Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langit mendung di atas Pasar Induk Cipinang, Jakarta, dua pekan lalu, tak mempengaruhi kesibukan di sentra beras ibukota itu. Pedagang besar, calo, dan pembeli sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Truk-truk kontainer silih berganti masuk memasok berkarung-karung beras dari luar Jakarta.
"Semua beras ini satu jenis, yakni IR 64. Kebanyakan dikirim dari Jawa Barat," kata seorang pemilik gudang. Di gudang, beras itu akan dimasukkan ke dalam mesin slep oleh kuli untuk "diolah". Proses ini menghasilkan pemisahan beras yang akan dimasukkan ke kantong aneka merek.
Di tengah obrolan itu, masuk truk kontainer lain. Menurut pemilik gudang, kiriman itu datang dari Jawa Tengah. Ia meraup segenggam beras, dan menyodorkan pada Tempo, "Ini beras bagus, sudah dipoles." Ya, beras itu tampak putih, mengkilap, dan bebas dari menir. Dipoles? Dia menjelaskan pemolesan beras dilakukan oleh penggilingan di daerah. "Selama ini saya memesan lewat telepon."
Sekitar 65 kilometer dari Cipinang, persisnya di Karawang, Roja, bukan nama sebenarnya, tengah berbincang dengan seorang cukong beras. Roja adalah kepala pabrik penggilingan beras di Jalan Syeh Quro. "Bisa memoles beras lama agar menjadi putih, Pak?" tanya si cukong. "Bisa. Tapi jangan sekarang, kami sedang sibuk," jawab Roja.
Suara gemuruh mesin penggilingan memang terdengar menderu dari salah satu gudang. Suaranya acap menelan pembicaraan serius kedua orang itu. Serbuk gabah bertaburan, tanda mesin pabrik berputar kencang. Kata Roja, mereka belum bisa melayani pemutihan beras karena sedang musim panen. Nanti, setelah kesibukan reda dia bersedia memenuhi order. "Biayanya Rp 6 ribu per karung," kata dia.
Kepada Tempo yang menyaru sebagai cukong, Roja menuturkan bahan untuk memutihkan beras bisa berupa bubuk atau kristal. Dia tak perlu repot mencari bahan itu karena dijual bebas di beberapa kios di Jalan Syeh Quro yang menuju pusat kota Karawang.
Harga pemutih ini beraneka ragam, mulai dari Rp 30 ribu hingga Rp 200 ribu. Tempo menyambangi jalan Syeh Quro dan membeli salah satu merek yang paling disukai, yakni Sumber Berlian seharga Rp 40 ribu. Dalam kemasan barang ini tak ada registrasi dari Departemen Perdagangan, juga kandungannya.
Roja mengaku sudah lama melakukan praktek pemolesan. Beras yang dipoles adalah beras yang sudah turun mutu (tumu). Ciri-ciri beras tumu biasanya berbau dan berwarna kusam. Untuk memperoleh beras tumu ini,-biasanya di musim paceklik-Roja akan menemui langganannya di Pasar Johar, Karawang. Di sanalah dia mendapatkan beras stok lama dengan harga murah.
Jangan tanya berapa keuntungan yang berhasil dikeduk Roja. Bayangkan, laba di tingkat pedagang bisa mencapai Rp 300-500 per kilogram. Itu angka bersih. Bila mereka bisa menjual 10 ton beras polesan dalam sehari, fulus Rp 5 juta sudah di depan mata.
Ternyata, trik semacam ini telah menjamur di Karawang. Hampir semua penggilingan yang ditemui Tempo menerima order untuk mempercantik beras. Saking banyaknya pemain, tak jarang terjadi persaingan harga. Penggilingan lain di jalan yang sama milik seorang rekanan Divisi Regional Badan Urusan Logistik menawarkan harga Rp 4.500 per kilogram.
Dan, celaka, ternyata tak hanya di Karawang praktek lancung ini merebak di mana-mana seperti di Jakarta, Banten, hingga Indramayu.
Akal-akalan beras beras poles ini sebelumnya sempat menyentakkan perhatian banyak orang. Suku Dinas Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Kota Tangerang, Banten, pernah melakukan inspeksi lapangan dan menemukan beras polesan di sebuah pasar tradisional. Setelah diteliti, beras tersebut ternyata mengandung zat kimia klorin yang biasa dipakai sebagai bahan pemutih pakaian-zat ini biasanya berbentuk gas. Untuk bisa dipakai diubah menjadi kristal atau bubuk. Masyarakat mengenalnya sebagai kaporit atau kalsium hipoklorit. Kepala Sudin POM Tangerang Wibisono mengatakan, bila beras ini dikonsumsi rutin dalam jangka lama, bakal mengganggu fungsi pencernaan, hati, dan ginjal. "Dampaknya akan terasa setelah lima atau sepuluh tahun mendatang," kata Wibisono.
Suku Dinas POM Kota Tangerang menemukan beras berklorin itu setelah mengambil sampel dari sejumlah kios di Pasar Ciledug, Anyar, dan Malabar. Uji laboratorium bahan kimia itu telah dilakukan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata, Tangerang. Laporannya pun dikirim ke Direktur Perlindungan Konsumen, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan di Jakarta, pada 19 Januari 2007.
Hasil uji sementara menunjukkan kandungan klorin berkisar antara 0,156 sampai 0,399 ppm (part per million). Pada tes kedua berkisar 0,153 sampai 0,4 ppm, dan tes ketiga hasilnya 0,169 sampai 0,385 ppm. Kepala Seksi Aneka Usaha, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata, Dadi Sudadi, menyatakan kandungan itu masih wajar.
Heri Iskandar, Kepala Seksi Makanan dan Minuman, Subdin POM, Dinas Kesehatan Kota Tangerang, yang penasaran lalu melakukan pengujian kedua dengan membandingkan beras berpemutih dengan sampel kontrol positif (beras yang mengandung pemutih) dan sample kontrol negatif (beras yang tidak mengandung pemutih). Hasil, kandungan klorin dalam sampel negatif 0,4 ppm. "Ini malah lebih besar dari beras berpemutih," kata dia. "Jadi masyarakat tak perlu khawatir berlebihan."
Tetapi, temuan itu membuat Erfandi Tabrani, Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, Departemen Perdagangan, terhenyak. Peredaran beras polesan ternyata sudah menyebar hingga Kabupaten Banten. "Jadi, kami kontak lagi ke Badan POM (Pusat), kenapa masih ada?," kata Erfandi.
Bukan tanpa alasan Erfandi mengontak Badan POM. Pasalnya, lembaganya dan Badan POM pernah melakukan investigasi beras poles itu di Karawang dua tahun lalu. Saat itu tim undercover menemukan kandungan klorin pada beras. "Sekecil apapun zat kimia tak diperbolehkan untuk makanan," kata dia.
Senada dengan Erfandi, Djoko Said Damardjati, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran, Departemen Pertanian, mengatakan, kandungan zat kimia pada beras jelas berbahaya. Ia sudah menemukan sejumlah jenis pemutih, berbentuk deterjen, bubuk, atau kristal. "Klorin atau yang berbentuk kristal (tawas) itu tidak boleh untuk makanan," kata Djoko.
Praktek sulapan beras ini ternyata sudah mewabah sejak dua dekade silam dan makin marak sejak krisis ekonomi menghantam Indonesia pada pertengahan 1997. Ketika itu, pendapatan masyarakat yang anjlok memaksa mereka berhemat. Namun, sebagian besar dari mereka masih tetap menginginkan beras yang "cantik" dengan harga miring.
Jadilah ini pasar yang ditangkap dengan sigap oleh para pedagang beras. Pada mulanya, praktek ini tak banyak dilakukan. Tapi, nafsu untuk mendapatkan untung gede membuat mereka gelap mata. Mereka bisa membeli beras tumu dengan harga murah untuk kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi karena sudah "dipoles".
Tak mengagetkan jika kini makin sulit mendapatkan beras "murni". Hampir semua yang ada di pasar dioplos. Yang berbeda cuma takarannya, lebih banyak atau lebih sedikit beras berpemutihnya.
Berdasar penelurusan Tempo, penggilingan menerima beras tumu itu setidaknya dari dua pihak, yakni dari pedagang besar dan dari gudang Bulog. Para pedagang biasanya memberikan order di masa paceklik. Adalah Fuad, nama samaran, seorang pengusaha penggilingan di Indramayu, yang sering menerima pesanan ini. "Pedagang biasanya mengirim beras sisa yang tak laku di pasaran untuk dipoles," kata Fuad. (Baca: Paket Beras Polesan dari Pantura).
Bagaimana dengan beras Bulog? Mukijan, pensiunan sopir Bulog, mengaku dulu sering mengantar beras dari gudang Bulog ke Karawang untuk dipoles. Ditemui Tempo di rumahnya di Jakarta Utara, ia mengaku sering ikut nguli mengangkut karung beras itu untuk menambah duit sampingan.
Penelusuran Tempo di gudang Dolog Kelapa Gading menemukan hal serupa. Seorang staf di sana menjelaskan beras yang dikategorikan tumu sebagian dipoles di penggilingan sebelum kembali ke gudang. Tapi, ia tak tahu di mana beras itu diproses.
Tetapi keterlibatan Bulog itu dibantah Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo dan Kepala Divisi Regional Bulog, Kelapa Gading, Jakarta Timur Anton Yulianto. Menurut Widjanarko, beras berpemutih itu kemungkinan berasal dari beras raskin (beras miskin) atau beras jatah pegawai negeri yang dijual oleh para penerimanya karena jelek. "Mau dijual atau dimakan, sudah bukan tanggung jawab kami lagi."
Anton menambahkan, Dolog tak mungkin menjual beras tumu ke pasar. Tapi, ia mengakui beras tumu diproses ulang untuk mengecek apakah beras itu masih layak dikonsumsi. "Meskipun sudah bersih, kategorinya tetap beras tumu," katanya.
Namun, sepertinya para pengusaha tak peduli dari mana datangnya beras rusak itu. Yang penting, bisnis pemolesan menggerojokkan untung besar ke celengan mereka. Di Kecamatan Indramayu, misalnya, di satu desa berdiri puluhan penggilingan.
Mari kita sambangi penggilingan milik Sutadi, bukan nama sejatinya, di Desa Widasari, Indramayu. Penggilingan yang berdiri di atas lahan dua hektare ini biasa menggiling 50 ton beras setiap hari. Sutadi menolak mentah-mentah disebut ikut sulapan beras ini. "Kami tidak pakai pemutih," katanya.
Namun, Tarko, sebut saja demikian, berbisik kepada Tempo, "Gabah digiling dua kali dan diberi cairan pemutih," kata pekerja Suradi. Menurut Tarko, cara termudah untuk mengakali gabah berwarna hijau cuma dengan trik poles. Kepada Tempo, dia bahkan mempraktekkan proses pemolesan yang kerap ia lakukan. Pemolesan ini, juga bisa dilakukan untuk beras jadi-bukan gabah.
Di menuturkan, beras "jadi-jadian" itu dipasarkan ke berbagai penjuru, mulai dari pasar tradisional, pasar induk, hingga supermarket. "Di Pasar Induk, beras-beras ini dipilah menjadi jenis tertentu," kata Tarko. Alias ada proses sulapan lanjutan untuk memermak beras itu jadi rojolele, pandan wangi, Cianjur, Ramos, atau IR 64.
Dan itulah yang ditemui Tempo seperti terungkap di awal kisah ini. Setelah beberapa pedagang yang ditemui mengelak, akhirnya ada yang mengaku bahwa beras-beras itu dipermak menurut merek yang diinginkan. "Kalau ingin jadi pandan wangi, tinggal dikasih pewangi," kata salah satu di antara mereka.
Direktur Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan Sri Agustina mengakui pemerintah sebetulnya punya wewenang mengawasi dan menarik beras polesan. Apalagi, klorin termasuk bahan yang dilarang untuk campuran makanan. "Pelanggarnya bisa dijerat Undang-Undang Perlindungan Konsumen," kata dia.
Instasi manakah yang berwenang melakukan hal itu? Kepala Badan POM, Husniah Rubiana Thamrin, menegaskan itu bukan tugas lembaganya. Kata dia, Badan POM hanya mengawasi produk-produk makanan siap saji. "Itu wewenang Departemen Pertanian," kata dia.
Menteri Pertanian Anton Apriyantono yang "ketiban sampur" tak berkelit. Menurut dia, departemennya akan mengeluarkan larangan penggunaan pemutih untuk menggiling beras. "Kami harus bekerja sama dengan Badan POM karena tak memiliki aparat/inspektur," kata dia.
Tetapi Djoko Said Damardjati meminta penarikan beras tak serta merta dilakukan. Pekan lalu, ia telah melayangkan surat ke para pedagang, pengusaha dan penggilingan beras untuk tidak memakai klorin. Harapannya, agar beras poles tak lagi meresahkan masyarakat. "Ini masalah sosial masyarakat yang ekonominya sedang tertekan," kata dia.
Langkah itu, katanya, patut dilakukan sambil menunggu hasil uji lab pungkasan dari Badan POM. Tapi bagi dia, bahan klorin tetap tidak layak untuk bahan makanan, meski masih di ambang batasnya wajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo