Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Freeport: Berkah dan Kutukan

Isu tentang kontrak karyanya yang menghebohkan telah luruh. Namun tambang emas dan tembaga terbesar di dunia itu belum berhenti menjadi pusat sengketa politik dan lingkungan hidup. Meski sempat kalah, Suku Amungme bersumpah melanjutkan gugatannya terhadap raksasa Amerika itu. Namun Freeport terbukti terlalu digdaya.

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah berita gembira datang dari Freeport-McMoRan Copper and Gold Inc. (FMCG) pekan ini, untuk para pemegang sahamnya. Pendapatan pada kuartal keempat perusahaan itu memenuhi target tak lain berkat rekor produksi tembaga dan emas yang ditambang oleh PT Freeport Indonesia, unit operasinya di Irianjaya, sebuah perusahaan patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki FMCG.

Namun, kabar gembira itu tetap saja tak berhasil mendongkrak harga saham Freeport. Di New York Stock Exchange, saham perusahaan yang terdaftar dengan simbol FCX itu terus merosot sejak akhir tahun silam--dari US$ 30 pada Oktober 1997 menjadi US$ 12 pekan-pekan ini. Pada hari siaran itu dilansir, FCX justru jatuh 12 persen mendekati US$ 11.

Risiko dan ketidakpastian politiklah yang tampaknya membuat para investor sulit menengok saham Freeport, betapapun menjanjikannya. Menambang dua gunung yang menjilat langit di tengah rimba Irian yang perawan namun ranum akan kekayaan alam, Freeport belum berhenti menjadi pusat sengketa politik dan lingkungan.

Selamat dari perebutan yang memalukan atas tambang emas palsu di Busang dua tahun silam, raksasa pertambangan yang bermarkas di New Orleans itu memang belum berhenti menjadi bulan-bulanan berita miring. Yang pertama ketika Soeharto, pendukung setianya, jatuh pada Mei lalu. Beberapa bulan kemudian, koran terkemuka Amerika, The Wall Street Journal, dan Jeffrey Winters menghebohkan kontrak karyanya yang diduga sarat kolusi, sehingga sejumlah anggota DPR sempat mengusulkan untuk menghentikan operasinya (meski terbukti tidak). Pertengahan Desember lalu, sebuah musyawarah suku-suku Irianjaya memutuskan untuk meneruskan gugatan ke alamatnya. (Lihat: Ketika Janji tak Terpenuhi)

Dan pekan lalu, majalah Time mengganggunya dengan sebuah berita kecil: menobatkan Emmy Hafild, aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sebagai "Pahlawan Planet Bumi". Emmy dikenal sebagai salah satu pengecam keras Freeport.

Untuk sebagian hal, kehadiran Freeport jelas bukan semata kutukan. Freeport datang sebagai perusahaan asing pertama yang masuk ke sini setelah rezim Orde Baru membuka peluang bagi investasi asing pada 1967. Proyek Freeport--yang semula hanya merupakan penambangan tembaga di Pegunungan Erstberg--telah memoles citra Indonesia sebagai "lahan baru" yang menggiurkan bagi investasi asing kala itu. Pengusaha Eropa dan Jepang belakangan mengalir ke sini, menyumbangkan pertumbuhan ekonomi yang gemerlap pada masa Orde Baru.

Namun, lebih gemerlap lagi bagi Freeport sendiri. Hanya dua tahun setelah berproduksi, pada 1973, Freeport berhasil mengantongi perolehan bersih US$ 60 juta dari tembaga yang ditambangnya. Dan mujur bagi Freeport, pada 1988, yakni 18 tahun sebelum sewa tambangnya usai, perusahaan itu menemukan Grasberg--timbunan emas, perak, dan tembaga senilai US$ 60 miliar--tak jauh dari lokasi penambangan semula. Dan mendatangkan rezeki sekitar US$ 1,8 miliar untuk perusahaan itu setiap tahunnya.

Pada 1991, Freeport memperbarui kontrak karyanya untuk hak penambangan 30 tahun, dengan kemungkinan diperpajang 20 tahun sesudahnya. Kontrak karya ini dinilai banyak orang mengandung sejumlah misteri berkaitan dengan lingkungan terdekat Soeharto, serta menyinggung nama Ginandjar Kartasasmita. (lihat Tempo, 26 Oktober 1998).

Bagaimanapun, temuan emas itu langsung melejitkan Freeport dari sebuah perusahaan penambangan sulfur kelas menengah menjadi raksasa tambang kelas dunia. Sepanjang 1998, menurut siaran persnya pekan lalu, PT Freeport Indonesia menghasilkan agregat penjualan 1,71 miliar pon tembaga dan 2,77 juta ons emas. Pada 1999, penjualan bakal sedikit turun menjadi 1,4 miliar pon tembaga dan 2 juta ons emas.

Dengan begitu besar "harta karun" yang dipertaruhkan, tak aneh jika Freeport hampir senantiasa berada di pusat sorotan. Selama bertahun-tahun para pengecamnya mengambil Freeport sebagai contoh bagi neokolonialisme gaya baru. Perusahaan tambang itu telah mengucurkan miliaran dolar untuk Freeport sejak 1967 dan menjadikannya salah satu pembayar pajak terbesar bagi Indonesia. Namun, dalam prosesnya, para pengkritik mengatakan, perusahaan tambang itu telah memerkosa salah satu ekosistem dunia yang paling perawan dan hanya sedikit memberi berkah bagi penduduk sekelilingnya.

Freeport Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 17.000 orang Indonesia, khususnya yang didatangkan dari Jawa, hingga menambahkan pemicu keresahan bagi penduduk lokal. Dengan menambang 125.000 ton bijih mineral tiap harinya--belakangan ditingkatkan menjadi 190.000 ton per hari--dampak lingkungan yang ditimbulkannya akan sulit disembunyikan.

Dengan laju penambangan seperti itu, Freeport hampir secara harfiah mengubah Grasberg menjadi butiran debu, dan mengirimkan limbah penambangannya (tailing) ke Danau Wanagon dan Sungai Ajikwa, yang bermuara di Laut Arafuru. Sekitar 40 juta ton tailing disemburkannya setiap tahunnya.

Sebuah lembaga audit lingkungan independen Dames & Moore melaporkan pada 1996, dan disetujui oleh Freeport sendiri, bahwa ada sekitar 3,2 miliar ton limbah yang bakal dihasilkan penambangan itu sepanjang hidupnya. Ketika laporan dibuat, limbah yang tidak beracun tapi menghasilkan asam itu telah memberikan "dampak signifikan terhadap lingkungan", terhadap danau, sungai, serta kawasan hutan tropis seluas 11 mil persegi.

Pada 1994 hingga 1996, setidaknya ada satu laporan yang menuding Freeport telah melakukan kerusakan lingkungan luas; dua laporan tentang pelanggaran hak asasi oleh militer Indonesia (pemerintah Indonesia mengusasi 10 persen saham, dan Nusamba milik Bob Hasan serta yayasan-yayasan Soeharto menguasai 4,7 persen saham Freeport); serta empat laporan mempertanyakan peran Freeport dalam membantu represi oleh militer.

Wall Street Journal meyinggung kaitan Freeport dengan pejabat Indonesia di bawah kacamata Foreign Corrupt Practices Act, peraturan Amerika yang mengharamkan perusahaan negeri itu menyuap pejabat pemerintah asing. Namun, Freeport sendiri membantah telah melanggar aturan. Dalam surat pembacanya di koran itu, Freeport mengatakan "tak ada rahasia bahwa Mr. Moffett (Presiden Direktur Freeport James Moffett) dan Mr. Soeharto adalah teman", namun menegaskan pula bahwa pihaknya telah beberapa kali menolak permintaan imbalan yang diajukan para pejabat korup Indonesia.

Pada akhir Oktober 1995 lalu, Overseas Private Investment Corporation (OPIC) membatalkan polis asuransi senilai US$100 juta karena "perluasan proyek Freeport telah menyebabkan dampak lingkungan yang membahayakan". Namun, sejumlah politisi dan akademisi Amerika segera berada di sisi Freeport untuk membelanya. Belakangan OPIC takluk, dengan meneruskan polis asuransi tadi.

Dan sejauh ini tak ada langkah hukum yang membahayakan Freeport. Perusahaan itu terlalu digdaya untuk digoyang oleh kritik dan bahkan tuntutan hukum.

Mesin public-relation yang diluncurkannya juga tampaknya efektif. Situs internet perusahaan ini (www.fcx.com) begitu gamblang menjelaskan versinya sendiri atas berbagai soal, termasuk jawabannya atas berbagai kritik yang dilontarkan oleh media massa Amerika.

Ketika kontroversi OPIC tadi merebak, Freeport membelanjakan jutaan dolar untuk iklan di media massa terkemuka Amerika, termasuk tiga halaman penuh di harian The New York Times. Adalah antara lain untuk menjawab citranya yang sempat tercoreng oleh Jeffrey Winters, Freeport belakangan juga meluncurkan kampanye serupa di Indonesia, dengan memasang iklan di Kompas serta Tempo. Dan menerbitkan majalahnya sendiri di sini: The Nation.

Freeport punya teman di tempat yang tinggi, bahkan di Amerika. Jim Moffett menempati peringkat ke-400 dalam daftar penyumbang politik terbesar versi majalah Mother Jones. Dia mengeluarkan uang dari koceknya sendiri US$ 52 ribu pada 1993 hingga Juni 1995. Sementara itu, Freeport sendiri menyumbang sekitar US$ 1 juta untuk kandidat federal sejak 1980. Menurut koran The Los Angeles Times, mantan menteri luar negeri AS, Henry Kissinger, yang duduk dalam dewan komisaris perusahaan itu, ada pula dalam daftar penerima sumbangan Freeport.

Di kalangan akademisi, Freeport memiliki lebih banyak teman lagi karena murah hatinya memberikan jutaan dolar untuk berbagai universitas di Negara Bagian Lousiana maupun Texas. Namun, tak semua senang menerima, apalagi dikaitkan dengan Freeport. (lihat: Tangan Dingin Si Darah Dingin).

Tak mengherankan jika Tom Beanal, kepala suku Amungme, memperoleh kesan bahwa Freeport memandang segala bentuk protes dan perlawanan masyarakat lokal tak lebih sekadar "hiburan" belaka. Tapi sampai kapan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus