Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Harry R. Sudarsono: Saya Sudah Kerjakan Semua Kewajiban

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Silang sengkarut di kawasan Tanjung Uma tak menghilangkan senyum pria 46 tahun ini. Saat ditemui beberapa waktu lalu, Harry R. Sudarsono, Direktur PT Ekamas, membeberkan sebab-musabab kemandekan pembangunan di sana. Tetapi alumni Institut Teknologi Bandung itu membantah bahwa perusahaannya melakukan wanprestasi. ”Lahan sudah saya matangkan, dan uang pembebasan tanah sudah saya bayar,” ujar Harry dalam sebuah wawancara di Bandung, pertengahan Oktober lalu.

Bagaimana awal mula PT Ekamas ditunjuk sebagai developer di Tanjung Uma oleh Otorita Batam?

Awalnya, Otorita meluncurkan ide mengembangkan kawasan Tanjung Uma karena dekat dengan Nagoya. Mereka ingin menunjuk swasta sebagai developernya. Pada 1988 proyek diluncurkan dengan developer PT Bumimas. Setelah tiga tahun, ternyata tidak berjalan. Padahal sejumlah investor sudah mendaftar untuk memperoleh alokasi lahan di sana. Dalam keadaan proyek mandek ini, pada 1996, PT Ekamas masuk dengan syarat masterplan-nya harus direvisi dengan pertimbangan pasar.

Tetapi, dalam surat perjanjian kerja sama, akhirnya yang mewakili PT Repindo Trisakti Mas. Ceritanya bagaimana?

Sejak 1996 PT Ekamas telah bekerja sama dengan PT Repindo. Untuk memudahkan kinerja, Repindo dilebur dalam PT Eka Mas. Untuk proyek Tanjung Uma, PT Ekamas sebenarnya bukan sebagai developer melainkan sebagai land developer, yang menyiapkan infrastruktur dan modal. Jika semua sudah jadi dan ada investor yang beli, maka mereka harus bayar infrastrukturnya.

Anda masuk lewat tender?

Ya, tapi tender untuk menghitung estimasi biaya pembangunan Tanjung Uma. Jadi, bukan tender untuk menjadi developer Tanjung Uma.

Tetapi akhirnya Ekamas ditunjuk sebagai developer (pelaksana proyek)?

Kalau soal penunjukan itu memang tidak lewat tender. Saya hanya meneruskan.

Ada yang menyebut, penunjukan Anda tak lepas dari pengaruh ayah Anda, Soedarsono, yang juga Penasihat Ketua Otorita Batam….

Sangat mungkin itu terjadi. Karena memang saya tahu pertama kali dari beliau bahwa ada problem di Tanjung Uma. Karena kedekatan itu, saya menjadi orang pertama yang tahu kasus ini. Kalau dibilang ada KKN karena mendengar berita itu kemudian saya kerjakan, saya bilang, yes! Tapi kalau saya mengambil benefit karena KKN, itu tidak ada. Contohnya, harga infrastruktur dikunci dan tanggung jawab ditambah. Hingga saat ini saya masih rugi.

Sampai perjanjian berakhir, sudah berapa jauh pembangunan yang dilakukan Ekamas?

Kalau kita bicara absolut, lahan yang sudah kita matangkan mencapai 65 persen. Tapi memang masalahnya tidak dalam satu kawasan. Lahan-lahan matang itu terserak, karena kita tak bisa membebaskan lahan secara utuh. Jadi, bolong-bolong.

Anda juga wajib membangun infrastruktur. Tapi, banyak tudingan kualitas infrastruktur sangat buruk….

Soal kualitas diatur dalam perjanjian. Misalnya jalan yang dibangun harus berkualitas sama dengan jalan yang dibangun Otorita. OK, saya bangun jalan seperti itu di Bukit Permata. Tapi memang ada sebagian jalan yang kualitasnya rendah. Karena jalan ini setiap hari saya pakai untuk jalur transportasi pembangunan di Tanjung Uma. Sementara jalan yang masih sepotong-potong, karena masih ada lahan yang bermasalah.

Pada 1999 pembangunan sudah mandek. Kenapa?

Ya, itu saat terjadinya reformasi. Pertama, dolar naik tinggi. Di Batam, meskipun semua dihitung dalam rupiah, tapi nilainya diikat pada dolar. Saat itu proses pembebasan tanah langsung kacau. Tidak hanya itu, sejumlah pihak pemilik tanah yang sudah dibebaskan pada 1996 tiba-tiba minta uang ganti rugi lagi. Lebih kacau lagi, setelah berlakunya otonomi daerah, terjadilah tumpang-tindih lahan. Karena pemerintah kota juga ikut mengalokasikan tanah di Tanjung Uma. Tercatat ada tujuh developer yang overlapping di Tanjung Uma. Ini yang membuat pembangunan infrastruktur di Tanjung Uma bolong-bolong dan konsep integrated tidak berjalan.

Soal pembebasan tanah ini menjadi tanggung jawab siapa?

Berdasar surat perjanjian 1996, yang bertanggung jawab adalah Otorita. Saya hanya menyediakan modal untuk membangun infrastruktur. Tapi pada 2003, butir kesepakatan itu berubah. Saya juga diberi tugas melakukan pembebasan lahan.

Harga infrastruktur ditetapkan US$ 26. Apakah tidak terlalu tinggi?

Angka itu malah di bawah harga pasar. Kalau kita kalikan Rp 10 ribu, nilainya menjadi Rp 260 ribu. Ditambah bayar UWTO Rp 90 ribu, total Rp 350 ribu. Coba cari di mana harga tanah serendah itu di Batam. Apalagi harga ini juga untuk membayar jalan, saluran air, dan infrastruktur lainnya.

Siapa yang menetapkan angka itu?

Otorita Batam. Karena nilai pembangunan infrastruktur yang dilakukan di Tanjung Uma harus di-share kepada seluruh investor yang masuk. Sebenarnya proyek Tanjung Uma ini menguntungkan Otorita. Di sana yang memodali swasta. Dulu kawasan ini tidak ada nilainya, sekarang jadi berlipat. Apalagi nantinya seluruh aset ini akan menjadi milik Otorita.

Ada informasi, harga pasar untuk membangun infrastruktur di Batam hanya berkisar US$ 5-6….

Saat ini saya memang sedang ribut dengan satu investor. Dia mendapat lokasi dari pemerintah kota—dan bukan dari Otorita. Mereka bilang hanya mau ganti rugi untuk aspal seharga US$ 6. Ini tidak masuk akal. Mereka tidak lihat, sebelum mendapat lahan rata, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk meratakan tanah. Tanjung Uma ini kan wilayah perbukitan. Jadi saya bilang, ”Anda tidak bisa hanya membayar harga jalan saja di tanah yang sudah saya ratakan.” Kalau sudah begitu, mending kita fight saja.

Apakah ada investor yang mundur lantaran menilai US$ 26 terlalu tinggi?

Tidak ada. Harga itu sebenarnya tidak ada yang menawar, tapi banyak investor yang minta kurs dipatok. Tapi sulit. Akhirnya ditetapkan sesuai dengan floating saja.

Soal surat perjanjian, seharusnya perjanjian 1996 selesai pada 2001, kenapa baru diperbaharui pada 2003?

Pada masa 2001-2003 kami melakukan negosiasi dengan Otorita Batam soal isi perjanjian 1996. Akhirnya diputuskan kita membelah kawasan Tanjung Uma menjadi dua, areal I dan II. Kewenangannya juga berubah. Saya harus bertanggung jawab atas pembebasan tanah yang sebelumnya menjadi kewenangan Otorita.

Perjanjian itu akhirnya selesai September 2006. Apa artinya?

Artinya, saya kehilangan kewenangan mengelola areal II. Tetapi karena di areal I saya masih bersengketa dengan sejumlah pemilik tanah, saya masih harus menyelesaikannya.

Apakah PT Ekamas berhasil memenuhi kewajiban seperti tercantum dalam Perjanjian (addendum) 2003?

Tahap I, yang seharusnya harus diselesaikan pada 2006 ini, masih belum semua terlaksana. Tapi persentasenya kecil, sekitar 40 persen.

Ada yang menyebut Anda telah melakukan wanprestasi karena baru menyelesaikan 60 persen….

Kalau dibilang demikian, mungkin saja. Tapi semua tugas saya sudah saya lakukan. Lahan sudah saya matangkan, pembayaran pembebasan tanah sudah saya lakukan. Tapi ketika saya ingin bangun jalan, ada penolakan dan terhenti.

Di areal I, berapa jumlah investor yang telah masuk?

Kira-kira 30-40 investor. Sebagian kecil sudah melakukan kegiatan. Tapi memang ada kendala yang membuat proyek ini terlambat lantaran saya harus melakukan pembebasan tanah.

Kenapa banyak investor belum memulai kegiatannya di Tanjung Uma?

Konsepnya, Tanjung Uma akan terintegrasi dengan Nagoya. Tapi hingga kini Tanjung Uma belum menyambung dengan Nagoya. Karena itu, akses menjadi hal yang tidak mudah di Tanjung Uma.

Berapa dana yang telah Anda keluarkan?

Kira-kira Rp 70 miliar. Dan hingga kini masih rugi.

Ada data bahwa PT Ekamas memiliki anak perusahaan yang berinvestasi di Tanjung Uma….

Ya. Tanah-tanah yang tidak terjual, dalam perjanjian 2003, UWTO-nya harus dibayar Ekamas. Nah, lahan yang tak laku saya ambil untuk memenuhi isi perjanjian. Ada juga sejumlah investor yang tidak mau bayar UWTO lantas mundur, sayalah yang menutupi.

Berapa luas lahan tersebut?

Sekitar 8 hektare alias 4 kapling. Saya hanya ingin membangun tanah ini, saya jadikan tanah matang, dan akan saya jual lagi. Otorita juga tahu bahwa saya selalu dalam posisi untuk menjual. Saya bukan calo tanah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus