Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jejak Marzuki di TVRI

Televisi Republik Indonesia sedang limbung. Tanpa direksi dan dewan pengawas, lembaga penyiaran publik ini bak kapal tanpa nakhoda. Tempo menemukan bagaimana konflik dan indikasi korupsi yang memporak-porandakan TVRI terkait dengan sepak terjang sejumlah orang yang dekat dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie.

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SECARIK kertas berisi pengumuman genting itu beredar di kantor pusat stasiun Televisi Republik Indonesia dua pekan lalu. Surat bertanggal 29 Januari 2014 itu ditandatangani sendiri oleh Elprisdat M. Zen, Ketua Dewan Pengawas TVRI.

Isinya singkat tapi tegas: "Sebelum dikeluarkannya Keputusan Presiden, kami tetap memiliki kedudukan beserta segenap fungsi, wewenang, tugas, dan kewajiban selaku Dewan Pengawas."

Inilah "perlawanan" resmi Elprisdat atas keputusan Komisi Informasi Dewan Perwakilan Rakyat, yang sehari sebelumnya resmi memberhentikan dia dan empat rekannya: Bambang Soeprijanto, Immas Sunarya, Akhmad Sofyan, dan Indrawadi Tamin.

Pembangkangan Elpris—begitu mantan Produser Eksekutif ANTV ini biasa disapa—bukan tanpa perhitungan. Di belakangnya, ada tokoh berpengaruh. Tabir terkuak ketika Elpris bergegas mendatangi Widya Chandra, hanya beberapa jam setelah Senayan memastikan pemecatannya.

Di perumahan pemimpin lembaga tinggi negara ini, dia menemui Ketua DPR Marzuki Alie. Dengan restu politikus Demokrat itu, genderang perang ditabuh. Pertaruhannya besar: anggaran TVRI tahun ini lebih dari Rp 1 triliun.

Akibat kisruh ini, sebagian besar duit itu kini dibekukan. Padahal Rp 300 miliar di antaranya sudah dialokasikan untuk program siaran seputar pemilihan umum. Program itu seharusnya sudah mulai tayang pekan-pekan ini, satu bulan menjelang hari pemungutan suara 9 April mendatang. Tak aneh, banyak politikus kelabakan.

Tapi ini bukan campur tangan pertama Marzuki di TVRI. Tempo menemukan jejak mantan Sekretaris Jenderal Demokrat ini dalam sejumlah bisnis siaran, penempatan orang, serta proyek pengadaan di lembaga penyiaran publik tersebut. Bahkan konflik yang kini memakan korban di level pimpinan TVRI sebenarnya dipicu sepak terjang orang-orang Marzuki.

n n n

KONTRAK itu hanya terdiri atas satu lembar kertas. Judulnya "Media Order Penyiaran Iklan/PSA dan Sponsorship Lembaga Penyiaran Publik TVRI Kantor Pusat". Bernomor 186.1/MO/1.6./TVRI/2013, perjanjian itu dibuat pada pertengahan Juli 2013.

Isinya kesepakatan penayangan iklan ucapan menempuh ibadah puasa dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Di kolom nama iklan hanya tertulis "PSA-Marzuki Alie".

Iklan dengan durasi 15 detik itu ditayangkan 172 kali selama Ramadan, yakni sejak 17 Juli sampai 7 Agustus 2013. Yang mencengangkan adalah harga iklan tersebut. Harga per satuannya hanya Rp 200 ribu. Walhasil, harga yang harus dibayarkan pihak Marzuki total Rp 34,4 juta.

Sebulan kemudian, kontrak serupa menyusul. Judulnya "Iklan Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H-Marzuki Alie". Kali ini, harganya naik sedikit: Rp 400 ribu per satuan karena durasinya lebih panjang, yakni 30 detik per spot. Ditayangkan 25 kali, pihak Marzuki membayar Rp 10 juta.

Untuk kedua iklan itu, pihak yang mengikat perjanjian atas nama Marzuki adalah PT Global Perkasa Solusindo. Perusahaan itu diwakili salah satu direkturnya yang bernama Herman Chaniago atau yang biasa disapa Herman Ago. Dari akta notarisnya, terungkap bahwa perusahaan itu milik Marzuki Alie. Dari pihak TVRI, Direktur Pengembangan dan Usaha Erwin Aryanantha yang meneken kontrak.

Harga itu mengejutkan karena jauh di bawah tarif iklan layanan masyarakat di TVRI. Biasanya orang harus membayar Rp 2-3 juta untuk iklan 30 detik. Kalau iklan Marzuki dihitung sebagai iklan politik, nilainya seharusnya lebih mahal lagi, bisa Rp 5-10 juta—tergantung waktu penayangannya. Untuk menegaskan standar harga itu, direksi merilis rate card alias daftar tarif iklan TVRI pada Oktober tahun lalu.

Sumber Tempo berbisik, murahnya harga iklan Marzuki tak lepas dari peran Herman Ago. Dialah yang melobi Manajer Umum Penjualan dan Pemasaran TVRI Rajab Siregar untuk menyepakati harga supermiring tersebut.

Bagi sejumlah petinggi TVRI, permintaan Ago nyaris tak bisa ditawar. Lebih dari satu karyawan dan pejabat teras TVRI yang ditemui Tempo sepanjang Januari lalu membenarkan soal luasnya kekuasaan Ago. Dia bisa mengatur anggaran, menentukan personalia pejabat, sampai merumuskan program siaran. "Semua orang di sini tahu Ago bisa mengatur banyak hal," kata seorang sumber Tempo di manajemen televisi publik itu.

Selain Ago, penguasa bayangan di sana adalah Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Max Sopacua. Dua figur ini kerap muncul di TVRI sejak Elprisdat dilantik menjadi Ketua Dewan Pengawas, akhir 2011. Semua orang TVRI tahu Ago, Elprisdat, dan Max merupakan orang Marzuki Alie. Merekalah pengendali sesungguhnya di TVRI.

Soal ini pertama kali terungkap dalam rapat-rapat di Komisi Informasi DPR, November tahun lalu. Di hadapan para politikus Senayan, satu demi satu direktur TVRI dengan blakblakan membuka sepak terjang Ago dan kelompoknya. Mereka bersedia buka-bukaan setelah Dewan Pengawas secara mendadak memecat mereka dari kursi direksi, akhir tahun lalu.

"Saya pernah diminta menempatkan seseorang yang tak kompeten sebagai manajer pemasaran," ujar Erwin Aryanantha dalam satu rapat di parlemen, pertengahan November tahun lalu. Permintaan itu, kata dia, datang dari Elprisdat. Karena tak digubris, sebulan kemudian permintaan serupa diulang. Kali ini datang dari Max Sopacua. Erwin akhirnya menyerah.

Direktur Program dan Berita Irwan Hendarmin tak ketinggalan. Menurut dia, Ago pernah memperlihatkan pesan dari Max di BlackBerry milik Ago. Dalam pesan itu, Max meminta sejumlah uang untuk bekalnya berkunjung ke Meksiko.

Ketika dimintai konfirmasi, Max membenarkan sebagian cerita Irwan dan Erwin. "Apa salahnya merekomendasikan seseorang yang kompeten?" ucapnya. Tapi mantan pembawa acara olahraga ini mati-matian membantah pernah menerima fulus dari Ago.

Merasa kisruh manajemen di TVRI bisa membahayakan independensi dan netralitas lembaga penyiaran publik itu, Komisi Informasi DPR memutuskan memberhentikan seluruh Dewan Pengawas TVRI pada akhir Januari lalu.

n n n

SALAH satu program yang menunjukkan parahnya manajemen TVRI adalah program Siap Siar. Bernilai total Rp 47,8 miliar, program yang berjalan pada 2012 ini sebenarnya didesain Direktur Program Irwan Hendarmin sebagai jalan pintas untuk menyediakan acara bagus dengan harga murah.

Lewat program Siap Siar, stasiun televisi pelat merah ini membeli program lama dari rumah-rumah produksi di Indonesia. Macam-macam acara yang dibeli TVRI. Ada siaran kartun dan animasi untuk anak-anak, film televisi, sinetron, juga acara musik.

Belakangan tercium bau amis dari program ini. Curiga terhadap kinerja bawahannya, Februari tahun lalu, Direktur Utama TVRI Farhat Syukri meminta Satuan Pengawas Internal TVRI menelisik program Siap Siar. Hasilnya rampung sebulan kemudian.

Laporan singkat sembilan halaman dari Satuan Pengawas Internal itu menemukan banyak kejanggalan. Pertama, dari delapan rumah produksi yang mendapat order menyediakan program acara, semuanya tak punya alamat kantor yang jelas.

PT A Man, yang memenangi tender pengadaan dua seri film kartun anak-anak senilai Rp 6,8 miliar, misalnya, punya tiga alamat berbeda, yakni di Gedung Plaza Lippo, Gedung Sentral Senayan II, dan Gedung World Trade Center II di kawasan Sudirman. Ketika Tempo mendatangi ketiga kantor itu akhir Januari lalu, tak ada sedikit pun jejak PT A Man di sana.

PT Kresindo Pusaka, yang mendapat proyek dari TVRI senilai Rp 3,5 miliar, sama saja. Rumah produksi ini ternyata cuma menyewa alamat untuk surat-menyurat di Duta Mas Business Center, Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Kantor fisiknya entah di mana.

Kedua, program yang mereka sediakan untuk TVRI tak sesuai dengan spesifikasi. Ada film kartun yang diklaim berdurasi 30 menit, tapi setelah diperiksa hanya sepanjang 5 menit. Animasi lain yang seharusnya berdurasi 60 menit ternyata cuma 20-an menit.

Ketiga, seluruh pengadaan bernilai puluhan miliar itu dilakukan tanpa tender. Dengan kata lain, kedelapan pemenang ditunjuk langsung. "Itu yang paling fatal," kata Kepala Satuan Pengawas Internal TVRI Udi Winarno, yang memimpin penyelidikan. Kini dia sudah pensiun.

Beberapa sumber Tempo memastikan rumah-rumah produksi itu memang sebenarnya bodong. Nama-nama perusahaan itu hanya dipinjam untuk "menggarong" proyek Siap Siar. Dalangnya konon Irwan Hendarmin sendiri. Buktinya, kata sumber, PT Media Arts Image, yang mendapat tiga proyek senilai total Rp 10,2 miliar, ternyata milik Iwan Chermawan, yang juga kerabat Irwan.

Tapi, ketika ditemui Januari lalu, Irwan membantah semua keterlibatannya. "Itu tidak benar," ucapnya sengit. Sayang, dia tak bersedia membuka siapa sebenarnya dalang di balik program itu.

Sumber Tempo yang berbeda membisikkan cerita lain. Irwan memang bermain, tapi tak sendirian. "Yang mengumpulkan rumah-rumah produksi untuk berkoordinasi menyediakan program adalah Herman Ago," ujarnya.

Pada awal 2012 itu, kata dia, Irwan masih sejalan dengan Ago. Baru belakangan ini mereka pecah kongsi. "Jangan lupa, Irwan masuk ke TVRI berkat Ago," katanya.

Masih menurut sumber Tempo ini, nilai riil program-program yang dibeli TVRI itu sebenarnya tak sampai Rp 20 miliar. Selain sudah pernah ditayangkan, banyak program tak bermutu baik. Artinya, lebih dari separuh dana program Siap Siar menguap dikorupsi.

Temuan inilah yang lalu diteruskan ke Badan Pemeriksa Keuangan, Mei 2013. Tak lama kemudian, Kejaksaan Agung pun turun tangan. Belasan petinggi TVRI kini bergiliran diperiksa di Gedung Bundar.

n n n

KISAH kedigdayaan Ago tak berhenti di sana. Menurut beberapa petinggi TVRI, pria 45 tahun yang juga dikenal sebagai promotor sepak bola ini kerap memaksakan program buatannya untuk disiarkan TVRI.

Yang unik, Ago tak pernah turun tangan sendiri. Dia hanya menghimpun pekerja lepas dari berbagai rumah produksi, mengerjakan program talk show atau sinetron, lalu meminta penggantian ongkos dari dana produksi program.

Tercatat setidaknya dua program titipan Ago ditayangkan TVRI, yakni Bukan Infotainment dan Anak-anak Alam. Profit untuk Ago datang dari selisih biaya program dan harga yang dibayarkan TVRI. Jumlahnya bisa belasan juta rupiah untuk satu tayangan saja. Belum lagi kalau program itu stripping alias ditayangkan setiap hari.

Dia juga dikenal aktif berkeliling ke direksi badan usaha milik negara atau pemerintah daerah, menawarkan kerja sama pembuatan program untuk TVRI. Kalau disetujui, Ago mengantongi sekian persen dari biaya produksi sebagai komisi pemasaran.

Belakangan, Ago juga masuk ke bisnis pengadaan peralatan penyiaran. Sumber Tempo bercerita bahwa Ago tengah merintis perusahaan teknologi penyiaran digital, yang menjual peralatan ke sejumlah stasiun televisi lokal. Seorang kepala stasiun TVRI di Kalimantan mengaku sempat didekati Ago soal pengadaan kamera.

n n n

KETIKA semua temuan itu disampaikan ke Marzuki Alie, wajah mantan Direktur PT Semen Baturaja ini tak tampak terkejut. Dia mengaku sudah pernah mendengar tuduhan ini dari beberapa pihak.

"Kalau soal iklan, itu memang harga khusus sesama lembaga pemerintah," katanya tenang. Dia memastikan iklan itu bukan kampanyenya untuk Konvensi Partai Demokrat. "Lihat saja, ada semua pemimpin DPR di sana," ujarnya.

Sedangkan soal sepak terjang Elprisdat dan Ago di TVRI, Marzuki punya jawaban sendiri. "Kalau terbukti menjual nama saya, laporkan ke polisi," ucapnya. Semua sepak terjang mereka, kata Marzuki, tak ada hubungannya dengan dia.

Marzuki juga membantah kecipratan duit program yang disunat dari anggaran TVRI. "Semua perusahaan saya tidak mengurusi proyek yang dananya bersumber dari APBN," ujarnya.

Setelah kucing-kucingan beberapa pekan, Ago pun akhirnya bersedia menemui Tempo, awal Februari lalu. Sayangnya, dia menolak wajahnya dipublikasikan. "Sebenarnya saya tak peduli kalian mau menulis apa," katanya dengan tajam di awal wawancara.

Menjawab semua pertanyaan Tempo dengan lugas selama lebih dari dua jam, Ago menolak semua tudingan tentang perannya di program Siap Siar. "Demi Allah, saya tidak terlibat," ujarnya seraya menjulurkan tangan mengajak bersalaman.

Hanya Elprisdat yang menolak ditemui Tempo. Surat permintaan wawancara majalah ini tidak dibalas. Pekan lalu, melalui Manajer Sekretariat Dewan Pengawas TVRI Fajriati, dia hanya menitipkan pesan pendek: "Saat ini belum ada perkembangan yang bisa kami sampaikan pada pers."


Tim Investigasi
Penanggung jawab: Wahyu Dhyatmika Pemimpin proyek: Sandy Indra Pratama Penyunting: Philipus Parera, Wahyu Dhyatmika Penulis: Sandy Indra Pratama, Agung Sedayu, Ahmad Nurhasim, Philipus Parera Penyumbang bahan: Sandy Indra Pratama, Agung Sedayu, Ahmad Nurhasim, Nurul Mahmuda, Philipus Parera, I Wayan Agus Purnomo Periset Foto: Nita Dian Desain: Djunaedi, Rizal Zulfadly Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus