Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jejaring Pungli di KBRI

LEBIH dari Rp 40 miliar dana pungutan liar pengurusan dokumen keimigrasian mengalir ke kantong para pejabat teras Kedutaan Besar RI di Malaysia. Bermula dari pengusutan dua tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi kini menyeret para petinggi korps diplomatik itu ke meja hijau.

Dua mantan konsul jenderal dan seorang bekas duta besar telah diadili. Dari persidangan dan setumpuk dokumen yang dimiliki tim investigasi Tempo, kasus ini tampaknya masih akan ”memakan korban”. Bidikan berikutnya mengarah ke mantan Kepala Polri dan bekas Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Rusdihardjo.

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALI datang, tiga kali Suwarno dikibuli. Saat itu, tiga tahun silam, sopir berusia 32 tahun ini mengurus perpanjangan masa berlaku paspornya di loket imigrasi kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia.

Kepada petugas loket, ia meminta paspor 48 halaman dengan masa kedaluwarsa lima tahun. ”Di daftar, jenis paspor itu ada,” ujar perantau asal Cilacap, Jawa Tengah, ini yakin. ”Tapi petugasnya bilang cuma ada paspor 24 halaman untuk tiga tahun.”

Sang petugas pun tak lupa mengatakan bahwa pengurusannya akan makan waktu sebulan. Keruan Suwarno keder. Sebagai sopir, dia harus selalu membawa kartu identitas diri yang asli ke mana-mana agar tidak ditangkap polisi. Belakangan dia baru ngeh, itu rupanya isyarat agar dia berpaling ke calo. ”Saya terpaksa bayar calo 15 ringgit,” ujarnya pasrah. Hasilnya cespleng. ”Dokumen siap dalam sehari.”

Tipu-tipu ketiga: soal tarif pengurusan paspor yang kelewat mahal. Modusnya, Kedutaan menerbitkan dua versi tarif pengurusan dokumen imigrasi: versi mahal dan murah. Tarif untuk paspor 24 halaman, misalnya, pada surat keputusan versi murah yang dikeluarkan Kedutaan dipatok hanya 30 ringgit atau Rp 75.000 (1 ringgit = Rp 2.500), tapi versi mahalnya lebih dari dua kali lipat, 65 ringgit (lihat infografis).

Nah, ketika dipungut bayaran di loket imigrasi, yang dijadikan acuan adalah SK versi mahal. Giliran menyetorkan hasil pungutan itu ke kas negara, Kedutaan Indonesia di Malaysia memakai SK versi murah.

Dengan model pungutan seperti ini, berarti setiap orang yang mengurus perpanjangan paspor, seperti halnya Suwarno, menyumbang 50 ringgit ke kantong pelaku pungli dan calo—35 ringgit adalah selisih tarif versi mahal dan versi murah, sedangkan 15 ringgit lagi untuk jalur ekspres. Praktek bejat inilah yang mulai dibongkar Departemen Luar Negeri dua tahun lalu.

Suwarno hanyalah satu dari dua jutaan tenaga kerja Indonesia di Malaysia yang harus membayar ekstra setiap kali mengurus dokumen imigrasi. Diduga, dengan mengutil dari hasil keringat buruh kebun sawit, pembantu rumah tangga, atau Suwarno—yang bergaji 24 ringgit per hari—inilah sejumlah anggota staf Kedutaan bisa hidup bermewah-mewah di sana.

Ambil contoh Arihken Tarigan. Saat menjadi Kepala Bidang Imigrasi hingga akhir 2005, ia mengoleksi dua mobil mewah di rumahnya di Kuala Lumpur: Toyota Alphard dan sedan Mercedes-Benz. Ia juga punya celengan pribadi di RHB Bank Berhad sebesar 589.278,64 ringgit atau sekitar Rp 1,47 miliar pada kurs saat itu.

Berkat kerja sama Komisi Pemberantasan Korupsi dan tim investigasi Departemen Luar Negeri, praktek kotor ini dapat dibongkar. Beberapa pelaku sudah mendekam di penjara: mantan Konsul Jenderal Penang Erick Hikmat Setiawan, mantan Kepala Subbidang Imigrasi Penang M. Khusnul Yakin Payopo, mantan Konsul Jenderal Johor Bahru Edy Makmur, dan mantan Konsul Jenderal Johor Bahru (almarhum) Maryadi Sukohadiwiryo.

Duta Besar RI untuk Malaysia 2000-2003, Hadi A. Wayarabi Alhadar, dan Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur pada periode yang sama, Suparba W. Amiarsa, kini juga duduk di kursi terdakwa pengadilan tindak pidana korupsi.

Dari berbagai dokumen yang dimiliki tim investigasi Tempo, plus sejumlah pengakuan yang terungkap di persidangan dan yang tertulis dalam berita acara pemeriksaan tim penyidik KPK, kasus ini tampaknya masih akan memakan korban. Sederet pejabat teras Kedutaan lain, kabarnya, juga sudah dibidik KPK. Ini lantaran praktek tarif ganda itu tidak hanya terjadi pada zaman Hadi dan Suparba, tapi terus berlangsung hingga setidaknya Mei 2005.

Itulah periode ketika Rusdihardjo menjadi duta besar dan Arihken Tarigan menjadi Kepala Bidang Imigrasi. Karena itu, sumber Tempo membisikkan, bekas orang nomor satu di Kepolisian RI ini dalam waktu dekat juga akan dijadikan tersangka. ”Sebelum tutup tahun,” ujarnya. Dan yang pasti, kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P., ”Penyidikan atas kasus ini jalan terus.”

l l l

TARIF ganda itu lahir pada pertengahan 1999, saat Duta Besar Muhammad Jacob Dasto (1995-1999) bersiap meninggalkan posnya di Kuala Lumpur. Pada suatu hari, Suparba W. Amiarsa muncul di ruang kerjanya.

Kepala Bidang Imigrasi itu meminta sang Duta Besar mengeluarkan acuan baru tarif pengurusan dokumen imigrasi. Alasan Suparba, harga lama tak sesuai lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak pada Departemen Kehakiman, yang akan berlaku 7 Agustus 1999.

Mulanya Dasto berkeberatan. Tapi akhirnya dia mengizinkan Suparba merancang SK Dubes tentang Biaya Pengurusan Jasa Keimigrasian yang baru. Hasilnya adalah SK Dubes RI Nomor 021/SK-DB/0799, yang dia tanda tangani pada 20 Juli 1999.

Yang kemudian jadi masalah, SK itu belakangan muncul dalam dua versi: mahal dan murah, dengan nomor surat, tanggal, dan perihal yang sama. Beberapa sumber bahkan mengatakan tarif ganda sebetulnya bukan hal baru di KBRI Kuala Lumpur. SK lama nomor 023/SK-DB/0698, Juni 1998, yang diterbitkan Dasto, konon juga punya dua versi. ”Sayang, dokumen dan bukti-bukti tentang itu sudah sulit ditemukan,” ujar seorang mantan petugas imigrasi di sana.

Dua pekan lalu, Tempo berusaha menemui Dasto di rumahnya di Cijantung, Jakarta Timur, untuk mengkonfirmasi semua informasi tersebut. Namun, menurut penjaga rumahnya, dia tengah berada di Surabaya. Meski begitu, dalam dokumen pengadilan, Dasto menolak dituduh terlibat dalam penerbitan SK ganda itu. Ia mengaku menandatangani SK nomor 021 itu rangkap delapan dan isinya sama semua.

Jika begitu, Suparbakah yang telah berlaku curang? Sayang, dia pun memilih irit kata. ”Saya sedang dalam proses pengadilan,” ujarnya beralasan seusai sidang di pengadilan tindak pidana korupsi tiga pekan lalu. Tapi ia memberi isyarat. ”Saya cuma bawahan. Dia (Dasto) duta besarnya.”

Versi Turja bin Sugirman lain lagi. Menurut anggota staf lokal KBRI yang mengetik konsep SK itu, SK dengan versi tarif mahal sesungguhnya baru ditandatangani atas nama Dasto belakangan. Sedangkan konsep SK versi murah selesai pada 20 Juli.

Tapi, delapan hari kemudian, Dedi Nasidy, anggota staf administrasi, datang lagi kepadanya meminta agar SK yang sudah ditandatangani Dasto itu diubah. Daftar harganya sudah dicoret-coret dengan pensil oleh Suparba. Maka jadilah SK versi mahal. Apakah Dasto yang kemudian menandatanganinya atau ada orang lain yang memalsukan tanda tangan Dasto, Turja tak tahu.

Yang jelas, sejak penerbitan SK itu, pejabat KBRI menumpuk ringgit untuk kantong pribadi dari selisih tarif. Praktek ini berlangsung baik di KBRI Kuala Lumpur maupun di Konsulat Jenderal Penang, Johor Bahru, dan Kuching. Ini di luar pungutan tak resmi seperti pembuatan surat ”lucut” atau surat pelepasan warga negara bagi tenaga kerja Indonesia yang masuk secara ilegal tapi mendapatkan status penduduk tetap dari pemerintah Malaysia.

Ada juga fasilitas ”ekspres”, yaitu proses kilat pengurusan dokumen. Untuk memperlancar urusan, petugas loket menggunakan berbagai kode. Misalnya, tulisan ”KUP”—singkatan dari kupluk—merupakan kode bahwa si pemohon ingin dokumennya selesai dalam sehari dan untuk itu bersedia membayar bea tambahan 100 ringgit atau sekitar Rp 250 ribu.

Praktek busuk ini bukannya tak pernah dipersoalkan. Suherman Obon, Kuasa Ad Interim di KBRI Kuala Lumpur sejak Juli 2003—sebelum Rusdihardjo tiba—mengaku pernah menegur Arihken gara-gara ini. ”Ada yang mengadu terkena pungli saat mengurus dokumen imigrasi,” ujar Suherman kepada Tempo. Ketika itu, Arihken berjanji akan menertibkan. Tapi, nyatanya, pungli jalan terus.

Ada sebab lain yang membuat praktek ini langgeng. Staf imigrasi KBRI bercerita, jika ada petugas loket yang enggan meminta pungutan-pungutan tak resmi itu, mereka pasti mendapat teguran. Arihken, menurut mereka, paling galak. Di samping suka membentak, dia sering mengancam akan memecat anggota staf yang mbalelo.

Toh, busuk itu tercium juga. Awalnya, pada 2 Juli 2005, ada surat tanpa nama pengirim mampir ke KBRI. Surat itu mempertanyakan biaya pengurusan paspor hilang yang berbeda-beda: antara 200 ringgit (Rp 500 ribu) dan 500 ringgit (Rp 1,25 juta), dan menuding petugas loket bernama Toorja sebagai pelakunya.

Siapa Toorja? Namanya juga surat kaleng, tak ada anggota staf lokal imigrasi KBRI yang bernama Toorja. Tapi ada yang jadi korban: Tamrin Roja bin Suryo, yang dipecat secara tidak hormat dari Kedutaan. ”Mungkin karena nama petugas loket yang dilaporkan itu, Toorja, mirip nama saya,” ujar Roja di rumahnya di Tegal, Jawa Tengah, Kamis dua pekan lalu.

Roja masih ingat saat-saat pemecatan itu. Kala itu, 18 Oktober 2005, ia baru selesai melakukan salat zuhur. Madun, office boy KBRI, tiba-tiba datang memeluknya. Sambil menangis, Madun menyerahkan selembar surat tanpa amplop dari Wakil Duta Besar A.M. Rahman Fair.

Rupanya, dia dipecat dengan tidak hormat. ”Saya lemas dan bingung,” ujar Roja. Surat itu tak menyebut alasan pemecatan dirinya yang begitu tiba-tiba. ”Saya kira berkaitan dengan surat kaleng itu.” Padahal, menurut Roja, ia hanya melakukan perintah atasan, Kepala Bidang Imigrasi. Kabar lain menyebutkan Roja didepak karena dicurigai membongkar isi perut praktek busuk di KBRI kepada tim pemeriksa Departemen Luar Negeri.

Sebelumnya, di Jakarta, KPK juga telah mendapat bisikan dari koleganya, Badan Pencegah Rasuah Malaysia. Kata sang mitra, ada transfer uang dalam jumlah besar dari pejabat di Konsulat Penang. Komisi kemudian meneruskan informasi ini kepada Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda.

Begitu mendapatkan informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang membenarkan adanya transfer sekitar Rp 13,8 miliar itu, Hassan segera membentuk tim investigasi internal. Dalam tiga hari, 26-29 Oktober 2005, tim pimpinan Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri Slamet Santoso Mustafa berhasil membongkar kebusukan yang bertahun-tahun diplester rapat itu.

Mereka juga menemukan, Roja dan anggota staf imigrasi lain di KBRI ternyata cuma pion. Pemeran utamanya adalah para pejabat tinggi perwakilan RI di Malaysia, baik di Penang, Johor Bahru, Kucing, maupun Kuala Lumpur. Hitungan Tempo, di KBRI saja sejak 1999 pungli mencapai 16,6 juta ringgit atau Rp 41,5 miliar.

l l l

KUNCI terbongkarnya tipu-daya imigrasi di KBRI ini adalah dokumen milik Tri Widyowati Soemantri, anggota staf lokal yang sejak Oktober 1999 hingga tim investigasi Departemen Luar Negeri tiba di Kuala Lumpur bekerja sebagai petugas pemungut biaya keimigrasian. Kepada tim investigasi, dia mengaku pungli itu telah terjadi sejak September 1999. Dialah yang menyetor hasil pungutan itu kepada Suparba, lalu sejak Juni 2003 kepada Arihken.

Semua aliran uang batil dia catat dalam tujuh buku dan sepuluh lembar kertas. Di buku itulah bukti keterlibatan Suparba dan Arihken tampak. Soalnya, setiap kali menerima setoran Tri, keduanya membubuhkan paraf. Sesungguhnya bukti itu nyaris lenyap. ”Pak Arihken pernah minta saya memusnahkan catatan itu,” cerita Tri kepada penyidik dari KPK, seperti terungkap dalam pemeriksaan. Sebab, ”Kata Arihken, itu bisa menjerumuskan dirinya.”

Permintaan ”bumi hangus” itu terjadi setelah Arihken menerima kabar tentang adanya tim investigasi Departemen Luar Negeri. Untunglah Tri cergas. Diam-diam dia memboyong bukti-bukti berharga itu ke rumahnya.

Tapi ada juga dokumen yang tak terselamatkan. Sebelumnya, pegawai imigrasi, Sri Edith Akilie, sudah menghancurkan buku register permohonan visa tahun 1998-2002 atas perintah Arihken. Ketika itu, Arihken beralasan tempat penyimpanan arsip sudah penuh.

Dari catatan Tri diketahui selisih biaya imigrasi yang masuk kantong Suparba 5,9 juta ringgit atau Rp 14,8 miliar. Arihken menerima sekitar 8,1 juta ringgit. Jika ditambah dengan pungutan lain—pengurusan percepatan visa dan paspor serta bea pengganti nama—jumlahnya menjadi 10,7 juta ringgit atau Rp 26,7 miliar.

Tiga pekan lalu, Tempo mencari Tri di KBRI, Jalan Tun Razak, Kuala Lumpur. Namun dia menolak bertemu. ”Sudah saya jelaskan semua kepada penyidik,” ujarnya melalui salah seorang anggota staf Kedutaan.

Arihken juga tak sudi ditemui Tempo. Tim investigasi majalah ini tak pernah berhasil menemuinya. Rumahnya yang jembar di Jati Baru, Bekasi, selalu kosong. Pernah sekali Tempo berhasil menghubungi telepon rumahnya, tapi seorang wanita menjawab pendek, ”Salah sambung.” Padahal nomor itu diperoleh dari operator 108 Telkom berdasarkan alamat rumah Arihken.

Para pegawainya di Direktorat Imigrasi juga mengaku kehilangan jejak Kepala Subdirektorat Kerja Sama Luar Negeri itu. ”Sudah hampir sebulan ini, setelah menjadi saksi di pengadilan, Bapak tak masuk kantor,” kata mereka. Untunglah Arihken sudah banyak ”bernyanyi”. Di pengadilan korupsi, Oktober lalu, dia mengaku duta besar dan anggota staf KBRI lain mendapat jatah darinya. Dia juga mengatakan telah memberi tahu Rusdihardjo—sesaat setelah diangkat menjadi duta besar—soal keberadaan dua versi tarif bea imigrasi.

Tapi Rusdihardjo membiarkan, seolah mengizinkan Arihken memanfaatkan kedua SK tersebut seperti para pejabat sebelumnya. Ketika hal ini ditanyakan, Rusdihardjo tertawa. ”Omong kosong,” ujarnya. ”Kalau saya membiarkan sesuatu yang palsu, apalagi ada uangnya, saya sudah gila.”

Ini bukan pertama kalinya Arihken menyeret atasannya. Sebelumnya, ia pun mengatakan telah memberi Suherman 10-15 ribu ringgit saat menjadi wakil duta besar dan 30-45 ribu ringgit saat Suherman menjadi penjabat sementara duta besar. Tapi, kata Suherman, ia hanya menerima 20 ribu ringgit dan uang itu sudah dikembalikan kepada penyidik. ”Dulu saya kira itu uang representasi,” cerita Suherman. ”Saat kasus ini terungkap pada 2005, baru saya tahu itu hasil pungli.”

Bisa saja pengakuan Arihken kepada KPK tentang Rusdihardjo cuma isapan jempol. Soalnya, tak ada saksi, apalagi bukti. Meski begitu, informasi bahwa Rusdihardjo mendapat bagian sudah lama santer terdengar.

Slamet Santoso, misalnya, pernah menegaskan hal ini kepada Tempo, Desember dua tahun lalu. ”Ini bukan indikasi lagi,” ujarnya. ”Sudah betul temuan saya.” Cuma, dia belum bisa menyebutkan jumlah yang diterima mantan Kepala Polri itu. ”Masih harus diproses secara akurat,” katanya.

Sayang, kali ini Slamet yang kini menjabat Duta Besar Indonesia untuk Spanyol menolak memberikan komentar. ”Semua sudah saya sampaikan ke media,” katanya melalui seorang anggota staf Biro Penerangan KBRI Madrid bernama Alen.

Dalam berkas perkara hasil pemeriksaan KPK, ihwal keterlibatan Rusdihardjo kian gamblang terlihat. Empat anggota tim investigasi Departemen Luar Negeri, Jonas Lumban Tobing, Ace Sukarna, Hindar Yudo, dan Amat Utaryo, yang diperiksa sebagai saksi, sama-sama mengiyakan bahwa Rusdihardjo ikut menikmati pungli imigrasi. ”Saudara Rusdihardjo menerima secara teratur setiap bulan,” kata Ace kepada penyidik KPK. ”Besarnya 30 ribu ringgit sampai dengan 40 ribu ringgit.”

Menurut sumber Tempo, Rusdihardjo pun tak menyangkal temuan tim investigasi Departemen Luar Negeri. Hanya, dalam pertemuan di ruang kerja Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri Sudjadnan Parnohadingrat pada 24 November 2005, dia beralasan bahwa uang dari Arihken itu dikiranya merupakan fee dari agen dan bukan hasil pungli. Total dana yang dia terima 317.700 ringgit (Rp 794 juta).

Di tempat itu pula Rusdihardjo menjelaskan bahwa uang tersebut sudah digunakannya buat mendatangkan 14 orang petugas keamanan dari Jakarta untuk membantu pengamanan KBRI saat Pemilu 2004. Sisanya, 55.651 ringgit, dia kembalikan ke Departemen Luar Negeri.

Berbagai fakta inilah yang kemudian dilaporkan Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri kepada Menteri Luar Negeri melalui nota rahasia nomor 152/PW/XI/2005/10/02 tertanggal 26 November 2005. Dalam nota itu antara lain disebutkan bahwa Rusdihardjo berjanji akan menyerahkan sisa uang yang dia terima dari Arihken bila Menteri Luar Negeri menolak pertanggungjawabannya.

Tak jelas bagaimana nasib pertanggungjawaban Rusdihardjo. Menteri, Sekretaris Jenderal, dan Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri tampaknya sepakat mengunci mulut. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Kristiarto Suryo Legowo, saat ditemui di kantor departemen itu di Pejambon, Jakarta, Jumat dua pekan lalu, pun hanya berujar pendek, ”Saya enggak mau ngomong soal itu.”

Sikap serupa diambil Rusdihardjo. ”Saya tak mau menyinggung materi perkara,” ujarnya dalam wawancara di rumahnya yang permai di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dan ketika di ujung pertemuan itu Tempo mencoba mengkonfirmasi soal uang 300 ribuan ringgit yang dia terima dari Arihken, ia hanya berujar enteng, ”Itu kan menurut catatannya (Arihken). Dia juga bisa menulis 3 juta ringgit, bukan?”

Semua memang baru akan terang-benderang jika benar KPK memutus kata akhir status sang Jenderal di pengujung tahun ini.


Dari Penang ke Kuala Lumpur

1999 7 Mei Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 1999 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak diberlakukan.

18 Juli Konsep surat keputusan (SK) ganda nomor 021/SK-DB/0799 tentang biaya pengurusan jasa keimigrasian versi murah dibuat.

20 Juli Duta Besar RI untuk Malaysia, Muhammad Jacob Dasto, menandatangani SK ganda versi murah. SK ini menggantikan SK Nomor 023/SK-DB/0698 tanggal 1 Juni 1998.

28 Juli Pengetikan SK ganda versi mahal.

1 September SK ganda (versi murah dan mahal) mulai diberlakukan.

2000 7 April Hadi A. Wayarabi Alhadar diangkat menjadi Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh untuk Malaysia.

2003 Juni Hadi A. Wayarabi berhenti sebagai Duta Besar Malaysia. Arihken Tarigan menggantikan Suparba Amiarsa sebagai Kepala Bidang Imigrasi.

20 November Rusdihardjo dilantik menjadi Duta Besar Malaysia menggantikan Hadi A. Wayarabi.

2005 Pertengahan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan transfer uang yang mencurigakan dari rekening pegawai Konsulat Jenderal RI di Penang. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengirim tim untuk menyelidiki semua perwakilan RI di Malaysia.

8 Juni Penggunaan tarif ganda dihentikan. Selanjutnya digunakan tarif versi murah.

26 Oktober Tim Inspektur Jenderal Deplu diketuai Slamet S. Mustafa melakukan pemeriksaan di KBRI Kuala Lumpur, menindaklanjuti temuan korupsi di Konsulat Jenderal Penang.

28 Oktober Tim Inspektur Jenderal menyita tujuh buku catatan tentang pungli pengurusan dokumen keimigrasian.

1 November Melalui surat rahasia, Inspektur Jenderal melaporkan kasus pungutan liar di KBRI ke Menlu.

24 November Duta Besar Rusdihardjo dan Konsul Jenderal RI di Penang, Erick Hikmat Setiawan, menjelaskan soal pungli kepada tim Panel Deplu.

2006 1 Juni Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa Rusdihardjo.

29 September Mantan Kepala Konsulat Jenderal RI di Penang, Erick Hikmat Setiawan, dihukum penjara 20 bulan.

2 Oktober Kepala Subbidang Imigrasi Konsulat Jenderal RI di Penang, M. Khusnul Yakin Payopo, divonis penjara dua tahun.

2007 8 Mei Mantan Konsul Jenderal RI di Johor Bahru, Edy Makmur, divonis penjara dua tahun.

27 Juni Mantan duta besar Hadi A. Wayarabi Alhadar dan mantan Kepala Bidang Imigrasi Suparba W. Amiarsa resmi ditahan KPK.

19 September Terdakwa Hadi A. Wayarabi dan Suparba Amiarsa mulai disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus