mendapatkan proyek tersebut. “Proyek itu tanpa tender dan harganya digelembungkan,” katanya.
Syahdan, pada 1999, kawan Yulius, Rafli Ananta Murad dan Sardjono, mengajaknya ikut tender pengerukan bijih nikel di Tanjung Buli, Halmahera Timur, yang ditawarkan PT Aneka Tambang. Perusahaan negara ini baru membuka area baru di pulau-pulau kecil di Maluku Utara itu dan mengklaim memiliki cadangan nikel sebanyak 220 juta ton nikel basah (WMT, wet metric ton)—cadangan nikel terbesar kedua Antam setelah Sulawesi Tenggara. Luas area nikel yang bakal dikeduk di Tanjung Buli adalah 2.340 hektare.
Rafli dan Sardjono berpengalaman dalam urusan tender di Antam, tapi mereka tak punya perusahaan yang memiliki izin usaha pertambangan. Yulius bersama Pramono Anung memiliki PT Yudistira Bumi Bhakti yang usahanya di bidang ini. “Tapi ternyata Yudistira tak punya modal,” ujar Rafli.
Foto udara bekas wilayah tambang nikel PT Yudhistira Bumi Bhakti di Tanjung Buli, Maba, Halmahera Timur. TEMPO
Rafli dan Yulius lalu mengontak Miming Leonardo, pemilik PT Surya Labuan Sari. Miming juga mengenal Agus Suparmanto, yang ketika itu tengah berkibar dengan usaha percetakan dan properti melalui PT Mitrasysta Nusantara.
Pucuk dicita ulam tiba. Setelah mendengar peluang mereka cukup besar untuk memenangi tender itu, Agus setuju mengucurkan modal awal sebanyak US$ 6 juta atau Rp 58 miliar pada kurs Rp 9.600 per dolar Amerika Serikat waktu itu.
Benar saja. Meski baru pertama kali ikut lelang di Antam, Yudistira dinyatakan menang, mengalahkan PT Minerina Bhakti, anak usaha Dana Pensiun Antam; dan PT Kasuari, anak usaha PT Intraco Penta yang lama mengerjakan proyek-proyek pengerukan bijih tambang. Harga yang diajukan Yudistira US$ 8,47 per WMT untuk pengerukan hingga pengiriman ke kapal untuk ekspor.
Rafli menduga Yudistira menang karena ada Pramono Anung di jajaran pemilik perusahaan. Popularitas Pramono Anung di Antam dikonfirmasi Dedi Aditya Sumanagara, Direktur Antam ketika itu. “Dia adik kelas saya di ITB,” katanya. “Tapi bukan karena dia PT Yudistira menang tender.” Sementara itu, Pramono mengaku tak mengenal satu pun anggota direksi Antam. “Sejak menjadi anggota DPR pada 1999, saya sudah melepas segala urusan bisnis di Yudistira,” tuturnya.
Menurut Dedi, ada banyak faktor yang dipertimbangkan dalam menunjuk perusahaan Pramono itu menang lelang pengerukan bijih nikel di Halmahera. Salah satunya harga penawaran.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, 11 Maret 2020. ANTARA/Muhammad Adimaja
Padahal, menurut Rafli, harga yang mereka ajukan sebetulnya harga tertinggi dan di atas rata-rata pasar. Sebab, harga normal untuk proyek serupa di Halmahera senilai US$ 8,35 per WMT bijih nikel. “Memang harganya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontraktor lain di Halmahera,” kata Dedi mengakui. “Tapi ada effort perusahaan melakukan reklamasi, konservasi, bahkan membebaskan lahan.”
Setelah proyek di tangan, para pengendali Yudistira mulai berembuk membagi saham dan keuntungan proyek. Sebagai pemodal, Agus Suparmanto dan Miming Leonardo disepakati mendapat 70 persen keuntungan, sementara Yulius Isyudianto dan Pramono Anung mendapat 10 persen. Sisanya dibagi untuk para pemrakarsa lain. Syaratnya, seluruh saham Pramono dan Yulius di Yudistira diserahkan kepada Miming dan Juandy Tanumihardja, yang menjadi pelaksana proyek. “Itu atas permintaan Agus,” ujar Yulius.
Kegiatan mengeruk nikel di Tanjung Buli pun dimulai pada 2001. Dalam kontrak, pengerukan bijih nikel itu akan berakhir pada 18 Juli 2004. Anehnya, hingga tiga tahun berlalu, menjelang masa berakhir kontrak, Antam tak kunjung membuka tender baru. Direktur Antam Dedi Aditya malah menunjuk langsung Yudistira meneruskan proyek untuk periode kedua hingga 18 Juli 2007. “Itu bukan penunjukan langsung, tapi perpanjangan kontrak,” ucap Dedi ketika dimintai konfirmasi.
Menurut dia, dalam aturan Pedoman Pengelolaan Rantai Pasokan Antam, perpanjangan kontrak dimungkinkan. Selain itu, dalam kontrak pertama ada klausul perpanjangan jika proyek masih berjalan. Ketika disinggung bahwa pada 2003 sudah ada Keputusan Presiden Nomor 80 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah tentang kewajiban lelang, Dedi mengatakan aturan internal mereka sudah mengacu pada keputusan tersebut.
Selain soal aturan yang membolehkan, kata Dedi, penunjukan kembali Yudistira menimbang urusan bisnis. Pada 2007, menurut dia, harga nikel dunia sedang naik sampai US$ 52,35 per ton—tertinggi sejak 1979. Maka jika Antam membuka lelang, yang membutuhkan waktu empat-enam bulan, potensi keuntungan perusahaan negara tersebut akan hilang selama masa menunggu pemenang tender. “Terbukti keuntungan bersih kami pada 2007 mencapai US$ 500 juta,” ujar Dedi.
Masalahnya, penunjukan langsung kepada Yudistira berlanjut untuk kontrak-kontrak berikutnya, bahkan hingga Dedi digantikan Alwin Syah Loebis pada 2008. Sama seperti Dedi, Alwin menunjuk Yudistira untuk kontrak berikutnya hingga 2014.
Alwin—juga sama seperti Dedi—bersandar pada alasan aturan internal dan pertimbangan bisnis harga nikel dunia yang sedang bagus sehingga lelang ditiadakan. “Jika tender akan lama sehingga mengganggu waktu produksi,” tuturnya. Padahal harga nikel pada 2008 turun 22 persen, seperti dicatat laporan keuangan Antam tahun itu.
•••
PROYEK Yudistira berjalan mulus hingga setahun menjelang berakhirnya kerja mereka di Tanjung Buli. Pada 2013, Rafli Ananta Murad dan Yulius Isyudianto menagih jatah mereka dalam kesepakatan awal. Dari perhitungan keduanya, pendapatan Yudistira dari proyek mengeruk bijih nikel dan mengapalkannya pada 2001-2012 mencapai Rp 7 triliun. Dari situ, keuntungan bersihnya diperkirakan sebanyak US$ 280 juta atau sekitar Rp 2,7 triliun.
Artinya, di luar jatah Agus Suparmanto, Yulius dan para komisaris lain seharusnya mendapatkan Rp 1 triliun. Namun, kata Rafli, Agus selalu mengelak ketika disinggung soal pembagian jatah itu. Bosan menagih, Rafli dan Yulius lalu menyewa pengacara untuk mensomasi Agus. Tak mempan juga. Agus selalu berkelit. Habis kesabaran, pada 2013 itu, Yulius akhirnya melaporkan Agus ke polisi dengan tuduhan menipu dan menggelapkan uang perusahaan.
Menurut Rafli, sempat tersiar kabar kalau satu dari tiga sekondan itu—Agus, Miming, dan Juandy—sudah hendak menjadi tersangka. Diduga karena itu, Agus mengontak Yulius mengajak damai. Ia menjanjikan uang Rp 500 miliar asalkan laporan Yulius ke polisi dicabut. Sebagai komitmen, Agus memberikan Rp 30 miliar. Deal. Kesepakatan di depan notaris pun dibuat. Hanya, tak tertulis di sana bahwa Agus akan membayar Rp 500 miliar seperti janjinya.
Sadar belakangan kalau perjanjian damai itu merugikan, Rafli dan Yulius kembali melaporkan Agus ke polisi dengan pasal sama pada Januari 2020. Sebab, selama tujuh tahun mereka menagih, Agus selalu mengelak mengakui nota perdamaian pada 2013 itu. Ironisnya, polisi berpatokan pada nota itu untuk menghentikan penyelidikan untuk laporan kedua Yulius.
Berita itulah yang dibaca oleh warga Desa Buli nun di Halmahera. Mereka masygul karena PT Yudistira Bumi Bhakti meninggalkan desa mereka begitu saja menyisakan lubang-lubang tambang tanpa reklamasi, apalagi konservasi. Laut yang penuh limbah sisa nikel membuat ikan hilang dan mendangkal sehingga mereka harus memutar perahu ketika melaut. “Ternyata semua ini hanya kepentingan bisnis,” ujar Ismanudin, warga Buli. “Masyarakat yang terkena dampak tak dipikirkan.”
•••
PARA nelayan Tanjung Buli bisa jadi makin bergidik kalau tahu hitung-hitungan proyek itu berdasarkan dokumen internal PT Yudistira Bumi Bhakti sendiri. Seperti disinggung Yulius Isyudianto, sejak awal harga yang mereka ajukan untuk mendapatkan proyek Halmahera itu sudah dikatrol setinggi mungkin.
Ini terlihat pada harga kontrak 2007-2009. Di sana tertera US$ 22,9 per wet metric ton. Padahal harga proyek yang sama di sekitar Halmahera ketika itu hanya sekitar US$ 11 per WMT.
Yulius dan Rafli Ananta Murad mengaku tak mengetahui persis bagaimana komponen harga yang dibuat Miming Leonardo dan Juandy Tanumihardja ketika mengajukan proyek tiap perpanjangan kontrak. Waktu itu Rafli hanya menjabat manajer teknis dan Yulius sudah tak cawe-cawe urusan manajemen.
Surat permintaan konfirmasi dari Direktur Utama PT Antam Alwin Syah Lubis ke PT Yudistira terkait temuan tim auditor internal Antam
Keduanya belakangan mencari data pembanding untuk tiap kontrak ke perusahaan lain di sekitar Tanjung Buli. Salah satunya dengan membandingkan harga di proyek yang sama di Pulau Obi—tak jauh dari Tanjung Buli—dengan medan yang mirip. Pelaksananya PT Parama Murti, berupa proyek pengerukan dan pengapalan pada 2010. “Harga di Yudistira itu US$ 18,62, sementara kontraktor Parama hanya US$ 9,04,” kata Rafli.
Menanggapi harga yang lebih tinggi dari harga wajar itu, Dedi Aditya Sumanagara dan Alwin Syah Loebis kembali menekankan bahwa komponen harga bergantung pada jenis kegiatan penambang. “Kalau lebih kecil itu pasti hanya ngeruk tambangnya, tidak ada reklamasi,” ujar Alwin. “Yudistira juga menambang dengan baik dan ramah lingkungan.”
Klaim Dedi dan Alwin tak sesuai dengan kenyataan. Seperti diungkapkan Slamet Keyi, yang memandu Tempo ke lokasi penambangan Yudistira pada 24 Maret lalu, pemulihan lahan bekas galian tambang tak benar-benar dilakukan. “Sejak Yudistira masih di sini, kami demo berkali-kali karena alam jadi berubah, tapi tak digubris,” kata Ismanudin.
Ihwal kelebihan harga juga dikonfirmasi oleh auditor internal PT Aneka Tambang. Pada 2009, auditor Antam menyurati direksi soal konsumsi bahan bakar minyak mesin dan kapal-kapal Yudistira yang angka penagihannya lebih tinggi dari realisasi lapangan yang dicek tim audit. Alwin Syah Loebis lalu meneruskan temuan itu kepada direksi Yudistira pada 18 Februari.
Balasan PT Yudistira yang menolak memberikan konfirmasi ke PT Antam terkait hasil temuan tim auditor internal Antam
Pada realisasi pekerjaan 2007 dan 2008, tim audit menemukan tagihan konsumsi bahan bakar untuk penambangan dan pengapalan berjumlah 13,77 liter per ton. Padahal, dalam realisasi di lapangan, tim audit menemukan konsumsi untuk penambangan hanya 2,81 liter per ton dan pengapalan 2,9 liter. Ada selisih 8,06 liter. Sepanjang periode itu, Yudistira menambang dan mengapalkan 3 juta ton bijih nikel.
Pada 23 Februari 2009, Juandy Tanumihardja membalas surat Alwin Syah. Ia menolak permintaan PT Antam menunjukkan harga bahan bakar sebenarnya, nama perusahaan penyedia, hingga ongkos angkutnya. Juandy beralasan, “Otoritas internal audit hanya mempunyai batas kewenangan yang bersifat internal organisasi perusahaan.”
Berbeda dengan Juandy, Alwin mengatakan tim audit sudah menerima penjelasan direksi Yudistira soal harga bahan bakar itu. “Di audit belum memasukkan konsumsi bahan bakar perusahaan subkontraktor Yudistira,” ujarnya. “Setelah dimasukkan, harganya jadi wajar.”
Pada awal Maret lalu, Tempo menemui Juandy untuk memperjelas duduk soal kelebihan harga itu di Hotel Mercure, Jakarta Utara. Ketika itu, ia sedang berbicara dengan pengacara Rafli Ananta Murad dalam gugatan penipuan dan penggelapan terhadap Agus Suparmanto, Husdi Herman. Setelah mereka selesai ngobrol, Tempo menemui Juandy dan menanyakan semua kejanggalan proyek nikel Halmahera itu. Setelah lama diam, ia menjawab, “Saya tak mau berkomentar.”
Tak hanya itu. Badan Pemeriksa Keuangan juga menjadikan kejanggalan kontrak Yudistira ini sebagai temuan audit pada 2014. BPK menyoroti nilai aset Yudistira yang diserahkan kepada Aneka Tambang setelah proyek selesai senilai Rp 13,7 miliar. BPK menilai nilai aset itu terlalu kecil sehingga berpotensi merugikan Antam. Catatan BPK terhadap proyek Yudistira adalah “Antam tak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyusun kontrak kerja sama”.
(dari kiri) Mantan Direktur PT. Yudistira Bumi Bhakti Juandy Tanumiharja,Husdi Herman dan Yulius Isyudianto di Senayan City, Jakarta, 18 Februari 2020. Dokomentasi Husdi Herman
Senior Vice President PT Antam Tbk Kunto Hendrapawoko mengatakan perusahaannya sudah melakukan perbaikan atas temuan audit tersebut sesuai dengan rekomendasi BPK. “Tindak lanjutnya sudah dinyatakan diterima BPK,” katanya dalam keterangan tertulis pada 21 Maret 2020.
Adapun Agus Suparmanto selalu mengelak ketika hendak dimintai konfirmasi soal proyek ini. Sewaktu ditemui setelah memberikan sambutan dalam acara Dialog Nasional Perdagangan 2020 oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, ia tak menjawab pertanyaan seputar proyek Halmahera. Menteri Perdagangan ini lebih senang menjawab pertanyaan soal dampak ekonomi akibat pandemi virus corona.
Surat permintaan wawancara secara resmi ke kantornya pun hanya dijawab bagian hubungan masyarakat bahwa Agus tak bersedia diwawancarai karena khawatir penularan virus corona. Ia mengutus pengacaranya, Petrus Bala Pattyona, untuk menjawab semua pertanyaan seputar proyek nikel di Maluku Utara. “Klien saya itu bukan pengurus Yudistira sehingga beliau merasa tidak berwenang menjawab pertanyaan,” ujarnya.
Menurut Petrus, semua keterangan dan tuduhan mantan kolega bisnis kliennya tak bisa dipertanggungjawabkan karena tak ada buktinya. Ia mengakui bahwa Agus adalah investor Yudistira, tapi bukan pemodal utama seperti diklaim Rafli Ananta Murad. “Klien saya tidak paham soal penunjukan langsung dan semua prosesnya,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kisruh Proyek Menteri Agus". Artikel ini diubah pada Senin, 30 Maret 2020 untuk memperbaiki akurasinya. Penanggung Jawab: Bagja Hidayat; Kepala Proyek: Agung Sedayu; Penulis: Agung Sedayu, Erwan Hermawan, Dini Pramita; Penyumbang Bahan: Agung Sedayu, Erwan Hermawan (Jakarta), Dini Pramita, Budhy Nurgianto (Halmahera); Penyelaras bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian; Periset foto: Jati Mahatmaji; Desain: Djunaedi