Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH mengherankan sikap perusahaan tambang multinasional asal Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Lebih dari tiga puluh tahun mereka beroperasi di bumi Nusantara, mengeruk emas, tembaga, dan bahan mineral lain dengan margin keuntungan yang memuaskan. Sekarang, ketika diminta berinvestasi membangun smelter agar nilai tambah produk mereka naik berkali lipat, ada saja alasan mereka mengelak.
Pangkal soalnya masih seputar pemberlakuan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Setelah melalui lima tahun masa transisi, pada pekan kedua Januari lalu, pemerintah resmi melarang semua ekspor bahan tambang mentah. Anehnya, banyak perusahaan tambang—terutama Freeport dan Newmont—tampak tak percaya pemerintah Indonesia akhirnya benar-benar menjalankan kewajibannya, yakni melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan itu.
Mereka kelabakan, tak siap menghadapi pemerintah yang mendadak tegas. Sampai dua pekan lalu, bos-bos pertambangan ini masih kasak-kusuk, lobi kanan-kiri, mencari celah agar dikecualikan dari implementasi peraturan itu. Tak tanggung-tanggung, Presiden dan Kepala Eksekutif Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, Richard C. Adkerson, datang sendiri ke Jakarta untuk merayu sejumlah petinggi negeri ini.
Argumentasi mereka tak bergeser dari prinsip kesucian kontrak. Freeport berkeras bahwa kontrak karya mereka, yang diteken pada 1973 untuk jangka waktu 30 tahun, yang kemudian diperbarui untuk masa 30 tahun berikutnya pada 1991, bersifat lex specialis. Artinya, semua peraturan yang dibuat belakangan tak boleh mengutak-atik kesepakatan itu.
Semua pejabat, dari Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, sampai Menteri Koordinator Perekonomian, kompak menolak permintaan Freeport. Hanya jika perusahaan itu bersedia membangun smelter dan mengolah hasil tambang mereka di dalam negeri, negosiasi lebih lanjut bisa dibuka.
Menghadapi sikap keras itu, Freeport mempersiapkan dua jurus. Di dalam negeri, mereka mengancam menghentikan produksi. Di kancah internasional, mereka berencana mengadukan kasus ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Tak perlu jeri. Dua jurus itu lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Sesuai dengan laporan keuangan Freeport-McMoRan, tahun lalu PT Freeport Indonesia membukukan pendapatan total US$ 4,4 miliar, naik enam persen dibanding setahun sebelumnya. Keuntungan kasarnya pun naik 12 persen dibanding 2012, menjadi US$ 1,53 miliar.
Pengaduan ke Arbitrase pun tak pasti mendatangkan kemenangan. Pasalnya, Freeport menggugat pelaksanaan sebuah aturan yang sudah disahkan lima tahun lalu. Sejak diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Januari 2009, pasal yang kini diributkan itu sudah ada. Agak aneh jika mereka baru mengadu sekarang. Apalagi, dalam periode transisi menuju implementasi aturan ini, pemerintah sudah mengundang Freeport—dan sejumlah perusahaan tambang multinasional lain—untuk merundingkan kembali kontrak karya mereka. Semuanya tak menolak.
Walhasil, pemerintah tak perlu gentar menghadapi gertak sambal Freeport dan Newmont. Nilai investasi yang harus mereka kucurkan untuk membangun smelter sesungguhnya tak terlalu besar jika dibandingkan dengan keuntungan yang mereka nikmati selama ini. Sudah saatnya negeri ini mendapat porsi keuntungan yang lebih adil dari pengolahan kekayaan alamnya yang begitu berlimpah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo