Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah mansion dibangun di atas tanah seluas hampir 3.000 meter persegi. Layaknya kediaman para hartawan, bangunan mewah itu dilengkapi kolam renang ukuran Olimpik, taman luas nan asri, mobil-mobil mewah serba kinclong baik di dalam maupun di luar garasi. Toh, ”istana” yang dibangun oleh 50 tukang yang diterbangkan khusus dari Manado—tanah asal istri si pemilik rumah—itu ”diberikan” begitu saja kepada para satpam, jongos, dan bedinde. Praktis merekalah yang setiap hari menikmati kemewahan rumah karena si pemilik sering bepergian.
Pemilik rumah yang murah hati itu bernama Erry Putra Oudang. Ia bukan anak miliuner, bukan juga pengusaha beken. Erry seorang makelar. Tapi, ia bukan sembarang makelar, memang. Proyek yang dimakelarinya luar biasa: kilang Balongan. Melalui perusahaannya, PT Libra Equipment, keponakan angkat Tien Soeharto ini menjadi agen Foster Wheeler (FW)—salah satu anggota konsorsium proyek Balongan—di Indonesia.
Bekas teller Bank ABN—sekarang ABN Amro—Belanda ini juga meraup uang jasa dari anggota konsorsium lain seperti British Petroleum dan Japan Gasoline Corporation (JGC). Zul Arsjad, Direktur Eagle Group, teman dekat Erry yang mengikuti negosiasi proyek Balongan selama 10 tahun, memastikan pundi-pundi pria kelahiran 1950 itu dipadati sekitar US$ 80 juta sebagai uang jasa dari ”konsorsium”. Sumber TEMPO di Pertamina membisikkan, fulus yang berhasil digaet Erry pasti lebih dari itu, ”Jasanya sebagai makelar senilai 4 persen dari nilai proyek,” katanya.
Banyak kawannya menuding Erry ”pemalas” yang hanya mengandalkan memo Pak Harto untuk melicinkan proyek. ”Orang ini seribu persen tukang catut. Bodoh, tapi licin seperti belut,” ujar Herman Spiro, mantan wakil presiden eksekutif PT Transwepp, milik Erry. Benar begitu? Nanti dulu!
Sepak terjangnya mungkin justru membuktikan betapa ”cerdas” otak Erry. Ke mana-mana ia sukses mengobral status sebagai keponakan Tien Soeharto. Dalam urusan bisnis, ia gemar menenteng nama sepupu angkatnya, Sigit Hardjojudanto, ”Dan kontraktor mana yang berani menolak Sigit pada waktu itu?” Herman melanjutkan.
Bermodalkan jalur Cendana pula Erry memikat orang untuk ”menanam jasa”. Zul Arsjad dan Sabar Tampubolon (almarhum) adalah kawan yang mendandaninya agar kelihatan bonafide: mengontrakkan rumah di kawasan elite Jakarta, Pondokindah, membelikan BMW, dan meminjami Erry mobil Lotus milik Zul. Untuk urusan melobi proyek Balongan ke luar negeri, ”keponakan babe” itu dibekali sekitar US$ 100 ribu per bulan. Imbalannya, Erry akan mengembalikan semua ”kasbon” sebesar US$ 1 juta. Belakangan, Zul meradang karena Erry hanya menyodorkan US$ 150 ribu setelah sukses mengeruk dolar Balongan. Padahal, Zul mengaku sudah tekor hampir US$ 2 juta untuk urusan itu.
Menurut sumber TEMPO di Pertamina, semua uang yang dimiliki Erry memang berasal dari sukses yang diraup dari proyek Balongan. Erry sendiri dalam sebuah wawancara dengan TEMPO, Oktober 1999, mengakui peranannya sebagai semacam ”duta besar” untuk FW—tentu saja ini tidak gratis. Alhasil, dengan berkoper-koper uang Balongan, ayah tiga anak itu memoles gaya hidupnya bagai selebriti kelas dunia.
Selain di Jatipadang, ia punya rumah di Jalan Wahid Hasyim dan Cempakaputih—semuanya di Jakarta. Di Singapura, ia membeli dua apartemen di kawasan mewah Mount Elisabeth dan Beverly Hills. Erry juga tak lupa memenuhi kewajibannya sebagai ayah dengan membayar sebuah rumah di Swiss untuk tempat tinggal anak-anaknya yang bersekolah di sana. Di musim liburan, mereka berlibur ke Los Angeles—tempat sang ayah dikabarkan telah melunasi pula sebuah rumah lain.
Kendati begitu royal terhadap anak-istrinya, Erry bukan tokoh favorit dalam keluarga orang tua kandungnya. Hazier Moein, kakak sedarah Erry, menjulukinya ”Malin Kundang”. ”Waktu ayah meninggal, ia tidak datang. Bahkan, permintaan bantuan biaya berobat ayah yang cuma Rp 750 ribu saja tidak dipenuhi Erry,” ujar Hazier kepada TEMPO.
Sayang, Erry tak dapat dimintai konfirmasi atas semua sepak terjangnya itu. Lebih dari 10 kali surat dan faks yang dilayangkan ke rumahnya tak bersambut. Saat TEMPO mendatangi rumahnya di Jatipadang, satpam cuma mengintip dari balik lubang pagar setinggi 2,5 meter dan berkata, ”Bapak sedang di luar kota.” Erina Oudang, putrinya, membenarkan hal itu ketika dihubungi per telepon.
Kabar terakhir, Erry lebih sering berada di Swiss bersama anak-anaknya. Sesekali ia pulang ke Indonesia. Tapi, anehnya, ia mencoba tampil sebagai sosok yang tak mudah dikenali. Bak bintang Hollywood Val Kilmer dalam film The Saint—kata teman-temannya—Erry kini mahir menyamarkan rupa dengan jenggot dan kumis palsu saban kali masuk Jakarta. Boleh jadi ini bagian dari gaya hidupnya yang paling mutakhir, atau caranya menghindarkan diri dari kejaran hantu-hantu korupsi masa lalu. Dan ketika para mantan pejabat ramai-ramai dipanggil Kejaksaan Agung soal Balongan, lengkaplah kehebatan kisah Erry Oudang. Agaknya—setidaknya hingga saat ini—ia tetap menjadi sosok yang tak terjamah. ”The untouchable”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo