Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Faisal Abda’oe: "Tidak Ada Mark-Up di Balongan"

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKAN pertama Januari 1998. Di Kantor Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta, Faisal Abda’oe, 69 tahun, menyerahterimakan jabatannya kepada Soegianto. Tugasnya selesai, tapi bukan berarti Faisal—Direktur Utama Pertamina terlama kedua (1988-1998), setelah Ibnu Sutowo—bisa melenggang selepas upacara itu. (Mantan) Jaksa Agung Andi Ghalib mencatatnya sebagai salah satu calon tersangka dalam kasus korupsi dan mark-up proyek Exor I Balongan. Pria yang bekerja selama 38 tahun di Pertamina itu dinilai paling bertanggung jawab atas pembengkakan biaya proyek menjadi US$ 2,711 miliar (realisasinya US$ 2,451 miliar). Faisal dicurigai ”main mata” dengan Foster Wheeler, British Petroleum, dan Mitsui Co.—konsorsium pelaksana proyek Balongan yang ditunjuk tanpa tender.

Dalam wawancara dengan Iwan Setiawan dari TEMPO, Faisal membantah berbagai tudingan itu. Petikannya:


Dalam suratnya kepada Presiden Habibie, 21 Mei 1999, (mantan) Jaksa Agung Andi Ghalib menyebutkan bahwa Anda melanggar undang-undang karena melaporkan hasil Tim Negosiasi Pertamina kepada Menteri Pertambangan dan Energi serta Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri tanpa membahasnya lebih dulu dengan Kelompok Kerja III Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP)?

Justru apa yang saya lakukan sudah sesuai dengan undang-undang. Direksi bertanggung jawab kepada Mentamben sejauh menyangkut segi-segi perusahaan. Dan perlu Anda ketahui, saat itu Mentamben sekaligus menjadi Ketua DKPP. Jadi, saya tidak melanggar apa pun dari segi undang-undang.

Anda juga tidak membahas nilai proyek Balongan dengan Kelompok Kerja III DKPP, yang diketuai Prof. Kho, sebelum negosiasi. Mengapa?

Lo, hal itu tidak menyalahi aturan. Direksi Pertamina berhubungan langsung—secara hierarki organisasi—dengan DKPP yang membawahkan Kelompok Kerja III. Dan apa yang disampaikan Prof. Kho ketika mengoreksi proyek Balongan lewat surat 8 Agustus 1989 telah digunakan Mentamben Ginandjar Kartasasmita untuk mengarahkan direksi Pertamina.

Mengapa Pertamina mudah saja menerima saran Ginandjar untuk memperhatikan pendapat Prof. Kho soal estimasi proyek Balongan yang lebih mahal? Padahal, itu kan bukan suatu keharusan?

Sebagai Direktur Pertamina, saya harus melaksanakan kebijakan yang ditetapkan DKPP. Jadi, jika Pak Ginandjar mengatakan saya harus memperhatikan pendapat Prof. Kho soal estimasi nilai proyek Balongan, saya harus melaksanakannya. Arahan DKPP sifatnya harus dilaksanakan.

Prof. Kho tidak setuju pembangunan proyek Balongan dibagi menjadi dua paket seperti yang disarankan Pertamina—padahal bisa banyak menghemat. Apa betul Pertamina tak mampu melaksanakan ide tersebut?

Pertamina mampu. Kami bisa membuatnya berdasarkan pengalaman membangun kilang-kilang sebelumnya. Tapi, karena DKPP tidak menyetujui usulan itu, Pertamina tidak bisa berbuat lain kecuali melaksanakan apa yang diputuskan DKPP.

Mengapa Pertamina menunjuk Foster Wheeler dan kawan-kawan sebagai kontraktor tanpa tender terbuka, yang bisa membuat harga proyek bisa lebih murah?

Saat itu, saya belum memimpin Pertamina. Pak A.R. Ramly (Direktur Pertamina 1984-1988) yang lebih tahu soal ini.

Betulkah sejak awal proyek Balongan sengaja didesain agar terus merugi sehingga para pemasok bisa terus mendapatkan untung?

Saya kira Pertamina tidak ingin merugi. Jika kemudian terjadi kerusakan-kerusakan dalam operasi, hal itu bukan hanya kesalahan Pertamina. Sebab, desain kilang kan dibuat berdasarkan arahan DKPP.

Mengapa subkontraktor Pertamina dalam proyek Balongan diberikan kepada kalangan dekat Cendana seperti Erry Oudang, Bing Cintamani, dan Sigit Soeharto?

Wah, urusan teknis yang mendetail seperti itu bukan urusan saya. Sebagai Direktur Utama Pertamina, saya tidak pernah mengerjakan langsung hal-hal teknis. Di setiap bagian sudah ada direktur yang membawahkan, sedangkan saya tinggal menerima laporannya.

Anda disebut sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap mark-up Balongan?

Pada 1999, saya sudah memberikan keterangan ini di depan DPR. Tidak ada korupsi atau mark-up. Semuanya wajar-wajar saja.

Benarkah Anda ditekan Erry, Sigit Soeharto, atau Bing untuk memberikan ”bagian” dalam realisasi proyek Balongan?

Saya tidak pernah ditekan siapa pun selama proses realisasi proyek. Jadi, isu bahwa saya ditekan Sigit Soeharto, Erry, atau Bing itu tidak benar. Saya tidak kenal pribadi dengan Bing Cintamani dan Erry Oudang. Jangankan kenal, bertemu pun belum dengan kedua orang ini.

Bagaimana dengan Sigit Soeharto?

Kalau Sigit, saya kenal. Kami bertemu beberapa kali, ketika saya bersilaturahmi ke rumah Pak Harto di saat Lebaran. Tapi saya tidak pernah bertemu dengan Sigit dalam rangka proyek Balongan.

Sumber kami menyebutkan, Anda menunjuk langsung Universal Oil Product (UOP) sebagai licensor proyek Balongan setelah putra Anda dihadiahi sebuah mobil Ferrari. Apa betul?

Anak saya tidak pernah berhubungan dengan proyek Balongan, apalagi menerima mobil dari UOP. Dulu ada juga anggota DPR yang bilang saya punya ranch di Australia gara-gara proyek ini. Silakan saja buktikan ranch ini. Kalau ada yang menemukan dan bisa membuktikannya, silakan ambil ranch itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus