Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musim kemarau selalu menjadi saat yang paling sibuk bagi Bambang Hero Saharjo. Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera membuat hidupnya lebih banyak dihabiskan di hutan, menelusuri bukti-bukti yang masih tersisa dan membuat laporan untuk polisi, ketimbang bersama keluarga. "Kalau kita tidak terlibat, banyak kasus yang tak bisa dibawa ke pengadilan," kata ayah dua anak ini.
Sepanjang tahun ini saja, Bambang sudah menyeret 56 tersangka pembakar hutan ke pengadilan. Saking sibuknya, pernah suatu hari, sepulang dari Riau, dia hanya lima jam di rumah sebelum kembali memburu titik-titik api di pedalaman Kalimantan. Bambang pun tak kapok meski pernah suatu ketika, heli yang membawanya menyusuri hutan-hutan di Sumatera Selatan hampir jatuh disambar api.
Namun dia amat kecewa ketika tahu bahwa banyak pejabat yang menganggap kebakaran hutan bukan bencana. Inilah, katanya, yang menjadi akar dari bencana kebakaran dan asap yang selalu berulang di Indonesia sejak abad ke-18. Meskipun demikian, di berbagai forum internasional, dia tak rela negaranya jadi bulan-bulanan Malaysia dan Singapura. "Mereka selalu menyalahkan Indonesia, padahal banyak pembakar yang justru berasal dari dua negara itu," ujarnya.
Selasa dua pekan lalu, Bambang Hero menerima M. Taufiqurohman, Philipus Parera, dan fotografer Cheppy A. Muchlis dari Tempo. Di antara tumpukan buku, kertas, dan disket di ruang kerjanya yang sempit dan berantakan di Laboratorium Kebakaran Hutan IPB, Dramaga, Bogor, Bambang menjawab semua pertanyaan dengan tangkas.
Kebakaran hutan dan bencana asap kembali. Apa yang sebenarnya terjadi?
Saya kira ini menyangkut soal perilaku manusia. Seperti tidak ada lagi perasaan bersalah untuk membakar lahan. Meskipun ditegur, atau bahkan dipenjara, hasilnya sama saja. Mereka selalu kembali untuk membakar hutan.
Presiden Yudhoyono beberapa waktu lalu mengatakan ini akibat ulah peladang, benarkah?
Memang ada kecenderungan orang mengatakan pembakaran itu dilakukan masyarakat tradisional. Tapi yang kami lihat bukan seperti itu.
Maksud Anda?
Ya, kita perlu berhati-hati. Pembukaan lahan dengan pembakaran secara tradisional selama ini tidak sama dengan yang terjadi sekarang. Masyarakat adat punya local knowledge. Biasanya mereka menebas ilalang yang ada di lokasi lalu mengeringkannya selama dua minggu sampai benar-benar kering. Kadar airnya kurang dari lima persen. Setelah itu mereka akan membuat sekat dan baru membakarnya. Kalaupun ada asapnya, hanya sedikit.
Lalu apa yang terjadi sekarang?
Entahlah. Yang di kepala mereka sekarang isinya bisnis semata, bagaimana caranya secepat mungkin menyiapkan lahan dengan pembakaran. Kadang-kadang mereka menggunakan herbisida, memaksa tanaman menjadi kering. Itu kami temukan di Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau. Meskipun bagian atas kelihatan kering, karena pohon masih nyantol ke akarnya, kadar airnya tetap tinggi. Makanya asap yang keluar sangat tebal.
Tapi benarkah mereka penduduk setempat?
Orang lokal juga ada, pendatang juga banyak. Misalnya di Indragiri Hulu. Mereka korban gempa, sudah tak memiliki rumah. Mereka bakar 2 hektare. Kami tanya berapa bayarannya. Pasti Anda terperanjat. Mereka dihitung harian. Karena membakarnya cuma butuh waktu 2 jam, mereka hanya dibayar Rp 15 ribu. Tapi tekanan ekonomi membuat mereka tak punya pilihan.
Bukankah mereka hanya sebagian kecil?
Kita di lapangan sudah terbiasa melihat orang seperti ini: pakaiannya lusuh, pakai celana kolor, sendal jepit. Kemudian kita simpulkan, oh, masyarakat tradisional. Coba nanti dicek, berapa luas lahan yang mereka siapkan? Bisa sampai 50 hektare. Mereka katanya menyiapkan untuk sawit atau karet. Itukah yang kita sebut sebagai masyarakat tradisional?
Berbicara tentang aturan, apakah ada batasan berapa banyak setiap anggota masyarakat boleh membuka lahan?
Seharusnya maksimal 2 hektare. Tapi belum ada aturannya. Undang-Undang No. 24 tentang Perkebunan sendiri masih belum jelas.
Apakah membuka lahan dengan cara dibakar diizinkan?
Hanya ada satu aturan, penjelasan Pasal 17 PP 4/2001, yang membenarkan penyiapan lahan dengan pembakaran oleh masyarakat adat atau tradisional.
Kalau begitu, orang-orang ini seharusnya bisa diseret ke pengadilan....
Seharusnya. Cuma sekarang ada banyak trik untuk membakar tanpa ketahuan. Misalnya, di daerah Rokan Hulu, Riau, kami nggak tahu siapa yang membakar, tiba-tiba saja, wusss. Rupanya mereka pakai obat nyamuk bakar, disambung bom molotov. Jadi bisa diatur kapan akan terbakar.
Sebenarnya berapa luas lahan yang sudah terbakar?
Luasnya masih belum kita hitung, yang pasti akan terus bertambah. Di Kalimantan dan Riau sama saja, orang masih tetap membakar. Juga beberapa daerah di Sumatera Selatan dan Jambi. Indikasinya lumayan besar tapi angkanya saya belum berani bilang.
Anda selalu menggunakan kata dibakar, bukan kebakaran.
Kalau hutan alam yang asli, betul-betul belum terganggu, belum tersentuh, tidak akan terbakar. Cuma kadang, seperti di Lampung dan Kalimantan Tengah, kelihatan dari udara bagus, padahal di bawahnya bolong-bolong. Ada kombinasi dengan pembalakan liar. Pernah dulu ada tim dari Belanda, mereka ingin membuktikan yang terjadi itu kebakaran atau pembakaran. Saya plot di sini (IPB Bogor), kami punya lab hutan, ada 10 hektare. Saya bawa mereka ke sana untuk melakukan percobaan pembakaran. Sementara di blok lain sekitar 400 meter persegi, kami tebang, keringkan, lalu dibakar. Benar. Hutan yang asli itu tidak terbakar, cuma daun-daun kering. Akhirnya mereka menyimpulkan, "Wah, yang terjadi selama ini pembakaran, bukan kebakaran. Ha-ha-ha.
Secara ekonomi apakah pembukaan lahan dengan membakar yang paling murah?
Setiap kali diminta jadi instruktur pelatihan masyarakat untuk penyiapan lahan dan pembakaran, saya selalu bertanya: apakah benar, penyiapan lahan dengan pembakaran itu murah? "Oh, pasti, Pak." Itu jawaban mereka. Untuk tanah satu hektare, biayanya ada yang bilang Rp 2 juta, ada pula yang hanya Rp 500 ribu. Untuk kepentingan sesaat memang kelihatan jauh lebih murah. Tapi lahan itu kan tidak berdiri sendiri, dia merupakan bagian dari ekosistem yang lebih luas. Pertanyaannya sekarang, berapa cost untuk mengganti ekosistem yang rusak. Lahan gambut yang rusak, katakan tebalnya sepuluh senti saja, untuk lahan satu hektare, dibutuhkan biaya sampai Rp 350 juta untuk merehabilitasinya.
Secara riil apa kerugian kalau gambut terbakar?
Fungsi gambut sebagai penyimpan air, seperti spons. Begitu gambut terbakar, airnya akan lari. Hitungannya, untuk lahan gambut seluas satu hektare dengan ketebalan 10 senti saja, air yang bisa ditampung mencapai 650 meter kubik. Kalau seribu hektare terbakar, ke mana perginya air itu? Air itu akan mencari kanal. Tapi, karena kapasitas kanalnya kecil, air meluap dan terjadilah banjir di mana-mana.
Dari investigasi Anda, selain membuka lahan pertanian, adakah motif lain pembakaran hutan?
Bermacam-macam. Ada satu perusahaan meminjam uang ke bank untuk biaya pembukaan lahan, katakanlah Rp 20 juta per hektare. Dalam proposalnya disebutkan bahwa mereka melakukan penyiapan lahan tanpa bakar (PLTB). Tapi, fakta di lapangan, mereka tetap membakar hutan itu. Akhirnya satu hektare biayanya cuma Rp 2-3 juta. Ke mana sisanya? Diinvestasikan ke tempat lain. Terus mereka bilang apa? "Kami tidak mampu mencegah, Pak. Yang membakar itu masyarakat." Padahal penduduk yang membakar itu binaan mereka. Luar biasa. Contoh lain, perusahaan yang memiliki hak pengusahaan hutan (HPH). Setiap tahun mereka membuat rencana kerja tahunan (RKT). Biasanya, begitu harga naik, RKT 2007 disikat tahun 2006. Untuk membuat alasan bahwa bukan mereka yang menebang, mulailah hutan itu bakar. Lalu yang disalahkan masyarakat. Untuk meyakinkan itu, dia gali kanal, kalau kurang mantap biasanya ditanami sawit.
Benarkah sebagian untuk perkebunan kelapa sawit?
Sekarang ini banyak yang seperti itu. Mereka katanya mau membuka perkebunan sawit atau karet, padahal sebetulnya yang diincar kayunya. Sebagian dari mereka pembohong. Untuk memperkuat alasan, mereka menanam sawit, tapi hanya beberapa hektare. Habis itu nggak diurus, lalu dibakar. Misalnya di Kabupaten Sambas, yang katanya sudah ditanam sawit sekian belas ribu hektare itu, kenyataannya cuma ditanam sedikit. Itu pun lalu dibumihanguskan. Mereka beralasan, nggak mungkin mereka membakar sawit yang sudah berbuah.
Perusahaan mana itu?
Kebanyakan punya orang Singapura atau Malaysia. Orang kita juga banyak.
Setelah masalah asap jadi besar begini, siapa yang seharusnya bertanggung jawab?
Dalam PP 4/2001 dikatakan, kalau kebakaran terjadi di tingkat kabupaten, penanggungjawabnya bupati. Kalau melompat ke kabupaten lain, gubernur yang harus mengambil alih. Dan ketika asap itu sudah melintasi batas negara, yang harusnya bertanggung jawab adalah Menteri Kehutanan. Masalahnya, sejak M.S. Kaban menjadi Menteri Kehutanan, kebakaran hutan malah tidak masuk skala prioritas Departemen Kehutanan. (Dalam SK Menteri Kehutanan No. 456/Menhut-II/2004 disebutkan lima skala prioritas departemen itu adalah pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal, revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, dan pemantapan kawasan hutan.)
Pernah ditanyakan ke Menteri Kaban, mengapa kebakaran tidak jadi priroritas?
Ha-ha-ha.... Dia sendiri mungkin bingung.
Ada nggak yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah kebakaran dan asap ini dengan cepat?
Tidak ada. Kalau dia sudah meledak, nggak ada obatnya. Satu-satunya cara adalah menunggu hujan tiba. Sekarang pemerintah akan membuat hujan buatan. Tapi, buat kami, lebih baik tidak usah. Hujan buatan tidak akan pernah bisa memadamkan kebakaran. Itu khusus untuk mengisi waduk yang kering. Karena apa? Pergerakan apinya sulit dideteksi. Jangan-jangan hujannya di sini, kebakaran di sana. Cuma itu tadi unsur politiknya lebih besar dalam kebijakan ini, supaya negara tetangga puas dulu.
Jadi, Rp 100 miliar boleh dibilang akan menguap begitu saja?
Terang, sebentar saja itu. Kalau dilihat, titik apinya sangat banyak. Tidak berarti kalau disiram lalu selesai. Paling yang kena hanya di bagian atas, setelah itu api akan naik lagi.
Kalau Rp 100 miliar tidak cukup, berapa yang diperlukan?
Itu berkembang terus selama hujan belum turun. Kalau misalnya tidak berkembang, sekurangnya butuh lima kali lipatnya.
Menurut Anda, langkah apa yang paling tepat?
Kita bikin kesepakatan saja. Okelah pada 2006 ini kita tutup buku dan kita anggap sebagai pelajaran. Pada 2007 kita mulai dari awal, duduk bersama, menyiapkan pengendalian kebakaran dengan kegiatan pencegahan. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama. Kalau memang orang-orang ini perlu dukungan, ya didukung, misalnya ada dana dari APBD. Kemudian para penegak hukum, kalau mereka nggak becus, ya dicopot.
Menurut Anda, penanganan politik selama ini masih kurang?
Kalau kita lihat aturan mainnya, bolehlah. Hanya sekarang yang jadi masalah orang-orang di belakang itu tadi. Apakah polisinya, jaksanya, atau majelis hakimnya. Sekarang itu mereka punya-nggak tahu istilahnya-dua muka atau..., ha-ha-ha.... Di satu sisi mungkin hati nuraninya mengatakan oh orang ini harus diberi pelajaran karena dia sudah merusak. Tapi, di sisi lain, tidak sedikit yang menganggap bahwa munculnya kasus, apalagi yang terlibat adalah perusahaan, itu income.
Jadi penegakan hukum merupakan masalah lain dalam lingkaran setan kebakaran hutan ini?
Anda bisa melihat sekarang, dari sekian puluhan kasus hanya beberapa yang muncul di pengadilan. Sisanya ke mana? Yang membuat saya sedih, kebanyakan yang terkena masyarakat. Kasihan mereka. Cuma membakar satu hektare, masuk bui. Sementara ada perusahaan yang membakar sampai 4.000 hektare, masih diberkas, terus diberkas, nanti kalau isunya mereda, hilang. Di Riau, misalnya, ada penduduk yang divonis dua tahun karena membakar dua hektare. Sementara ada manajer Malaysia, namanya Gobi, membakar hingga 2.970 hektare, hanya diganjar delapan bulan. Heran. (Pada Oktober 2001, Pengadilan Negeri Bangkinang, Riau, memvonis General Manager PT Adei Plantation Mr. C. Gobi dua tahun penjara dan denda Rp 250 juta, subsider delapan bulan kurungan. Tapi Pengadilan Tinggi Riau menguranginya menjadi delapan bulan.)
Kembali ke soal pencegahan tadi, apa yang perlu dilakukan?
Sosialisasi peraturan. Seperti di Sumatera Selatan, setelah menangkap orang, Kapoldanya malah bilang, "Wah, kami tidak bisa menangkap banyak-banyak orang karena sosialisasinya kurang." Padahal peraturannya itu sudah ada sejak 2001. Lainnya, masyarakat bisa diarahkan untuk tidak membakar tapi membuat kompos atau briket arang. Beberapa waktu lalu kami melakukan safari ke beberapa kabupaten di Riau. Mereka bilang, kenapa yang seperti ini, dengan alat yang mudah-murah ini, baru sekarang dikasih tahu.
Seharusnya, penyuluhan semacam itu menjadi tugas pemerintah daerah.
Kita terlena. Sebetulnya, setelah ada deklarasi perang terhadap asap dari Presiden Yudhoyono pada akhir Juni lalu, semua sudah siap. Tapi masalahnya banyak kabupaten yang menganggap bahwa kebakaran itu bukan masalah. Hambatan lain, setiap kali eksekutif mau mengajukan anggaran ke DPRD, orang DPRD bertanya, ngapain, toh kebakaran itu sudah biasa. Begitu meledak, ke mana mereka mau minta bantuan? Mau fight tapi nggak ada duit. Provinsi juga sama. Belum lagi pejabat-pejabat tinggi yang jadi pelindung karena dibantu perusahaan dalam pemilihan kepala daerah. Jadi, begitu ada kasus, pembakaran di Kabupaten X, si bupati atau gubernur akan mengirimkan timnya duluan, langsung diproses pidana, sehingga penyidik lain tidak masuk. Tapi kasus itu tidak dituntaskan, sengaja diulur-ulur, ngambang. Itu trik.
Ada usul agar Indonesia segera meratifikasi konvensi soal asap. Menurut Anda?
Sebagai pribadi, saya setuju. Sebagai bangsa besar, kita harus memberikan contoh baik kepada negara tetangga.
Tapi DPR sepertinya belum setuju....
Saya pernah ikut rapat dengar pendapat di DPR, tampaknya anggota DPR tidak rela kalau ratifikasi itu semata-mata masalah asap. Mereka ingin mengaitkan juga dengan masalah pembalakan liar, penjualan pasir, dengan segala macam. Apa boleh buat, selama dua kubu ini belum akur, masyarakat akan selalu jadi korban.
Bambang Hero Saharjo Lahir: Jambi, 10 November 1964 Pendidikan:
Karier:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo