Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Anyaman Sosial yang Tercabik

Kasus cuak di zaman Orde Lama bisa diselesaikan dengan baik. Kenapa kini tak bisa?

22 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Daerah Operasi Militer (DOM) yang dijalankan semasa Orde Baru tak hanya membunuh, menganiaya, dan memerkosa. Aksi intelijen dan kontragerilya yang dinamai secara manis sebagai Operasi Jaringan Merah itu juga mencabik-cabik jalinan sosial masyarakat Aceh. Kasus pembunuhan cuak yang merebak akhir-akhir ini adalah kekalahan ganda bagi Aceh. Sudah menderita oleh kekejaman DOM itu, mereka kini harus menemukan kenyataan "bermusuhan" dengan bagian tubuhnya sendiri. Namun fenomena seperti itu sebenarnya tidak unik. Dalam suasana konflik, setiap masyarakat akan menemukan pengkhianat atau kolaborator dari kalangannya sendiri. Dan masyarakat Aceh, seperti bangsa-bangsa lain, pernah terbukti memiliki mekanisme untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Menurut Dr. Isa Sulaiman, sejarawan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, cuak yang tertinggal setelah operasi pembasmian Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 1953-1962 bisa bergabung kembali dengan masyarakat sekelilingnya. Mereka tidak diburu atau dibantai. Kenapa kini tampaknya sulit? Ada beberapa faktor, menurut Isa, yang membuat konflik antara massa dan kolaborator kini lebih tajam. Faktor pertama: derita akibat DOM jauh lebih mengerikan daripada ketika zaman DI/TII, sehingga dendam terhadap cuak pada zaman itu pun tidak sekental sekarang. Faktor kedua: kasus Darul Islam diselesaikan secara damai. Para anggota DI sendiri mendapat amnesti. Mereka mendapat pekerjaan dan bahkan jabatan. Nama mereka pun direhabilitasi. "Jadi, buat apa para anggota DI itu marah kepada para cuak?" kata Isa. Ada faktor lain, menurut Hasballah Moh. Saad, Ketua Komite Solidaritas HAM Aceh di Jakarta. Di masa DI/TII, cuak tidak hidup dalam masyakarat seperti sekarang, tapi tinggal di pinggir tangsi-tangsi militer yang cukup terisolasi. Lebih dari itu, mereka tidak sekejam sekarang. "Sekarang mereka ada di mana-mana, di kampung-kampung, dan mereka terlibat dalam eksekusi orang. Mereka malah bangga kalau berhasil melakukan eksekusi dengan disaksikan Kopassus." Kekejaman balik massa terhadap cuak sekarang ini, menurut Hasballah, juga bisa terjadi karena tercabik-cabiknya struktur sosial dalam masyarakat Aceh. Pemimpin formal tidak lagi dipercaya. Aparat Pemerintah Daerah Aceh, menurut Hasballah, selama ini sangat tidak berdaya. "Mereka ditopang oleh kekuatan Golkar, yang sekarang sudah ketahuan bobroknya. Dan selama DOM berlangsung, mereka tidak melakukan hal-hal yang bisa mencegah kekejian itu, tidak pernah meminta ABRI dengan serius. Paling disayangkan." Sulit pula mencari pemimpin informal, misalnya ulama, yang bisa meredam mereka. "Banyak ulama kehilangan kredibilitas," kata Hasballah, "Para ulama dipaksa menjadi kaki tangan militer, sementara di masa lalu militer ditatar ulama untuk bisa salat." Tiadanya pemimpin lokal yang bisa dipercayai dan disegani membuat massa mudah kehilangan arah. "Hampir tidak ada lagi yang didengar, kecuali mereka yang berani menentang kezaliman." Dalam masyarakat seperti itu, tak mengherankan jika Ahmad Kandang--bukan ulama, bukan intelektual--dipandang sebagai pahlawan. Kandang mencuat namanya karena membunuh sandera militer. "Jangankan Ahmad Kandang, kucing pun akan diikuti rakyat jika berani bersuara melawan kekerasan dan mengakomodasikan keresahan rakyat." Di masa lalu, menurut Hasballah, juga ada proses yang memungkinkan cuak kembali ke masyarakatnya. Setelah Tentara Nasional Indonesia (TNI) ditarik dari Aceh pascaperang DI/TII, mata-mata itu dipanggil oleh para sesepuh masyarakat. Mereka kemudian dipekerjakan sebagai buruh perkebunan yang terisolasi. Jika kerjanya bagus, mereka bahkan bisa menjadi mandor, diberi gaji layak, dan mendapat tempat tinggal, sehingga untuk sementara bisa hidup terasing dari masyarakat yang masih terluka. "Setelah 10-15 tahun dan keadaan lebih tenang, mereka kembali ke masyarakat dan tidak terjadi apa-apa," kata Hasballah. Dan kini? "Penarikan DOM tidak disertai ketuntasan penyelesaian," kata Isa. Operasi militer itu ditujukan untuk membasmi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun DOM ditarik tanpa penjelasan bagaimana status orang-orang yang terlibat GAM. "Ada dari mereka yang masih memanggul senjata, meski jumlahnya tidak banyak." Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud, orang yang paling sibuk menanggung akibat dari DOM yang diwariskan oleh pendahulunya, Ibrahim Hasan, juga tampak tak tahu harus berbuat apa. Menjawab pertanyaan TEMPO pekan lalu, ia hanya bisa menyarankan agar siapa saja yang merasa pernah menjadi cuak hijrah dan menghindar dari masyarakat yang marah. Hasballah, seperti banyak kalangan LSM Aceh, menyarankan agar kasus cuak diselesaikan secara hukum. "Alangkah baiknya jika mereka yang diduga sebagai cuak diproses secara hukum. Akan lebih aman jika mereka dipenjarakan daripada dikejar-kejar ke mana-mana," kata Hasballah. Itu pula yang diharapkan oleh Kepala Kepolisian Daerah Aceh Kolonel (Pol.) Djuharnus Wiradinata. "Kami mengimbau masyarakat tidak main hakim sendiri," katanya pekan lalu. Namun imbauan seperti itu hanya berlaku bila semua cuak memang dibunuh oleh massa. Pada kenyataannya, banyak dari mereka yang tewas itu justru dibunuh oleh pembantai misterius. Djuharnus sendiri menyatakan, pihaknya belum bisa mengungkap kasus-kasus tersebut. Bukti-bukti dalam bentuk pecahan peluru di tubuh korban telah dikirimkannya ke laboratorium penelitian. Namun, kata dia, belum ada hasil. Mengamati lambannya aparat kepolisian bertindak, sejumlah tokoh LSM menilai mereka tidak serius menangani kasus-kasus ini. Djuharnus menolak tuduhan itu. "Kami bukan polisi tidur," katanya, "Dan lagi, ekses operasi militer tak bisa hanya ditangani oleh polisi." Bagaimanapun, kasus cuak memang sekadar turunan dari kasus yang lebih besar: pelanggaran HAM semasa operasi militer. Penyelesaian secara hukum terhadap kasus besar ini juga perlu dilakukan untuk mencegah lingkaran setan kekerasan. Namun Gubernur Syamsuddin pun angkat tangan. "Saya tidak tahu sampai sejauh mana," katanya, "Saya sudah menyampaikannya kepada presiden. Tapi memang belum ada suatu langkah konkret dari yang berwenang. Bukankah presiden merupakan lembaga paling atas? Ke mana lagi saya harus mangadu?" Aceh yang malang. Teror dan pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini menegaskan masa kelam Aceh. "Sepanjang hidup orang Aceh, lebih banyak perang daripada damainya," kata Hasballah. Menurut Hasballah, Aceh mengalami era relatif damai hanya sepanjang 14 tahun, di awal kemerdekaan. Sumber kisruh utamanya adalah konflik pusat dan daerah, baik pemberontakan Darul Islam maupun Gerakan Aceh Merdeka. Hasballah menilai, konflik Aceh hanya bisa dipecahkan oleh pemberian otonomi seluas-luasnya dan sebenar-benarnya. "Orang Aceh perlu diberi kesempatan untuk memikirkan otonomi. Kalau perlu, bahkan, status sebagai negara bagian khusus." Posisi Aceh, kata Hasballah, berbeda dengan Timor Timur. "Tim-Tim dibantu. Kalau kami, justru menyumbang Republik." Aceh memang selama ini disebut sebagai "daerah istimewa". Namun, menurut Hasballah, "Keistimewaan selama ini kosong belaka. Mungkin istimewanya karena selalu ditindas." Dia menyebut harta Aceh serta minyak dan gas yang dirampas ke Jakarta senilai Rp 32 triliun, sementara rakyatnya dibunuh secara tidak manusiawi. Nada bicara Hasballah mencerminkan bahwa kalangan yang pro-Republik seperti dia pun seperti telah kehilangan kesabaran. DOM yang berkepanjangan dan eksesnya yang hingga kini belum bisa dituntaskan itu telah membuat tuntutan otonomi luas, bahkan referendum kemerdekaan, lebih sering bergema sekarang. Sebuah LSM di Aceh belum lama ini mengumumkan hasil jajak pendapatnya yang menunjukkan bahwa 85 persen rakyat Aceh menuntut referendum. Jajak pendapat itu belum tentu sahih, tapi tuntutan kemerdekaan memang kian kencang. Kongres Pemuda Aceh dua pekan silam mengusulkan hal serupa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus