Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mangkraknya pembangunan Tanjung Uma menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Rusliden Hutagaol. Di tengah jam kerjanya yang sibuk, dia kerap menjadi mediator untuk menyelesaikan perselisihan antara developer dan investor di Tanjung Uma. ”Semua kena getahnya,” kata Rusliden saat ditemui di ruang kerjanya yang nyaman di Batam, akhir September lalu.
Bagaimana Anda melihat kinerja PT Ekamas Mandiri Perkasa dalam membangun Tanjung Uma?
Jika pelaksanaannya mengikuti butir-butir nota kerja sama, seharusnya pembangunan kawasan Tanjung Uma bisa cukup rapi. Investor masuk dan pembangunan kawasan berlanjut, tapi kenyataan di lapangan berbeda. Hingga saat ini pembangunan infrastruktur baru mencapai 40 persen, padahal proyek ini sudah berjalan 10 tahun. Jangankan untuk membangun reklamasi pantai (di Areal II), untuk Areal I pun belum sepenuhnya tergarap. Mandek.
Kenapa bisa mandek?
Alasannya soal pembebasan lahan yang tak beres. Sebenarnya pada awal proyek ini digelar, Ekamas dan tim khusus Otorita Batam untuk Tanjung Uma sudah bertemu dengan pemilik lahan. Ekamas berjanji masyarakat akan mendapatkan nilai plus atas proyek ini, antara lain akan dibangun jalan aspal, perumahan nelayan tipe 45, pasar ikan, dan lokasi lelang ikan. Saat itu pemilik tanah setuju. Mereka berharap nilai tanahnya akan semakin tinggi, tapi ternyata proyek ini tidak semulus perencanaannya. Pembangunan ruas jalan berjalan lambat, rencana pembangunan rumah penduduk juga tidak terealisasi. Akhirnya masyarakat, satu per satu, menyatakan mundur. Puncaknya pada 1999, proyek ini disetop.
Sebenarnya siapa yang bertanggung jawab atas biaya pembebasan tanah?
Nah, memang terjadi perselisihan. PT Ekamas menilai seharusnya kami yang bertanggung jawab. Alasannya nilai ganti rugi tanah telah disetujui Otorita. Tapi kami melihat, sebagai developer Ekamas wajib membangun kawasan menjadi lahan matang yang siap dijual pada investor, termasuk di dalamnya soal pembebasan tanah. Masalah ini bisa dituntaskan jika mereka bertindak cepat membebaskan tanah. Bukan dibiarkan berlarut-larut.
Pada 2001 perjanjian dengan PT Ekamas seharusnya berakhir. Kenapa akhirnya diteruskan?
Ya, seharusnya berakhir. Seluruh isi perjanjian yang belum terlaksana dikembalikan ke Otorita Batam, tapi kemudian PT Ekamas melayangkan protes karena mereka rugi. Alasannya telah mengeluarkan dana cukup besar tapi belum ada pemasukan. Perselisihan ini akhirnya ditengahi oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Apa keputusan BPKP?
BPKP relatif menyalahkan pihak PT Ekamas atas tersendatnya proyek Tanjung Uma. Bahkan mereka menyebut perjanjian kerja sama ini telah merugikan negara. Alasannya, pembangunan kawasan macet Otorita tidak dapat UWTO (uang wajib tahunan Otorita), pemerintah tidak mendapat pajak, dan pembangunan tidak terjadi. Oleh BPKP kasus ini akhirnya diselesaikan dengan me-review nota perjanjian.
Kenapa ada investor berselisih dengan PT Ekamas di Areal I soal harga infrastruktur?
PT Ekamas merasa mereka telah mengeluarkan dana besar untuk pembangunan Tanjung Uma (menyiapkan master plan, jalan, ganti rugi tanah, hingga memangkas bukit), jadi mereka menuntut investor membayar sesuai nota perjanjian 1996, yakni US$ 26 per meter persegi. Saya sendiri melihatnya bukan soal nilainya, tapi hasil kerja PT Ekamas yang tidak sesuai dengan harga infrastrukturnya.
Perjanjian dengan PT Ekamas berakhir pada September 2006. Ini artinya apa?
Jika hingga batas akhir perjanjian itu PT Ekamas merugi, itu risiko bisnis. Kalau sampai saat ini mereka melakukan deal dengan investor, ya, silakan saja. Tapi harus dengan patokan harga pasar yang pantas. Jangan sampai kasus ini menjadi bumerang dan membuat pembangunan Tanjung Uma kembali mandek. Apalagi di lahan sisa Areal I banyak dikuasai anak perusahaan PT Ekamas. Saya lupa jumlahnya, tapi cukup banyak. Otorita saat ini berkewajiban menagih pembangunan infrastruktur pada semua investor yang telah memiliki lahan, khususnya pada anak perusahaan PT Ekamas. Karena kalau mereka tidak memenuhi itu, apa bedanya dengan calo tanah?
Bagaimana pembangunan Tanjung Uma ke depan?
Saya melihat akan semakin sulit membangun infrastruktur di Tanjung Uma. Pertama, karena kawasan ini semakin kumuh, dan kedua, semakin menjamurnya rumah-rumah liar.
Kasus mandeknya pembangunan Tanjung Uma berdampak pada investor?
Jelas. Saya tidak tahu jumlah investor yang mundur akibat kasus ini, tapi yang jelas, perusahaan asing, khususnya Singapura, yang ingin masuk Batam akan berpikir dua kali. Karena mandeknya pembangunan infrastruktur berakibat pada mandeknya modal yang akan mereka tanam di Batam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo