ANAK Anda cacingan? Jangan repot-repot ke warung untuk beli obat cacing. Beri saja dia temugiring. Tapi bagaimana jika nyamuk menyerang Anda? Tak perlu mencari obat nyamuk, baik yang semprot maupun bakar. Cobalah daun bratawali sebagai pengganti. Begitu pula jika Anda menderita rematik, diare, maag. Pakai obat tradisional saja, misalnya kunyit, temulawak, atau daun jambu biji.
Obat tradisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dewasa ini sedang mencapai puncak popularitasnya di dunia Barat. Bila dulu masyarakat sana sangat mengagungkan obat-obatan modern sebagai sarana penyembuh, belakangan mereka tengah gandrung tanaman obat atau biasa disebut herbal medicine.
Majalah Time baru-baru ini menulis, saking gandrungnya orang Amerika akan ''obat alam" ini, mereka menghabiskan lebih dari US$ 12 miliar pada 1997—atau dua kali lipat dari jumlah pada 1994—hanya untuk membeli suplemen alamiah. Otomatis, angka penjualan suplemen itu pun naik 10 persen per tahun.
Majalah berita terkemuka itu bahkan menyatakan kalau lebih dari 60 juta orang Amerika dewasa ini sudah terbiasa mengonsumsinya dalam dosis tertentu, dan persiapan meracik obat tradisional itu merupakan sesuatu yang lumrah sehari-hari.
Journal of the American Medical Association (JAMA) bahkan punya temuan menarik dari studi mengenai tanaman obat herbal dan pengobatan alternatif. Menurut mereka, dewasa ini warga Amerika lebih sering mengunjungi ahli obat tradisional—termasuk naturopaths yang mengklaim diri sebagai pakar tanaman obat dan terapi alamiah—ketimbang ke dokter umum.
Pengeluaran masyarakat Amerika untuk pengobatan alternatif (US$ 27 miliar) pun nyaris sebanding dengan dolar yang diberikan kepada dokter modern (US$ 29 miliar). Jadi, jangan heran pula bila, menurut JAMA, analis-analis dari perusahaan pialang rumah terkemuka sangat ingin bertemu para pimpinan puncak perusahaan produk nutrisi untuk—seperti biasa—menawarkan dagangan.
Tapi sebenarnya heboh ekspansi pasar tanaman obat dan suplemen, seperti yang terjadi di Amerika, membawa risiko terhadap konsumen. Pemerintahan Clinton belum punya aturan mengenai produk-produk semacam itu seketat yang diterapkan Jerman pada produk obat bebas dan makanannya. Pemerintah Jerman memang terkenal sangat ketat mengharuskan semua perusahaan mempunyai standar yang sama dalam hal kandungan dan proses manufaktur.
''Di Amerika, jika Anda membuka tutup botol suatu suplemen, mungkin Anda tak tahu pasti apa isinya," kata Jeffrey Delafuente, seorang guru besar farmasi di Virginia Commonwealth University, Richmond, kepada Time. ''Sebab, ada beberapa bahan yang belum terdaftar di dalamnya." Delafuente menambahkan bahwa konsumen tak selalu mengerti seberapa aktif bahan yang terdapat dalam tablet, sementara khasiat yang diklaim kalangan produsen pun belum tentu akurat.
Di Indonesia, situasinya nyaris tak berbeda. Pemerintah, lewat Departemen Kesehatan, memang telah mengajak masyarakat agar kembali ke tanaman obat lewat pencanangan program ''Kembali ke Alam, Manfaatkan Obat Asli Indonesia." Program ini digemakan pada peringatan Hari Kesehatan Nasional, 12 November silam.
Sayangnya, dari 7.000 jenis tanaman yang telah dibudidayakan di Indonesia, baru 940 yang diketahui berkhasiat sebagai obat dan baru 465 jenis yang dipakai dalam industri obat tradisional dalam negeri. Selain itu, jika obat tradisional akan dimasukkan ke area pelayanan kesehatan formal, mau tidak mau ia harus memenuhi kaidah yang ada dalam dunia kedokteran. Artinya, melewati uji empiris dan klinis. Padahal, kalau mengikuti metode konvensional secara ketat, proses itu bisa memakan waktu 15 tahun. Biayanya pun tidak sedikit.
Di sisi lain, kebutuhan akan obat tradisional terasa mendesak saat ini. Soalnya, harga obat-obatan modern telah melambung dua kali lipat dari sebelumnya, sementara daya beli masyarakat sudah jauh berkurang dan tanaman obat jelas lebih murah. Seandainya kendala yang menghadang perkembangan tanaman obat itu tak segera disingkirkan, kira-kira ada alternatif apa lagi, ya?
Wicaksono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini