Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Investigasi
Biaya Eksternalitas Hilirisasi

Dampak Smelter Nikel pada Petani Rumput Laut

Kawasan industri smelter di Bantaeng, Sulawesi Selatan, mengganggu sumber penghidupan warga. Petani rumput laut paling merana.

6 Maret 2025 | 18.00 WIB

Area dermaga (jetty) Kawasan Industri Bantaeng dilihat dari pesisir pantai di Kecamatan Pa’jukukang, Bantaeng, Sukawesi Selatan. 9 Februari 2025. Tempo/Praga Utama
Perbesar
Area dermaga (jetty) Kawasan Industri Bantaeng dilihat dari pesisir pantai di Kecamatan Pa’jukukang, Bantaeng, Sukawesi Selatan. 9 Februari 2025. Tempo/Praga Utama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ringkasan Berita

  • Hasil panen rumput laut petani di Bantaeng berkurang drastis akibat pencemaran limbah smelter.

  • Tekstur dan wujud rumput laut menjadi berminyak dan ada bercak putih.

  • Kerusakan budi daya rumput laut juga dipicu oleh reklamasi lahan untuk kawasan industri.

AKTIVITAS pabrik di Kawasan Industri Bantaeng (Kiba), Kecamatan Pa’jukukang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, membuat sebagian warga kehilangan mata pencarian. Nestapa itu terjadi karena perusahaan memperluas wilayah kerja dan membuang limbah smelter nikel ke laut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Salah seorang korbannya adalah Muhammad Ramli, warga Desa Baruga, Kecamatan Pa’jukukang. Sejak 2019, laki-laki 72 tahun itu hanya bisa membudidayakan rumput laut. Padahal ia sebelumnya juga bercocok tanam di ladang. "Kami tak bisa menggarap lahan setelah ada perusahaan," kata Ramli saat ditemui pada pertengahan Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pesisir Pa’jukukang menjadi salah satu sentra pembudidayaan rumput laut di Sulawesi Selatan. Namun pemerintah daerah malah memilih mengembangkan industri nikel, meski tak ada tambang nikel di wilayah itu. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantaeng, sekitar 2.250 hektare lahan budi daya rumput laut terbentang di sepanjang garis pantai wilayah itu. Bisnis rumput laut telah menghidupi 1.200 rumah tangga dan mampu menghasilkan 2.800 ton rumput laut kering.

Ramli pernah menikmati masa kejayaan rumput laut Bantaeng. Jauh sebelum Pemerintah Kabupaten Bantaeng menetapkan lima desa di Pa’jukukang masuk kawasan Kiba, Ramli dan ratusan petani rumput laut di sana bisa memperoleh hasil besar dari komoditas ini. "Dulu hasil panen rumput laut kering bisa mencapai 400 kilogram," tuturnya. Hasil panen itu lantas dibeli pengepul dari Makassar dan diekspor ke Taiwan dan Cina.

Rumput laut hasil budidaya di Pantai Marina, Bantaeng, Sulawesi Selatan, 11 Januari 2025. ANTARA/Hasrul Said

Jumlah sebanyak itu biasanya diperoleh Ramli dari 300-400 bentangan tali dengan panjang masing-masing 20 meter. Tali-tali itu dipasang pada jarak sekitar 3 kilometer dari bibir pantai. Kondisi itu berubah ketika smelter PT Huadi Nickel Alloy Indonesia beroperasi di Kiba pada 2018. Hasil panennya merosot drastis. Kata Ramli, "Bisa mendapat 100 kilogram dalam sekali panen saja sudah bagus."

Merosotnya hasil panen itu disebabkan oleh pencemaran limbah dari kawasan industri. Para petani biasanya bersiasat dengan memasang 100 bentangan tali untuk memeriksa pertumbuhan rumput laut mereka. Ramli bercerita, hasil panen rumput laut menjadi rusak setelah perusahaan masuk ke kawasan Bantaeng dan mereklamasi pantai.

Pada rumput laut yang rusak itu biasanya muncul bercak putih yang membuat teksturnya mudah hancur. Pada 2024, perusahaan berencana memperluas area reklamasi. Tapi Ramli, yang waktu itu masih menjabat aparat dusun, bernegosiasi dengan perusahaan karena banyak warga yang memprotes area reklamasi itu mengganggu wilayah budi daya rumput laut.

Dalam negosiasi pada Desember 2024 itu, warga menuntut perusahaan memperbaiki dulu pembuangan limbahnya dengan tidak langsung membuangnya ke laut. Ada juga tuntutan agar perusahaan membayar area yang hendak direklamasi. "Karena area itu biasanya digunakan untuk bentangan rumput laut," ujarnya. Sebelumnya perusahaan setuju membayar uang pengganti lahan sebesar Rp 2.000 per meter. Tapi, ucap Ramli, sampai sekarang tuntutan itu belum dipenuhi.

Direktur Balang Institute—lembaga yang mengadvokasi warga di Bantaeng—Junaedi Hambali menyebutkan, dalam proses reklamasi itu, perusahaan juga memanfaatkan slag atau limbah padat yang dihasilkan dari peleburan bijih nikel untuk menguruk laut. Menurut Junaedi, perusahaan boleh menguruk karena slag nikel tak lagi termasuk limbah beracun dan berbahaya, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pencemaran juga datang dari material dan bijih nikel yang tumpah dari tongkang serta kapal-kapal yang diduga membuang oli bekas ke laut. Riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Balang Institute pada 2023 menemukan tanaman rumput laut menjadi berukuran lebih kecil, kerap kotor, berminyak, atau ditutupi lumut serta lumpur. Akibatnya, tanaman rumput laut sulit berkembang. Batang rumput laut yang seharusnya bertekstur keras justru lembek dan mudah membusuk.

Derita petani rumput laut tak hanya sampai di situ. Aktivitas masuk-keluar kapal di perairan Pa’jukukang juga mengganggu para petani. Tak jarang, kata Ramli, bentangan rumput laut milik petani rusak karena diterjang kapal. Kalau sudah begitu, tak ada yang bisa diselamatkan. Kejadian terparah berlangsung empat tahun lalu atau pada 2021.

Berdasarkan laporan Jatam, waktu itu terdapat sejumlah insiden rusaknya bentangan rumput laut karena ditabrak kapal di lima lokasi. Akibatnya, 400 bentangan rumput laut milik petani rusak dan gagal panen. Ketika itu para petani menuntut ganti rugi sebesar Rp 32 juta. Namun perusahaan hanya menyanggupi penggantian kerugian maksimal Rp 5 juta.

Area padang rumput tempat warga Desa Papan Loe biasa menggembalakan ternak, yang berbatasan langsung dengan area Kawasan Industri Bantaeng, Sulawesi Selatan, 9 Februari 2025. Tempo/Praga Utama

Warga yang kehilangan mata pencarian bukan hanya petani rumput laut. Beberapa peternak dan penggarap ladang memilih hengkang karena lahan garapan serta ternak mereka mati terpapar polusi debu pabrik. Hasan, warga Desa Borong Loe, bercerita tahun lalu pamannya memilih pindah ke Bulukumba, Sulawesi Selatan, setelah belasan kambingnya mati serta ladang sayur-mayurnya gagal panen akibat kekeringan dan polusi.

Hasan, 35 tahun, kini melanjutkan menggarap ladang yang ditinggalkan pamannya itu. "Tapi gagal juga," katanya, lalu menunjukkan ladang sayur dan cabai di samping rumahnya. Dia berharap hasil ladangnya bisa lebih baik pada musim hujan tahun ini. Sambil merawat ladangnya yang ditumbuhi beberapa bibit tanaman sayur, ia menggantungkan hidup dari warung kelontong yang digelar di ruang tamu rumahnya. "Kalau bisa, lahan dan rumah saya diganti rugi perusahaan saja supaya bisa pindah dari sini," ujarnya.

General Affair and External Relation Manager PT Huadi Nickel Alloy Indonesia Lily Dewi Candinegara merespons konfirmasi Tempo pada Rabu, 5 Maret 2025. Ia berjanji akan mengirimkan jawaban tertulis, namun belum mengirimkannya hingga artikel ini terbit.

Artikel ini merupakan serial liputan mengenai dampak tambang nikel terhadap ekologi, ekonomi, dan sosial yang didukung oleh The China Global South Project

Untuk akurasi, paragraf terakhir diubah pada Kamis, 6 Maret 2025 pukul 20.30 WIB di bagian keterangan waktu permintaan tanggapan kepada PT Huadi

Praga Utama

Lulusan Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran pada 2011. Bergabung dengan Tempo di tahun yang sama sebagai periset foto. Pada 2013 beralih menjadi reporter dan saat ini bertugas di desk Wawancara dan Investigasi.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus