Zaim Saidi
Peneliti di Public Interest and Advocacy Center (Pirac) Jakarta
UU Pemilu belum rampung dan belum disahkan menjadi UU, tapi para aktivis LSM, November lalu, telah menyelenggarakan lokakarya dengan tema: Pendidikan Pemilih. Penyelenggaranya adalah LBH Yogya dan LBH APIK Jakarta. Pesertanya mencapai 65 orang, 53 di antaranya mewakili LSM dari Aceh sampai Irianjaya. Untuk ukuran LSM, lokakarya dua hari ini (10-11 November 1998) tergolong "akbar". Selain tokoh LSM terkemuka, juga hadir Douglas Ramaga, seorang Indonesianist, dan Direktur The Asia Foundation perwakilan Indonesia.
Melihat yang hadir, lokakarya di Yogya itu tentu bukanlah sekadar lesehan dan kumpul-kumpul. Lebih dari itu, topik yang dipilih sungguh tidak lazim. Akhir tahun 1998, di sebuah kampus di Jakarta, civitas academica-nya mempersiapkan komite pemantau pemilihan umum, yang juga memang sangat diperlukan. Tapi di Yogya aktivis LSM mempersiapkan mental para pemilih yang akan menyukseskan pemilihan umum itu. Atau secara sederhana dapat dikatakan mencoba membekali warga negara dengan informasi yang diperlukan untuk mengikuti pemilu secara efektif. Artinya, ikut pemilu dengan kesadaran sendiri, tak dipaksa-paksa, sambil menghormati perbedaan pilihan orang lain. Di negara yang konon kampiun demokrasi seperti Amerika Serikat, pendidikan pemilih ini sangat gencar dilakukan. Tengok saja website lewat internet. Puluhan homepage tentang voter education bertebaran di situ. Bentuk dan isi pendidikan pemilih itu pun bermacam-macam.
Dari segi sikap politik, pendidikan pemilih bisa dibedakan antara yang partisan dan yang tidak. Liga Pemilih Perempuan (The League of Women Voters) yang ada di Minnesota, misalnya, mengeluarkan Voter Guide '98 dan Voter Information Packet yang berisi biografi para calon, sikap mereka terhadap isu tertentu, agenda politik yang tengah diperdebatkan, sampai seluk-beluk proses pemilu. Informasi itu ditujukan untuk semua pemilih tanpa sikap mendukung atau menolak pihak tertentu. Lain halnya dengan Sierra Club cabang Colorado. LSM ini mengajarkan pemilih untuk bersikap memihak kebijakan yang melindungi lingkungan dan tokoh-tokoh politik yang pro-lingkungan.
Bagaimana dengan sikap aktivis LSM kita? Setidaknya mereka yang hadir di Yogya itu sepakat akan pentingnya pendidikan pemilih yang nonpartisan, meski sikap partisan tidak dianggap jelek. Yang menarik, semuanya sepakat bahwa pesan yang harus dikampanyekan pertama-tama adalah kebebasan dari rasa takut dan kebebasan memilih. Baru kemudian pesan-pesan yang lebih praktis sekitar seluk-beluk pemilu. Perhatian khusus juga diberikan pada kaum perempuan, antara lain agar tak selalu mengekor pada pilihan suami.
Dari sisi lain tumbuhnya gairah untuk "mendidik" para pemilih ini merupakan fenomena menarik. Meski tampak "kurang ideologis", pendidikan pemilih merupakan kontras dari gerakan antipemilu yang populer dijuluki golongan putih (golput), dengan tokoh utamanya Arief Budiman. Di masa lalu, kalangan LSM umumnya adalah penganjur golput juga, meski tidak mempropagandakannya secara gencar. Masalahnya kini, kalau sistemnya demokratis, mengapa harus golput.
Dalam prakteknya nanti kampanye pendidikan pemilih ini pada dasarnya sangat mirip dengan strategi pemasaran sosial. Ya, barangkali semacam kampanye keluarga berencana, pemakaian oralit, atau penggunaan sabuk pengaman. Cuma, dalam pendidikan pemilih, yang dipasarkan secara massal itu adalah nilai-nilai dasar politik tertentu seperti demokrasi, kebebasan, atau persamaan, selain tetek-bengek tata cara berpartisipasi dalam pemilu. Kalau saja jadwal pemilu kita tak berubah, yakni Juni 1999, waktu sekitar enam bulan dapat digunakan untuk mendidik para pemilih dalam memahami persoalan seperti itu.
Namun, ada satu hal yang sebaiknya tetap diingat oleh para pendidik pemilih ini. Yang jadi masalah adalah efektivitas dan dampak jangka panjangnya. Sama halnya dengan pemasaran sosial lainnya, yang diincar dengan program pendidikan pemilih pada dasarnya adalah perubahan perilaku. Maka sifatnya agak instan. Lain halnya dengan civic education atau pendidikan kewarganegaraan, yang dulu kita kenal di sekolah menengah. Tak mengherankan bila sejumlah aktivis LSM bahkan merasa bahwa yang diperlukan sekarang ini sesungguhnya adalah pendidikan kesadaran berpolitik yang sejati, bukan sekadar mempengaruhi perilaku jangka pendek.
Lantas, akankah pendidikan pemilih ini segera berkembang menjadi sebuah gerakan? Tidak seperti golput yang terus kerdil karena tak direstui pemerintah, kegiatan pendidikan pemilih ini boleh jadi kelak akan terus berkembang. Dengan adanya kegiatan pendidikan pemilih, pemilu dan masa-masa persiapan serta kegiatan kampanye juga akan tambah meriah. Good government mana yang tak senang rakyatnya dengan penuh kesadaran ikut serta dalam pemilu? Tentu, asal asumsi dasarnya ialah bahwa kita saat ini benar-benar dalam transisi menuju demokrasi. Asumsi dasar lainnya di balik gerakan pendidikan pemilih adalah bahwa pemilu yang jujur dan adil adalah jalan terbaik dan absah bagi sebuah pemerintahan.
Paling tidak, pendidikan pemilih bisa bermanfaat untuk menggairahkan masyarakat yang mulai apatis dan sebal dengan politik, dan mengusahakan agar mereka tetap datang ke tempat pemungutan suara (TPS) serta mencoblos dengan baik dan benar tanpa dipaksa-paksa. Lebih jauh dari itu, para pemilih akan terus meminta pertanggungjawaban pada siapa pun yang menerima mandat mereka kelak kemudian hari. Harapan-harapan seperti ini tetap dipelihara dengan asumsi pemilu yang akan datang bisa demokratis, jujur, dan adil. Tapi kalau tidak demokratis, kegiatan pendidikan pemilih yang baru dirintis itu salah-salah bisa tumbuh dan membesar sebagai gerakan pendidikan golput.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini