Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Ketika Janji tak Terpenuhi

Kisah nestapa dan perlawanan suku Amungme.

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suku Amungme memandang tanah tempat hidupnya sebagai ibunda yang tengah lelap tidur. Kepalanya bertelekan puncak gunung tinggi, sementara kakinya menjulur hingga Laut Arafura.

Dan Freeport menggerogoti tubuh ibunda keramat itu "tanpa sedikit pun merasa bersalah". Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh Tom Beanal, Kepala Suku Amungme. Pada 1974, Beanal menandatangani sebuah perjanjian yang kelak akan disesalinya. Perjanjian itu pada dasarnya menyerahkan hak pengelolaan tanah Amungme kepada Freeport sebagai imbalan atas bantuan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang dijanjikan perusahaan Amerika itu.

"Saya percaya mereka akan mematuhi perjanjian karena mereka orang kulit putih," kata Beanal seperti dikutip The Wall Street Journal (29 September 1998). "Saya percaya, karena orang putihlah yang datang kepada kami dengan membawa agama Kristen dan bicara tentang cinta."

Beanal, kini 51 tahun, berkeliling Irian setelah menyelesaikan studinya di universitas. Ketika kembali ke tanah leluhurnya pada 1991, dia menemukan "tak ada yang berubah". Freeport, menurutnya, telah menyalahi janji.

"Mereka merampas tanah kami dan tanah leluhur kami," kata Tom Beanal, Kepala Suku Amungme, seperti dikutip majalah investigasi Amerika Mother Jones. "Mereka menghancurkan gunung. Mereka merusak lingkungan kami dengan membuang limbah di sungai. Kami tak lagi bisa meminum airnya."

Seperti Mobil Oil di Aceh, Freeport menemukan perlawanan dari penduduk lokal. Dan seperti Arun, penambangan emas raksasa itu mengilhami pemberontakan lokal atas kebijakan pemerintah pusat, lahan subur bagi kemungkinan pemisahan diri jika tak menemukan pemecahan.

Ketika suku Amungme menolak ekspansi operasi Freeport di puncak keramat itu, tentara menggebah mereka turun dari pegunungan. Panah mereka bukan tandingan senapan tentara. Freeport, di bawah kontrak pemerintah, membayar sebagian besar logistik operasi tentara di kawasan proyeknya. Selama beberapa tahun belakangan, para aktivis hak asasi manusia memperkirakan tentara membunuh lusinan warga setempat untuk menindas perlawanan. (Pemerintah Indonesia menguasai 10 persen saham Freeport).

Pada 1996, dibantu oleh organisasi-organisasi lingkungan, suku Amungme menuntut ganti rugi atas "terorisme lingkungan" dan "pembantaian budaya" yang dilakukan Freeport. "Kekuatan ada pada mereka, uang ada pada mereka, tentara ada di pihak mereka; kami tak punya apa-apa," kata Baenal. Maret 1998, hakim federal menolak tuntutan Beanal, tapi Beanal naik banding.

Di bawah kecaman yang kian tajam, Freeport belakangan bersikap lebih lunak. Perusahaan itu membangun dam untuk menampung tailing serta membuat laboratorium lingkungan senilai US$ 2 juta untuk memantau kadar racunnya. Freeport juga berjanji menyisakan US$ 100 juta untuk membersihkan proyek ketika lokasi penambangan itu usai kontraknya 40 tahun yang akan datang.

Dan adalah Jim Moffett sendiri yang datang pada 1996, untuk menawarkan janji membelanjakan satu persen dari keuntungannya di Irian Jaya--US$ 15 juta setahun--untuk pembangunan lokal.

Tapi tawaran itu justru memicu kemarahan ketimbang terima kasih. Dalam sidang adat 7-13 Desember lalu, penduduk asli pemilik ulayat daerah penambangan Freeport yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (Lemasa) memutuskan resolusi yang antara lain akan melanjutkan gugatan terhadap Freeport. Musyawarah adat itu dihadiri oleh 700 wakil suku Amungme dan suku-suku asli Irian Jaya lainnya. Dan dipimpin oleh lima kepala suku, termasuk Tom Beanal. "Jika Freeport tidak serius mencari jalan penyelesaian yang adil, jujur, dan setara, Lemasa akan berupaya menutup seluruh aktivitas perusahaan itu."

Resolusi lain adalah mengutuk segala bentuk usaha dan aktivitas yang bertujuan melenyapkan etnis Papua. Mereka juga mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan program transmigrasi, baik spontan maupun formal. Program transmigrasi itu, menurut mereka, telah menyengsarakan para transmigran, menimbulkan kecemburuan sosial, dan melenyapkan budaya serta hak orang Papua atas sumber daya alam.

Sementara itu, mudah diduga, Jim Moffett akan datang dengan sanggahannya. Termasuk penolakannya telah membuat kerusakan lingkungan dramatis di penambangan itu, seperti yang pernah dikatakannya kepada harian The London Times beberapa tahun lalu, derajat polusi Freeport (begitu kecil) "setara dengan jika saya kencing di Laut Arafura".

Moffett tidak sadar bahwa dia tengah mengencingi tubuh ibu keramat suku Amungme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus