Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mari singgahi warung di pojok jalan. Nyaris tak ada orang yang kehilangan selera makan lantaran bertiup kabar beras di pasaran ada yang tercemar klorin. Bukan mereka tidak takut keracunan. Tapi, ”Kan belum ada yang mati gara-gara makan nasi,” kata Arif Hartono, yang dijumpai Tempo di sebuah warung di Jakarta.
Sejauh ini pemerintah pun masih anteng. Tak ada larangan peredaran beras yang mengandung bahan kimia pemutih. Suku Dinas Pengawas Obat dan Makanan (POM) Kota Tangerang, yang pertama mengendus peredaran beras berpemutih, baru dua kali melakukan pengujian laboratorium. ”Kami masih menunggu hasil uji ketiga oleh Badan POM,” kata Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Teddy Setiadi.
Pengujian bukan hanya soal ada-tidaknya pemutih dalam beras, tapi juga tentang dampaknya bagi konsumen. ”Bila terbukti beras berklorin tidak memenuhi syarat keamanan pangan, pemerintah harus bertindak,” kata Teddy. Sanksi administratif, mulai dari peringatan tertulis, larangan peredaran, penarikan dari peredaran, pemusnahan, penghentian produksi, pencabutan izin produksi, sampai denda maksimal Rp 50 juta, wajib dikenakan bagi para pengedar.
Dalam soal beras, istilah klorin sebenarnya salah kaprah. Istilah klorin merujuk pada gas (Cl2), sementara para pedagang menggunakan bubuk yang diduga sebagai kaporit. Ini juga salah satu senyawa turunan klorin, lebih tepatnya disebut kalsium hipoklorit.
Sebagai oksidan yang kuat, kalsium hipoklorit memang ampuh sebagai pemutih pakaian dan kertas. Dia juga jitu sebagai disinfektan air minum dan kolam renang. Lha, kok kali ini kaporit digunakan buat membikin beras yang butek jadi cemerlang. ”Ini bisa terjadi karena di sini aturan penggunaan klorin dan turunannya pada makanan belum ada,” kata Dr Purwiyatno Hariyadi, pakar teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor
Sejatinya, klorin juga tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan makanan versi Departemen Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168 Tahun 1999 hanya menyebut asam askorbat, aseton peroksida, dan azodikarbonamida sebagai bahan pemutih makanan. Tapi itu pun khusus untuk tepung. Kendati demikian, klorin juga tidak disebutkan dalam daftar bahan kimia yang dilarang ditambahkan pada makanan. Hanya satu senyawa turunan klorin yang diharamkan melekat pada bahan pangan, yakni kalium klorat.
Di Amerika Serikat, aturan penggunaan klorin dan senyawa turunannya pada makanan jauh lebih terang. Badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat (FDA) membolehkan klorin digunakan sebagai pemutih dan disinfektan pada tepung. Syaratnya, kandungan klorin tidak lebih dari 45 bagian per sejuta (part per million—ppm). Turunannya, sodium hipoklorit, juga boleh digunakan dalam cairan pencuci buah dan sayur-sayuran.
Lalu, apakah dengan demikian klorin aman digunakan pada beras? Belum tentu. Perlu penelitian intensif sebelum kita mengambil kesimpulan. ”Saya sendiri termasuk yang tidak setuju. Klorin sama sekali tidak boleh untuk bahan pangan,” kata Dr Joseph Iskendarso Sigit. Farmakolog dan toksikolog dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung ini berpendapat, proses pemutihan beras dengan klorin bakal makin mengikis kandungan gizi pada beras. Padahal, sebelumnya kandungan nutrisi beras sudah tergerus dalam proses penyelepan.
Joseph juga meyakini, mengkonsumsi beras berklorin akan mengikis kesehatan kita. Soalnya, klorin bersifat iritatif, cenderung melukai jaringan tubuh. Benar, mungkin sebagian klorin akan hilang saat beras dicuci atau menguap akibat pemanasan. ”Tapi pasti masih ada residu yang masuk tubuh,” katanya. Dalam jangka panjang, klorin akan berdampak buruk pada kualitas saluran pencernaan.
Nah, supaya lebih jelas, Purwiyatno mendesak pemerintah segera merilis aturan penggunaan klorin dan turunannya pada makanan. ”Masyarakat perlu dilindungi,” katanya. Tentu saja, peraturan mesti diiringi pengawasan yang konsisten. Agar para pelahap nasi tidak tersedak klorin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo