Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JEJAK itu sebenarnya sudah tercium lama. Itu sebabnya para peneliti Indonesia Corruption Watch menelisik laporan dana kampanye Fauzi Bowo dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Namun, ketika itu, setiap penjuru seperti buntu. ICW hanya menemukan Rp 253,5 juta sumbangan yang tidak jelas muasalnya di rekening tim kampanye Fauzi, gubernur inkumben saat itu. "Tim kampanye mereka kemudian buru-buru menyetorkan sumbangan ganjil itu ke kas daerah," kata Abdullah, peneliti ICW yang aktif menyelidiki dana politik para kandidat pemilihan Gubernur Jakarta, kepada Tempo pada Juli lalu. Sesuai dengan undang-undang, setoran ke kas negara memutihkan dana tersebut.
Perlahan catatan ini pun memudar dari ingatan publik. Apalagi Fauzi kemudian dinyatakan kalah dalam pemilihan DKI-1. Wali Kota Solo Joko Widodo terpilih jadi penggantinya. Setelah sempat menghilang dari peredaran, kartu Fauzi hidup lagi ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuknya sebagai Duta Besar Indonesia di Jerman pada akhir 2013.
Tiga bulan lalu, dua tahun setelah pemilihan gubernur usai, segepok dokumen yang diperoleh redaksi Tempo membuat kasus ini jadi penting ditengok lagi. Dokumen tersebut memuat laporan detail mengenai asal-muasal dana kampanye Fauzi ketika itu.
Dalam laporan tersebut terungkap bahwa dana Rp 20 miliar yang disetorkan Fauzi ke rekening kampanye Fauzi-Nara di Bank DKI dan Bank Mandiri pada Mei dan Juni 2012 ternyata berasal dari sebuah perusahaan bernama PT Mega Swadharma. Nara adalah panggilan Nachrowi Ramli, Ketua Partai Demokrat Jakarta yang menjadi calon wakil gubernur mendampingi Fauzi.
Dalam audit dana kampanye Fauzi-Nara yang disetorkan ke Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta, dua tahun lalu, nama PT Mega Swadharma sama sekali tidak tercantum sebagai salah satu penyumbang. Total dana Rp 62,6 miliar dihabiskan pasangan ini. Fauzi Bowo mengklaim menyumbang separuh, yakni Rp 30 miliar, dari kocek pribadinya. Dalam sejumlah pemberitaan pada pekan-pekan itu, dia mengaku menjual rumahnya sebagai modal berkampanye.
Sejak awal ICW menilai klaim Fauzi ini meragukan. Soalnya, pada 2010, ketika melaporkan kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Fauzi mengaku hanya punya aset senilai Rp 49,6 miliar dan US$ 300 ribu. "Setelah kampanye, seharusnya harta dia jauh berkurang," ujar Abdullah. Namun faktanya, ketika Fauzi kembali melaporkan kekayaan pada akhir 2012, hartanya malah melonjak jadi Rp 59,3 miliar dan US$ 325 ribu.
Dokumen yang diperoleh Tempo tiga bulan lalu mengungkap, PT Mega Swadharma ternyata hanya berperan sebagai penampung kucuran dana dari tiga perusahaan asing: Kingsford Holding Inc, Indovalue Debt Investments, dan Denholm Properties Ltd. Salah satu perusahaan asing ini beralamat di negara yang dikenal sebagai surga penghindaran pajak alias tax haven: British Virgin Islands (BVI).
Penelusuran atas pemilik dan pengurus PT Mega Swadharma membawa Tempo ke sebuah perusahaan yang amat dekat dengan Gubernur Jakarta. Dalam akta notaris PT Mega tercatat nama Soekrisman Legiman sebagai komisaris dan Edmund Eddy Sutisna sebagai direktur utama. Keduanya orang penting di PT Pembangunan Jaya, perusahaan konstruksi nasional beraset triliunan rupiah dengan belasan anak perusahaan. Sebanyak 38,8 persen saham PT Pembangunan Jaya dimiliki pemerintah DKI Jakarta. Bertahun-tahun, sebelum dilarang lewat peraturan Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jakarta secara ex officio adalah komisaris utama perusahaan tersebut.
Bersama Ciputra, Soekrisman merupakan salah satu pendiri PT Pembangunan Jaya. Sampai sekarang nama Soekrisman tercantum sebagai komisaris di PT Pembangunan Jaya serta dua anak perusahaannya, PT Jaya Real Property dan PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama. Sedangkan Edmund, meski sudah pensiun pada 2006, masih tercatat sebagai komisaris independen di berbagai anak perusahaan PT Jaya. Lima tahun terakhir, dia juga menjabat komisaris di PT Tempo Inti Media Tbk. PT Jaya, melalui Yayasan Jaya Raya, merupakan salah satu pemegang saham perusahaan ini.
KEJANGGALAN asal-muasal dana kampanye Fauzi Bowo ini tampaknya sudah sampai pula ke telinga para penegak hukum. Seharusnya, jika ada sumbangan yang melanggar aturan, pasangan calon melaporkan hal itu kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah. Ini diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kalau ini tidak dilakukan, hukumannya lumayan: dua tahun penjara dan denda hingga Rp 1 miliar.
Sumbangan Rp 20 miliar dari PT Mega Swadharma melanggar peraturan Komisi Pemilihan Umum mengenai batas maksimal sumbangan dari perusahaan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, setiap badan usaha seharusnya hanya boleh menyumbang paling banyak Rp 5 miliar.
Bukan cuma aturan pemilihan kepala daerah yang ditabrak. Setoran miliaran rupiah ke rekening pribadi Fauzi yang tidak segera dilaporkan ke pihak yang berwajib juga melanggar Undang-Undang Antikorupsi. Fulus itu bisa dikategorikan sebagai gratifikasi.
Semua indikasi itu kini sudah dikantongi para penyelidik KPK. "Kami sedang mengumpulkan bukti-bukti pelanggarannya," kata juru bicara KPK, Johan Budi Sapto Prabowo, ketika ditemui pertengahan Juli lalu.
Tiga perusahaan asing yang mengirim fulus ke PT Mega Swadharma tak punya banyak jejak. Perusahaan pertama, Denholm Properties, beralamat di 21 Strand Road, Derry, Irlandia Utara. Direkturnya bernama Dorothy May Kane. Sebuah situs yang memuat daftar perseroan terbatas di Inggris, companieshouse.gov.uk, mencatat bahwa perusahaan ini didirikan di Irlandia Utara pada 2009.
Menurut situs ini, umur Denholm hanya tiga tahun. Pada 18 November 2011, badan usaha ini dinyatakan bubar. Artinya, ketika Denholm mengirim uang ke PT Mega Swadharma pada awal 2012, status hukum perusahaan ini sebenarnya sudah mati. Hanya rekening banknya yang masih aktif.
Perusahaan kedua dan ketiga, Kingsford dan Indovalue, juga sulit dilacak. Kingsford pernah tercatat berkantor di lantai 28 Menara Karya, Kuningan, dan Gedung Arkonin di Bintaro, Jakarta Selatan. Ketika dikejar ke Kuningan, mereka sudah pindah. Di Bintaro, perusahaan ini tak dikenal.
Indovalue malah tak terdaftar di mana pun. Penelusuran di pangkalan data (database) Accounting and Corporate Regulatory Authority Singapura tak membuahkan hasil. Namanya juga tak ada di situs opencorporates.com, yang menyimpan data lebih dari 77 juta perusahaan di 65 negara. Setelah berpekan-pekan menyisir berbagai petunjuk, Tempo akhirnya menemukan satu dokumen yang berisi nama Indovalue. Dokumen itu adalah daftar hadir rapat umum pemegang saham tahunan PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama pada 21 Mei 2014. Rupanya, Indovalue tercatat memiliki 0,03 persen saham di anak perusahaan PT Pembangunan Jaya ini.
Kehadiran Indovalue dalam rapat itu diwakilkan kepada seorang penerima kuasa bernama Waluyo Budhy Sasetyo. Waluyo ternyata juga mewakili Kingsford, yang memiliki 4,04 persen saham PT Jaya Konstruksi.
Dengan kata lain, dua dari tiga perusahaan yang menyetorkan dana Rp 20 miliar kepada PT Mega Swadharma-yang kemudian diteruskan ke rekening pribadi Fauzi menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Mei dan Juni 2012-sebenarnya terkait dengan PT Pembangunan Jaya.
Dihubungi via telepon, Waluyo membenarkan kehadirannya di rapat umum pemegang saham PT Jaya Konstruksi. Dia juga mengaku mendapat kuasa dari Indovalue dan Kingsford. Sayangnya, selain konfirmasi tersebut, Waluyo menutup mulut rapat-rapat. "Saya tidak berhak berbicara," ujarnya.
ADA satu lagi transaksi mencurigakan di rekening Fauzi Bowo enam bulan setelah kiriman dana PT Mega Swadharma. Sebuah perusahaan bernama PT Cakrawala Buana mengirim dana Rp 30 miliar ke rekening Fauzi di Bank Mega pada 12 Desember 2012. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta sudah berakhir tiga bulan sebelumnya.
Kali ini duit miliaran itu tidak mampir ke rekening dana kampanye siapa pun. Masuk ke tabungan Fauzi, dana itu langsung mengalir lagi ke PT Mega Swadharma. Dari sana, duit pecah jadi dua. Sebagian disetorkan kembali ke sumber dana awal kampanye Fauzi, yakni Denholm Properties Ltd, dan sisanya mengalir ke sebuah perusahaan lain yang berbasis di Hong Kong, Citiview Properties Limited.
Nama-nama di balik Cakrawala Buana ternyata sama persis dengan tokoh-tokoh utama Mega Swadharma. Komisaris dan Direktur Utama Cakrawala adalah Soekrisman Legiman dan Edmund Eddy Sutisna.
Masalahnya, ketika dilacak lebih jauh, terungkap bahwa mereka berdua bukanlah pemegang saham mayoritas di Mega dan Cakrawala. Pemilik 90 persen saham kedua perusahaan itu sebuah perusahaan asing bernama Leighton Point Ltd.
Sama seperti Denholm, Kingsford, dan Indovalue, jejak Leighton Point pun hanya terendus samar-samar. Tak ada catatan publik apa pun mengenai perusahaan ini, kecuali sebuah keterangan di London, Inggris, bahwa ada perusahaan bernama Leighton Point Consultancy Ltd telah dinyatakan bubar pada Mei 2001.
Melalui PT Mega Swadharma, pada 2008 Leighton ikut menjadi pemilik saham minoritas di PT Mitra Kerta Raharja. Perusahaan yang disebut terakhir adalah anak usaha PT Jaya Real Property-yang mengelola Perumahan Bintaro, Jakarta Selatan, dan Tangerang Selatan, serta merupakan anak usaha PT Pembangunan Jaya.
Citiview Properties-perusahaan kedua yang menerima sebagian dana miliaran dari Cakrawala via rekening Fauzi-punya rekam jejak lebih jelas. Pada 2012, perusahaan ini tercatat sebagai pemilik 12,8 persen saham PT Jaya Real Property.
Informasi dari mantan pegawai PT Pembangunan Jaya yang mengetahui persis sepak terjang dan bisnis perusahaan ini mengatakan, sebelum DKI Jakarta dipimpin Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Pembangunan Jaya lazim memberikan "setoran" kepada petinggi DKI agar memperoleh proyek. Ia menduga setoran Rp 50 miliar itu berhubungan dengan rencana pembangunan enam ruas jalan tol senilai Rp 42 triliun oleh pemerintah Jakarta.
Pada 2011, pemerintah DKI Jakarta dan PT Pembangunan Jaya membentuk konsorsium PT Jakarta Tollroad Development sebagai pemrakarsa proyek. Mayoritas saham perusahaan baru ini dikuasai oleh Pembangunan Jaya dan anak-anak perusahaannya. Juli lalu, Jakarta Tollroad meneken perjanjian pengusahaan jalan tol dengan Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum.
Fauzi Bowo memang getol mengegolkan enam ruas jalan tol tersebut di legislatif dan pemerintah pusat. Namun, saat kampanye pemilihan Gubernur DKI, Jokowi menolak rencana itu. Ini membuat petinggi Pembangunan Jaya kalang-kabut. "Mereka lalu bersepakat habis-habisan menyokong dana kampanye Foke agar menang," katanya.
Presiden Direktur PT Pembangunan Jaya, Trisna Muliadi, menemui wartawan Tempo Bambang Harymurti di Hotel Mulia, Jakarta Pusat, enam pekan lalu, tapi menolak keterangannya dikutip. Dia meminta Direktur Komunikasi Eksternal PT Pembangunan Jaya, Sutopo Kristanto, merespons permintaan konfirmasi dari Tempo. Sutopo membantah semua tudingan. Dia menegaskan tidak pernah ada setoran khusus dari perusahaannya kepada Gubernur Jakarta. Menurut dia, meski sebagian saham perusahaannya memang dimiliki pemerintah Jakarta, PT Pembangunan Jaya tak pernah memperoleh perlakuan khusus. Untuk mendapatkan proyek di lingkungan DKI Jakarta, "Kami selalu ikut tender terbuka," ucap Sutopo.
Kalau begitu, apa motif setoran Rp 50 miliar ke rekening Fauzi? "Ini urusan jual-beli," kata Edmund, yang ditemui Agustus lalu. Menurut pria 68 tahun ini, pada awal 2012, dia tertarik membeli tiga bidang tanah dan rumah milik Fauzi di Jalan Tanjung, Menteng, Jakarta Pusat. Luasnya sekitar 1.400 meter persegi. "Harganya Rp 50 miliar. Lalu kami kirim uang muka dan cicilan pertama," ujarnya. Itu penjelasan Edmund untuk dua setoran berjumlah total Rp 20 miliar dari Mega Swadharma ke Fauzi.
Belakangan, transaksi batal. "Kami kesulitan mengirim sisa uangnya. Dari Leighton, uangnya tidak turun-turun," kata Edmund. Walhasil, uang muka dan cicilan perdana Mega Swadharma senilai Rp 20 miliar dianggap sebagai utang Fauzi. Kemudian disepakati, untuk melunasi utang, Fauzi akan memberikan sejumlah lukisan plus permadani dan sajadah Turki. "Ada banyak lukisan Affandi, juga S. Sudjojono," ucap Edmund.
Tapi keterangan pengikat perjanjian jual-beli (PPJB) lukisan dan karpet antara Edmund dan Foke berbeda. Dalam PPJB yang ditunjukkan Edmund pada pertemuan kedua dengan Tempo, yang tertera hanya lukisan karya Affandi, Le Mayeur, dan Miguel Covarrubias. Jumlah lukisan yang dibeli pun hanya 6, bukan 30 seperti yang disebut Edmund dalam wawancara sebelumnya.
Setelah ditaksir, nilai total barang Fauzi dianggap setara dengan Rp 30 miliar. Tapi barang-barang tersebut tidak langsung diberikan ke Mega Swadharma. Edmund mengaku lebih dulu membeli lukisan dan sajadah tersebut, menggunakan Cakrawala Buana. Setelah itu, Fauzi meneruskan uang dari Cakrawala yang masuk rekeningnya ke Mega Swadharma.
Bahwa transaksi jual-beli itu disepakati sebelum pemilihan gubernur dan batal setelah pemilihan usai, kata Edmund, adalah kebetulan semata. "Kami tidak pernah membantu dana kampanye Pak Fauzi," ujarnya tegas.
Dimintai pendapat mengenai kasus ini, guru besar hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Yenti Garnasih, mengatakan setiap transaksi ganjil yang melibatkan peserta pemilu, apalagi yang berdekatan dengan masa kampanye, patut dicurigai bagian dari pencucian uang. "Tandanya adalah suspicious transaction," kata ahli pencucian uang ini. Apalagi jika transaksi melibatkan perusahaan yang tercatat di British Virgin Islands.
Mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein mengatakan perusahaan-perusahaan BVI memang selalu merahasiakan orang dan asal-usul uang. Itu modus untuk membeli dengan identitas tersembunyi. "Biasanya transaksi dilakukan di atas harga wajar, tapi kelihatan seperti jual-beli biasa. Ini teknik money laundering."
Awal Agustus lalu, Tempo datang ke Tanjung, Jakarta Pusat, memeriksa keterangan Edmund mengenai properti yang katanya tidak jadi dibeli Mega Swadharma itu. Bangunan megah tersebut dikelilingi pagar baja setinggi dua meter. Kokoh tapi minimalis, berbeda dengan rumah lain di sepanjang jalan itu yang kebanyakan masih mempertahankan arsitektur bergaya kolonial.
Dua kali didatangi, dua kali pula diperoleh keterangan serupa dari penjaga keamanan di depan rumah itu. "Ini kantor PT Mega Swadharma," ujarnya. "Setiap minggu, Pak Edmund membawa tamunya ke sini."
Ditanyai soal ini, Edmund menegaskan bahwa lahan tersebut masih milik Fauzi Bowo. Dia mengatakan cuma menyewa. "Itu BOT (build, operational and transfer), Rp 10 miliar untuk 10 tahun," katanya. Sedangkan anggota staf bagian ekonomi di Kantor Kelurahan Gondangdia, Heru, mengaku tidak tahu apakah tanah di Jalan Tanjung itu sudah berganti pemilik. Cuma, dalam catatan kelurahan, hingga 2014 pajak tanah tersebut masih dibayar atas nama Fauzi Bowo.
Soekrisman tak bisa dimintai konfirmasi. Akhir Juli lalu, Tempo mendatangi rumah pria 81 tahun itu di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan. Menurut Jumadi, penjaga rumah, Soekrisman tengah berada di Australia.
Fauzi sendiri tak mau berbicara banyak. Setelah salat Id di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin, Jerman, pada Lebaran, Juli lalu, dia mengaku tak mengenal nama PT Mega Swadharma dan Cakrawala Buana. "Tidak mungkin (saya menerima dana itu)," ucapnya. Semua urusan dana kampanye pada pemilihan Gubernur Jakarta dua tahun lalu, kata Fauzi, sudah ia laporkan kepada Komisi Pemilihan Umum.
TEAM INVESTIGASI PENANGGUNG JAWAB: Budi Setyarso, Philipus Parera PEMIMPIN PROYEK: Mustafa Silalahi PENYUNTING: Budi Setyarso, Philipus Parera, Wahyu Dhyatmika PENULIS: Mustafa Silalahi, Agoeng Wijaya, Sukma N. Loppies, Agung Sedayu PENYUMBANG BAHAN: Bambang Harymurti, Toriq Hadad, Anton Septian, Syailendra, Muhamad Rizki (Jakarta), Luky Setyarini, Tito Sianipar (Berlin), Shinta Maharani (Yogyakarta), PDAT DESAIN: Djunaedi, Gatot Pandego, Tri W. Widodo, Yudha BAHASA: Iyan Bastian |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo