Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Siapa Berpesta di Balongan?

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU betul Pertamina sebenarnya sanggup membangun kilang Balongan dengan biaya US$ 1,6 miliar, kenapa akhirnya kilang dibangun dengan biaya sekitar US$ 2,381 miliar? Lalu, ke mana menguapnya uang jutaan dolar itu? Siapa yang berpesta dalam gelimangan dolar dari Balongan?

Balongan adalah misteri. Tak sulit untuk mencium adanya ketidakberesan di Balongan. Namun, ternyata tak mudah untuk menjawab beberapa pertanyaan publik. Setidaknya, hingga hari ini dugaan korupsi pada kilang yang diresmikan (mantan) Presiden Soeharto pada 24 Mei 1995 itu tak kunjung terbukti. Sejauh ini, Kejaksaan Agung baru menyebut dua nama sebagai calon tersangka: Faisal Abda’oe, bekas direktur Pertamina, dan Tabrani Ismail, bekas ketua tim negosiasi proyek Balongan. Kedua calon tersangka itu, karena posisinya dalam proyek pembangunan Balongan, dinilai harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi.

Hingga hari ini memang tak pernah diketahui dengan jelas apakah nama-nama yang selama ini banyak disebut-sebut orang diuntungkan oleh Balongan itu memang benar telah menerima uang secara tak wajar dari proyek itu. Nama-nama yang disebut berikut ini yang pasti punya kaitan dengan Balongan karena posisi dan jabatannya.

Ginandjar Kartasasmita
Sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada 1988-1993, Ginandjar disebut-sebut punya andil dalam menggelembungkan nilai proyek. Kedudukan sebagai menteri sekaligus Ketua Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP) membuat Ginandjar bisa mengarahkan direksi Pertamina. Sementara itu, menurut Direktur Utama Pertamina kala itu, Faisal Abda’oe, arahan DKPP itu sifatnya harus dilaksanakan. Menurut bekas anak buahnya yang lain, dalam setiap rapat DKPP ia selalu membuat arahan agar negosiasi proyek Balongan bisa dengan cepat diselesaikan. Bekas Menteri Muda Produksi Dalam Negeri ini, dengan mewajibkan pemakaian produksi dalam negeri, juga dinilai membuka peluang masuknya industri yang tak efisien untuk ”ikut bermain”. Atas saran Ginandjar untuk memakai produk lokal 34 persen, akhirnya para kontraktor lokal setidaknya mendapat jatah pekerjaan senilai US$ 230 juta.

Namun, kepada TEMPO, Ginandjar mengaku tidak tahu-menahu soal Balongan. Alasannya, sebulan sebelum ia diangkat menjadi menteri, keluar Instruksi Presiden No. 1/1998 yang menyebutkan proyek-proyek bernilai Rp 3 miliar ke atas harus mendapat persetujuan dari Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Pengawasan Perbankan.

Faisal Abda’oe
Menjadi direktur utama Pertamina saat proyek ini sedang dibangun, Abda’oe dianggap paling bertanggung jawab soal Balongan. Dalam surat Jaksa Agung (waktu itu) Andi Ghalib kepada Presiden Habibie, 21 Mei 1999, Abda’oe disebut sebagai salah satu calon tersangka.

Ia dinilai turut menggelembungkan biaya proyek. Misalnya, Foster Wheeler (FW) tidak pernah menyebut secara eksplisit berapa nilai proyek yang mereka tawarkan, tetapi oleh Abda’oe ditulis US$ 2,049 miliar. Sementara itu, menurut Asisten Menteri Negara Riset dan Teknologi, Profesor Kho Khian Hoo, konsorsium Balongan itu menawarkan US$ 1,85 miliar lump sum (nilai total, termasuk bunganya).

Dirut Pertamina ini juga dianggap harus bertanggung jawab atas penunjukan ”atas petunjuk pemerintah”—tanpa tender—konsorsium FW dari Inggris, Mitsui Company (Jepang), dan British Petroleum. Selain itu, Abda’oe juga dituduh telah memasukkan nama Universal Oil Product (UOP) sebagai arsitek kilang Balongan setelah perusahaan itu mengajak berkongsi anaknya. Tuduhan ini dibantah keras. ”Anak saya tidak pernah berhubungan dengan proyek Balongan,” katanya (lihat wawancara dengan Abda’oe: ”Tidak Ada Mark-Up di Balongan”).

Tabrani Ismail
Lelaki asal Palembang yang mantan direktur pengolahan Pertamina ini juga disebut-sebut sebagai calon tersangka dalam kasus penggelembungan nilai proyek Balongan. Ia adalah ketua tim negosiasi Pertamina yang menghasilkan perhitungan nilai total proyek sebesar US$ 1,999 miliar (belum termasuk bunga dan pajak). Sebetulnya, bersama Kho, Tabrani yakin bahwa US$ 1,623 miliar sudah cukup untuk membangun kilang Balongan. Namun, katanya, ia terpaksa menerima hasil negosiasi yang nilainya lebih besar. Kepada jaksa di Kejaksaan Agung, Tabrani mengaku mendapat tekanan dari Erry Putra Oudang, Sigit Hardjojudanto, dan Bing Cintamani. Para makelar itu, kata Tabrani, selalu menyatakan bahwa harga itu sudah disetujui presiden.

Radius Prawiro
Radius menjabat Menko Ekuin & Wasbang periode 1988-1993. Dialah yang menyetujui pembangunan kilang Balongan senilai US$ 1,999 miliar (tak termasuk bunga dan pajak). Radius bisa saja disalahkan karena tidak memberikan koreksi dan masukan atas nilai proyek dan menyetujui saja yang diajukan Dirut Pertamina, termasuk siapa saja yang berbagi kue di Balongan, tanpa ada tender. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Erry Oudang, melalui istrinya, Barbara, bertugas mendekati Radius agar memuluskan proyek Balongan.

Erry Putra Oudang
Erry Oudang dianggap ”otak” penggelembungan kilang Balongan. Anak angkat Mappa Oudang—mantan duta besar RI di Swiss dan kakak ipar Bu Tien—ini hanya lulusan SMA untuk anak-anak Kedutaan Besar RI di Den Haag, Belanda. Meski begitu, ia bisa malang melintang di Balongan karena ia adalah keponakan istri orang nomor satu di Indonesia pada waktu itu. Ia dikabarkan pernah mengajak Tabrani Ismail ke Tapos untuk ”menekannya” agar proyek cepat terealisasi. Dikabarkan, hadir di Tapos waktu itu T.B. Silalahi dan Pranowo. Namun, kedua perwira TNI itu dalam keterangannya kepada pers menolak keras keterlibatannya (lihat profil Erry: Malin Kundang, Sang Keponakan).

Ia mendirikan PT Transweep dan Mitra Trans Balongan agar semua pekerjaan Balongan jadi miliknya. Istrinya, Barbara Oudang, diangkatnya menjadi presiden direktur PT Jala Mustika Pradipta (JMP), yang mengurusi perkapalan. Kabarnya, dari perannya sebagai makelar perkapalan itu saja setidaknya ia bisa memasok ke pundi tabungannya di Singapura sebesar US$ 20 juta. Lewat perusahaan lainnya, PT Meri Protekno—perusahaan pengadaan barang—bersama Wisnu Suhardono, ia mendapat bagian US$ 268 ribu dari pengadaan barang.

Selain dari FW, Erry juga mendapat komisi dari tempat lain. Dengan PT JMP, Erry bermain dalam pengangkutan. Bersama Mitsui dan Japan Gasoline Corporation (JGC), Erry kembali mendapat untung. Alhasil, dengan peran sebagai makelar, dari kilang itu Erry dikabarkan berhasil mengantongi US$ 80 juta.

Keluarga Cendana
Sigit Hardjojudanto dan Siti Hardijanti Rukmana adalah dua nama anggota Keluarga Cendana yang berkibar di proyek Balongan. Sigit masuk ke Balongan setelah diajak Erry Oudang atas saran K.R.A. Soemoharyomo, nenek Sigit. Berbeda dengan Sigit, yang berperan hanya sebagai centeng, Tutut segera saja membangun kilang Polytama, berkongsi dengan British Petroleum, untuk mengolah hasil sampingan berupa propylene dari Balongan. Kilang ini dibangun di samping kilang Balongan.

Berdasarkan perjanjian antara Pertamina dan Balongan, propylene dari kilang ini harus dijual ke Polytama. Jadi, Balongan tidak bisa mengekspor sendiri propylene-nya, yang oleh Polytama cuma dihargai setengah harga internasional. Dari Balongan, Polytama mendapatkan untung 10 sen dolar per ton, sementara—bila berproduksi penuh—setiap hari Balongan menghasilkan 500 ton per hari. Lalu, Sigit dapat apa? Dari Erry dan Bing, seharusnya ia mendapat ”jatah preman” US$ 60 juta dolar, tapi kabarnya ia dikibuli Erry dan cuma diberi S$ 20 juta.

Bing Cintamani
Bing adalah mitra lokal dari FW. Untuk melancarkan proyek, didekatinya Erry Oudang dan Sigit Hardjojudanto. Karena Bing adalah kawan dekat ibu tiri Erry (istri kedua Mappa Oudang), Erry diajak Bing untuk memuluskan jalan. Tidak pernah jelas, berapa komisi yang didapatnya sebagai makelar. Namun, Bing selalu hadir dalam setiap negosiasi antara Pertamina dan para kontraktor, dan ”berjasa” untuk menakuti mereka atas nama Soehato dan Cendana.

Wisnu Suhardono
Pengusaha yang mantan anggota MPR dari Golkar ini adalah agen Merichem, perusahaan peralatan untuk industri dari Houston, Texas, Amerika Serikat. Wisnu menjual barang untuk peralatan dasar dan mekanik Exor Balongan kepada PT Meri Protekno milik Erry Oudang. Pada 6 Maret 1989, lewat Wisnu, PT Meri Protekno menerima komisi sebesar 10 persen dari total penjualan, yang besarnya US$ 4 juta lebih. Lewat PT Indhasana Hupasarana, kabarnya Wisnu akan menerima US$ 134 ribu, sedangkan bagian Meri Protekno adalah US$ 268 ribu.

Kepada TEMPO, Wisnu mengaku hanya membangun kompleks Atmosphere Residue Hydro-Demetalization (ARHD), yang nilainya mencapai US$ 200 juta. Proyek itu didesain oleh Chevron, yang mengerti karakter minyak mentah Duri untuk Balongan. Menurut dia, wajar jika Pertamina selalu memakai katalis milik perusahaannya karena, ”hanya kita yang proven.” Memang, saat katalisnya ditender ulang, Wisnu menang lagi. Nilai proyek katalis itu sendiri sekitar US$ 14 juta.

Datuk Hakim
British Petroleum, yang bertugas sebagai koordinator pemasaran minyak Balongan, menunjuk Datuk Hakim, pengusaha lokal asal Sumatra Selatan, sebagai mitra lokal. Datuk Hakim dikenal dekat dengan Tabrani Ismail. Biarpun kurang lobinya, melalui PT Insia Dipo ia berhasil masuk Pertamina dengan label pengusaha pribumi, yang memang diutamakan sebagai subkontraktor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus