Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jaya di Langit Ibu Kota

Bermula dari Pasar Senen, Pembangunan Jaya tumbuh menjadi perusahaan beraset triliunan rupiah. Dividen untuk DKI Jakarta hanya Rp 13,5 miliar setahun.

15 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GRUP Jaya atau PT Pembangunan Jaya tak bisa dihilangkan dari sejarah Pasar Senen, Jakarta Pusat. Berdiri pada 3 September 1961, kelompok usaha yang dibesarkan pengusaha Ciputra ini semula bernama PT Pembangunan Ibu Kota Jakarta Raya. Perseroan didirikan lewat campur tangan Gubernur DKI Jakarta masa itu, Soemarno Sosroatmodjo, yang ingin mewujudkan ide Presiden Sukarno meremajakan wajah Senen.

Sempat terhambat pembebasan lahan dan peristiwa G-30-S, Proyek Senen akhirnya rampung pada masa Gubernur Ali Sadikin. Sayangnya, prasasti peresmian oleh Ali yang dulu menempel di salah satu tiang pancang Pasar Senen kini tak lagi ada bekasnya. "Sudah lama dicabut ketika ada renovasi," kata seorang petugas keamanan.

Proyek Senen kelar, bendera Pembangunan Jaya berkibar. Pada akhir 1970-an, Gubernur Ali, yang puas terhadap Senen, meminta perusahaan ini menggarap kawasan rekreasi Ancol. Pekerjaan tersebut mandek ketika masih dikelola oleh Badan Pelaksana Pembangunan Proyek Ancol.

Dari proyek itu, hadirlah Taman Impian Jaya Ancol dan Dunia Fantasi. Pusat rekreasi di pantai Jakarta tersebut kini dikelola anak usaha Grup Jaya yang juga badan usaha milik pemerintah DKI Jakarta, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk.

Kiprah Grup Jaya tak berhenti di Ancol. Berawal dari membangun perumahan skala sedang di Pesing, Sunter, dan Ancol Barat, mereka terjun ke bisnis real estate pada awal 1980 di Bintaro, perbatasan Jakarta Selatan dan Tangerang. Ciputra dan kawan-kawan juga "nyambi" menggarap proyek-proyek jalan layang Ibu Kota.

Logo Pembangunan Jaya pun mulai hadir di mana-mana. Di usianya yang lebih separuh abad, aset Grup Jaya telah mencapai Rp 10,9 triliun. Anak perusahaannya tersebar di sektor properti, jasa konstruksi, dan rekreasi. Juli lalu, salah satu anak perusahaan Pembangunan Jaya, PT Jakarta Tollroad Development, meneken perjanjian pembangunan enam ruas jalan tol di Jakarta dengan Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum. Pemerintah DKI Jakarta, yang semula menolak, akhirnya setuju melanjutkan proyek senilai Rp 42 triliun tersebut.

Pemerintah DKI turut serta dalam proyek tersebut melalui PT Jakarta Propertindo. Mereka memiliki 8,9 persen saham Jakarta Tollroad. Sedangkan Pembangunan Jaya, meski hanya memiliki 11,5 persen di Jakarta Tollroad, secara tidak langsung menguasai sisa saham lewat anak perusahaan seperti Pembangunan Jaya Infrastruktur, Jaya Konstruksi Manggala Pratama, Jaya Land, Pembangunan Jaya Ancol, dan Jaya Real Property.

Aset Pembangunan Jaya yang besar itu juga kini menjadi momok bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Setiap membahas rencana penerimaan daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selalu mempersoalkan setoran dividen Grup Jaya yang amat rendah.

Ini karena pemerintah DKI kerap tak berkutik dalam rapat umum pemegang saham, termasuk dalam urusan menentukan payout ratio atau bagian dari laba bersih yang akan dibagikan kepada pemegang saham. Pemerintah DKI memiliki saham paling gede, 38,8 persen, di perusahaan itu. Tapi mereka selalu kalah suara melawan gabungan pemegang saham lain, swasta dan individu.

Walhasil, empat tahun terakhir, walaupun laba perseroan setiap tahun mencapai ratusan miliar, rata-rata dividen Pembangunan Jaya ke kas DKI hanya Rp 9,4 miliar. Tahun lalu, misalnya, menurut data Badan Penanaman Modal dan Promosi (BPMP) DKI Jakarta, dividen perusahaan ini hanya Rp 13,5 miliar. Padahal laba bersih perseroan tahun sebelumnya mencapai Rp 844,3 miliar. "Kami kesulitan mengendalikan perusahaan tersebut," kata seorang pejabat di BPMP DKI Jakarta.

Sayang, Direktur Komunikasi Eksternal PT Pembangunan Jaya, Sutopo Kristanto, tak merespons permintaan konfirmasi dari Tempo soal ini.

Plang Jaya berikut logo garis merah bak labirin membentuk huruf P dan J masih menempel pada menara jam dinding yang menjulang di pelataran Proyek Senen. Jam yang menghadap empat penjuru mata angin itu tak lagi berfungsi. Jarumnya berhenti menunjuk pukul lima kurang lima menit. Padahal pagi itu, Selasa pekan lalu, mentari telah bersinar terik. Para penjual jajanan pasar tampak mulai membongkar lapaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus