Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Hikayat Musuh dalam Selimut

Cuak, dan pengkhianatan itu, telah ada sejak zaman Cut Nyak Dhien.

22 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA sesungguhnya cuak itu, kawan atau lawan? Jawabannya tergantung siapa yang ditanya. Bagi orang Aceh, "cuak" atau "pang bayak" berarti orang yang tega membeberkan informasi kepada lawan untuk kepentingan pribadinya, alias pengkhianat. Namun menurut "kamus" militer, cuak justru disebut sebagai tenaga pembantu operasi (TPO). Mereka dianggap berjasa karena menolong tentara, misalnya menemukan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota gerakan pengacau keamanan (GPK) atau Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kendati kata cuak mulai populer sejak Aceh menjadi daerah operasi militer, antara 1989 dan 1998, sebenarnya jejak cuak sudah tercium bahkan jauh sebelum Perang Aceh meletus pada 1873. "Kapan pastinya, susah saya katakan," kata ahli sejarah Aceh modern dari Universitas Syiah Kuala, Doktor Isa Sulaiman (48 tahun). Yang jelas, keberadaan cuak menurut dosen pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ini bukanlah hal baru dan merupakan sesuatu yang wajar dalam peperangan. Tugasnya mirip-mirip intel zaman sekarang. Mereka digunakan oleh pihak keamanan resmi masa itu, yakni tentara Belanda, terutama sebagai penunjuk jalan. Maklum, waktu itu daerah di ujung barat Indonesia ini masih merupakan daerah berawa-rawa dan berhutan lebat. Mulanya, tenaga bantuan ini bukan orang asli Aceh, melainkan para pendatang. Baru beberapa saat kemudian, Belanda menggunakan tenaga lokal. Mungkin, itu atas pertimbangan sederhana: penduduk setempat lebih kenal daerahnya sendiri. "Mereka biasanya bertugas menunjukkan tempat persembunyian gerilyawan," kata Isa. Para mata-mata pribumi itu juga mengamati bagaimana perilaku pejuang Aceh dalam melakukan perlawanan, juga kebiasaan-kebiasaan lainnya, misalnya kapan mereka keluar dari hutan. Kerja musuh-musuh dalam selimut bangsa Aceh ini tergolong rapi dan membuat majikannya sukses besar. Ada satu versi cerita yang menyebutkan bahwa tewasnya pahlawan nasional Teungku Syik di Tiro gara-gara diracun oleh salah seorang anak buahnya yang ternyata seorang cuak. Hanya saja, kisah ini masih simpang-siur kebenarannya. Satu cerita lagi menyebutkan, terbunuhnya Teuku Umar juga karena seorang cuak yang membocorkan informasi ke Belanda. Kisah pengkhianatan cuak yang paling sensasional mungkin yang melibatkan Pang Laut Ali, pengawal pribadi pejuang wanita Cut Nyak Dhien. Konon, motivasi Pang Laut menyerahkan majikannya ke tangan penjajah itu karena kasihan melihat dalam usia lanjut dan kondisi fisik yang lemah, Cut Nyak Dhien masih dibawa ke mana-mana dan tidak mau menyerah. Tapi Cut Nyak Dhien tentu saja tak menerima perlakuan demikian. Sebelum menyerah, ia sempat menghunjamkan belati ke dada Pang Laut, sebagai balasan atas pengkhianatan yang dilakukan kepadanya. Setelah kemerdekaan, cuak ternyata tetap masih eksis. Kali ini mereka berganti tuan, yakni tentara resmi pemerintah Indonesia. Pada peristiwa Darul Islam (1953-1964), misalnya, cuak banyak direkrut dan menjadi penunjuk jalan bagi aparat militer. Bahkan, mereka dibekali senjata dan seragam militer, meskipun tanpa pangkat. "Mereka diberi semacam honorarium," kata Isa yang pernah menulis buku Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan terhadap Tradisi. Pada masa Darul Islam ini, cuak disebut sebagai PD atau Penunjuk Djalan. PD ini diorganisasi oleh Kodim. Jumlahnya cukup banyak. Waktu itu, di Aceh Besar saja ada sekitar lima puluh orang, di bawah pimpinan Teungku Manyak. Isa menuturkan bahwa peristiwa Darul Islam pada intinya merupakan pertentangan antara kelompok ulama fundamentalis yang ingin menegakkan hukum Islam. Mereka dipimpin oleh Daud Beureueh. Lawan mereka adalah para hulu balang (ulee balang) dan ulama tradisional. Jadi, pada masa Darul Islam ini, cuak yang dipakai oleh ABRI ini adalah orang-orang yang berasal dari kalangan hulu balang atau pengikut ulama tradisional tadi. Bedanya dengan cuak sekarang, "Mereka tidak hidup dalam masyarakat seperti sekarang, melainkan tinggal di pinggir tangsi-tangsi militer," kata Hasballah Moh. Saad, Ketua Komite Solidaritas Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Aceh di Jakarta. Cuak dalam pengertian sekarang, kata Hasballah, ada di mana-mana, termasuk di kampung-kampung. Bedanya lagi, mereka ikut turun tangan dalam pemeriksaan orang yang tertangkap. Sebagian di antara mereka malah bangga kalau berhasil melakukan eksekusi di hadapan majikannya, Kopassus. Padahal ABRI yang dulu tidak sekejam sekarang. Mata-mata pribumi ini juga bertugas membantu militer mencari "mangsa". Mereka membisikkan informasi kepada militer, misalnya soal di mana rumah dan bagaimana ciri orang-orang yang sedang diburu aparat. Pada era Orde Baru, cuak seperti mereka ini biasanya diambil dari penduduk setempat yang tahu banyak tentang situasi dan kondisi lokasi sekitarnya. Hasballah menuturkan, di tengah masyarakat Aceh terdapat tiga jenis cuak. Yang pertama, mereka yang memang sengaja dibayar, mendapat fasilitas dan kebanggaan karena ke mana-mana bersama Kopassus. Dengan posisi itu, mereka bisa menakut-nakuti penduduk. Jenis berikutnya adalah orang yang menjadi cuak karena bermasalah, misalnya mereka yang awalnya dituduh militer sebagai anggota gerakan pengacau keamanan. Golongan orang-orang ini biasanya dalam kondisi ketakutan karena menjadi incaran aparat, sehingga gampang dipaksa menjadi cuak. Adapun jenis ketiga adalah bekas tahanan operasi militer pada masa lalu, yang kemudian menderita trauma karena pernah disiksa. Mereka ini biasanya mendapatkan kebebasan dengan syarat bersedia menjadi informan. Namun kerjanya sama saja, mereka memberikan informasi yang diperlukan militer. Tingkah laku ketiga jenis cuak ini berbeda-beda. Golongan pertama, yang menjadi cuak untuk mencari uang, akan sangat menikmati hasil kerja mereka. Mereka sering berlaku layaknya seolah preman: merampas motor penduduk, bahkan ada yang menyiksa orang tua kandungnya sendiri. Ada juga yang kemudian menjadi semacam orang upahan. Kalau ada perselisihan karena masalah utang, misalnya, mereka diminta bantuannya untuk menyelesaikan dan kemudian mendapat upah. Jadi, mereka berlaku semacam debt collector. Untuk golongan kedua dan ketiga, mereka biasanya beroperasi dengan cara sembunyi-sembunyi karena malu dan sangat terpaksa. Orang-orang seperti ini awalnya jarang diketahui, tapi lama-lama bisa dicirikan karena sering ada anggota Kopassus mampir ke rumahnya. Atau, mereka sendiri sering datang ke pos militer untuk memberi laporan. "Jenis ini sukar diidentifikasi jumlahnya," tutur Hasballah. Biasanya, di kampung-kampung yang dianggap rawan, cuak seperti itu tidak hanya satu. Menurut penelitian suatu LSM di Aceh, jumlahnya mencapai sekitar 175 orang. Mereka inilah yang sekarang merasa hidupnya terancam, terutama setelah pelindungnya hengkang dari Tanah Rencong. Beberapa di antara mereka jadi incaran penculikan dan pembunuhan orang-orang tak dikenal. Sebagian lainnya menjadi sasaran empuk pelampiasan dendam penduduk. "Yang kasihan kan yang dulu bekas tahanan. Mereka tidak punya pilihan: mau kembali ke kelompok pembangkang sudah dianggap berkolaborasi dengan militer, mau menyatu dengan Kopassus pulang ke Jawa, tak diajak, bahkan dianggap pun tidak. Akibatnya, banyak juga yang lari ke luar Aceh," kata Hasballah. Tampaknya, nasib pengkhianat di mana-mana sama saja: kalau tidak dibuang majikannya, ya, diburu bekas korbannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus