Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AROMA perkoncoan (nepotisme) dalam pengelolaan kawasan Tanjung Uma, Batam, memang sangat kuat tercium. Kisah ini bermula dari rencana Otorita Batam mengembangkan Tanjung Uma sebagai sebuah kawasan bisnis terpadu sepuluh tahun silam. Namun Otorita Batam tak bermaksud membangunnya sendiri. Pembangunan kawasan ini akan diserahkan ke swasta.
Setelah melalui tender, PT Repindo Trisakti Mas terpilih sebagai pengembangnya. Perjanjian penyerahan pengembangan Tanjung Uma pun diteken oleh B.J. Habibie sebagai Ketua Otorita dan Eddy Hussy sebagai Direktur Utama PT Repindo Trisakti Mas. Dalam empat tahun, Repindo harus sudah menyelesaikan pembangunan infrastruktur Tanjung Uma.
Sepintas lalu, tak ada yang aneh dengan perjanjian tersebut. Otorita tak perlu keluar duit sepeser pun. Malahan, Otorita akan menerima uang wajib tahunan otorita (UWTO). Kawasan Tanjung Uma yang sebelumnya kumuh bakal segera disulap jadi salah satu pusat ekonomi di Batam, selain Nagoya. Pendeknya, kata Inspektur Bidang Teknik Otorita Batam, Rusliden Hutagaol, "Ini kerja sama jempolan."
Namun, jika proyek kerja sama ini ditelusuri lebih jauh, banyak keanehan yang muncul. Paling tidak ketika disebut nama PT Ekamas Mandiri Perkasa. Perusahaan ini sudah sejak awal terlibat dalam proyek Tanjung Uma. Pemiliknya, Harry Soedarsono, mengaku telah lama mendengar rencana Otorita tersebut. "Ayah saya kerap bercerita tentang rencana tersebut," katanya.
Ayah Harry tak lain adalah Soedarsono Darmosoewito, yang pada saat itu menjadi penasihat Ketua Badan Otorita Batam B.J. Habibie. Soedarsono dan Habibie juga memiliki hubungan kekeluargaan. Ibu Harry, Sri Redjeki, adalah adik Habibie. Menurut Harry, salah satu cerita yang didengar dari ayahnya adalah soal sejumlah investor yang telah melunasi pembayaran untuk mendapat alokasi lahan di Tanjung Uma, tapi belum terealisasi.
Seketika Harry menangkap ada peluang. Pada 1996 itu juga dia mendirikan Ekamas. Dia juga mengumpulkan empat koleganya untuk membidik proyek Tanjung Uma yang sebelum itu digarap Bumimas. Mereka antara lain bergerak dalam pengadaan alat berat, pengembang kawasan, dan sebuah perusahaan pertambangan yang akan bertindak sebagai penyandang dana.
Di perusahaan itu, Harry menjadi salah satu direktur, sedangkan posisi direktur utama dipegang Cosmas Batubara. Bekas Menteri Negara Perumahan Rakyat (1978-1988) inilah yang meneken perjanjian tambahan (addendum) dalam dokumen perjanjian kerja sama pada 2003. "Tetapi yang tahu perkembangan day to day itu Saudara Harry. Dia yang tahu lebih detil," kata Cosmas ketika dimintai konfirmasi.
Harry juga menggandeng Eddy Hussy, seorang pengusaha lokal, pemilik PT Mustika Anugerah Perkasa (MAS). Eddy juga menjabat Ketua Real Estate Indonesia (REI) cabang Batam. "Dia adalah orang yang telah malang-melintang di berbagai proyek pengembangan kawasan di Batam," kata Harry. Dalam proyek ini Eddy membawa bendera PT Repindo Trisakti Mas.
Eddy bersedia bergabung karena mengaku sudah lama kenal Harry. "Jauh sebelum ada proyek Tanjung Uma, saya sudah kenal dia selama 23 tahun," kata dia. Ekamas dan Repindo akhirnya bersama-sama menggarap Tanjung Uma. Namun, pada 1996 itu, bendera yang dipakai adalah Repindo-di perusahaan ini Harry menjadi salah satu komisaris. Itu sebabnya, yang meneken perjanjian awal adalah Eddy Hussy.
Sayangnya, impian Otorita Batam tentang Tanjung Uma berantakan. Pembangunan kawasan itu ternyata cuma terwujud 40 persen. Berbagai perubahan pun dilakukan. Salah satunya adalah pada 2003, ketika Repindo meminta agar hak dan kewajibannya di Tanjung Uma dioper ke Ekamas. "Sebetulnya sudah sejak 1999 semua yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek Tanjung Uma saya serahkan ke Harry. Saya ikut saja," kata Eddy. Namun, baru pada 2003 itu, secara resmi Ekamas yang menangani Tanjung Uma.
Seorang sumber Tempo di Otorita Batam menceritakan bahwa ketika proyek ini dimulai, nuansa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di sana memang sangat kuat. Otorita sendiri bukannya tidak tahu bahwa ada Ekamas di balik Repindo. Tapi, kata Rusliden, pemilihan Repindo dilakukan melalui tender. "Ada tiga perusahaan yang ikut dan perusahaan pimpinan Pak Eddy Hussylah yang paling menjanjikan," kata Rusliden.
Harry sendiri juga tak menampik tudingan bahwa ada nuansa KKN sangat kental mewarnai pemilihan pengembang Tanjung Uma. "Kalau dibilang ada KKN karena saya dapat info duluan kemudian langsung saya kerjakan, saya bilang, yes!" kata Harry kepada Tempo di Bandung, beberapa waktu lalu.
Meskipun demikian, dia menolak jika disebut sebagai pengeruk keuntungan akibat hubungan ayah-anak itu. Menurut Harry, dia sama sekali tak menentukan besaran harga. Seperti tertera dalam perjanjian antara dirinya dan Otorita, seluruh nilai infrastruktur hingga biaya yang harus dibayar para investor ditentukan Otorita. Malahan harga itu terus dikunci Otorita dengan tanggung jawab yang berlipat. "Harga tanah di sana pada 1996 US$ 26 per meter persegi, tahun 2006 tetap sama," katanya.
Dalam surat perjanjian, sebagai land developer, Harry berkewajiban melakukan pematangan lahan dan membangun infrastruktur seperti saluran air, jalan, trotoar, taman, dan membangun kampung nelayan di bibir pantai Tanjung Uma. Seluruh dana untuk membangun semua itu menjadi tanggungan PT Ekamas. Perusahaan ini akan menikmati keuntungan kelak jika seluruh kawasan siap bangun di Tanjung Uma laku dijual ke investor.
Harry mengaku sudah mengeluarkan Rp 70 miliar di Tanjung Uma. Tetapi, kata harry, pada 1999-dua tahun sebelum surat kerja sama berakhir-proyek Tanjung Uma berantakan. Penyebabnya adalah terpaan krisis moneter yang membikin dolar melambung. "Akibatnya, proses pembebasan tanah buyar," kata Harry.
Perjanjian itu kemudian diperpanjang pada 2003. Kali ini kewajiban Ekamas dikurangi. Semula Ekamas harus membangun kawasan seluas 350 hektare, tapi sekarang hanya dibebani lahan 165 hektare di Tanjung Uma Areal 1. Kendati demikian, pembangunan infrastruktur di Tanjung Uma tetap saja berjalan seperti siput.
"Saat ini baru 40 persen padahal sudah 10 tahun," kata Rusliden. Tidak itu saja, investor yang ingin membangun di atas kapling yang ia miliki di Tanjung Uma wajib membayar biaya infrastruktur kepada PT Ekamas. Padahal Ekamas belum melakukan pembangunan infastruktur seperti yang dijanjikannya. Artinya, biaya pembangunan infrastruktur itu nyatanya menjadi beban investor.
Rusliden khawatir, mandeknya pembangunan Tanjung Uma akan berdampak pada investor yang berniat masuk Batam. Alih-alih mendatangkan investor, mereka yang sudah masuk bisa-bisa malah lari. Tetapi Harry tetap optimistis, karena hingga saat ini alokasi lahan di areal I sudah penuh. "Meski memang pembangunannya tersendat karena banyak masalah tadi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo