Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENUTUPAN ruas jalan tol Ulujami-Bumi Serpong Damai, Jakarta, oleh pengunjuk rasa, yang terjadi berkali-kali, benar-benar merugikan pengguna jalan tol. Para pemakai jalan tol, yang menurut Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol dijamin haknya mendapat pelayanan minimal, hanya bisa mengeluh atau mengumpat. Kemacetan arus lalu lintas yang mencapai tiga kilometer akibat pemblokiran itu tidak bisa ditoleransi.
Para pengunjuk rasa yang merupakan ahli waris Isa bin Baman berdemo karena tanah mereka yang sudah “diselimuti” beton tersebut belum dibayar Jasa Marga. Mereka menolak jika tanah seluas 1.727 meter persegi yang mereka klaim itu dinyatakan sebagai milik Dinas Kebersihan DKI Jakarta seperti disebut Jasa Marga. Para pengunjuk rasa mengancam, jika tetap tidak dibayar, mereka akan menutup ruas jalan tol dengan cara mengecor jalan itu.
Bukan sekali ini saja Jasa Marga, selaku operator jalan tol, berseteru dengan warga yang mengaku tanahnya belum dibayar. Di ruas jalan tol Kampung Rambutan-Cikunir, Bekasi, misalnya, kerap terlihat spanduk-spanduk yang dipasang sejumlah orang di pinggir jalan tol. Isinya: tuntutan agar Jasa Marga membayar ganti rugi tanah mereka yang sudah menjadi jalan tol. Berbeda dengan pendemo di jalan tol Ulujami, warga pendemo di ruas ini tak sampai “turun ke jalan tol”.
Mereka cuma membentangkan spanduk tuntutan ganti rugi. Padahal, sekecil apa pun unjuk rasa yang dilakukan warga, Jasa Marga harus mencari solusinya. Kita tahu “sejarah” pelepasan tanah warga untuk pembangunan jalan tol, khususnya di zaman Orde Baru, banyak disertai “hujan air mata”. Para calo atau makelar tanah bergandeng tangan dengan oknum aparat pemerintahan, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari proses ini.
Para calo tanah melakukan apa saja, bekerja sama dengan oknum instansi terkait--dari tingkat kelurahan hingga provinsi--menerbitkan dokumen kepemilikan tanah palsu. Dalam proses penentuan ganti rugi yang seharusnya dicapai dengan kesepakatan, warga juga kerap disingkirkan. Para mafia tanahlah yang berperan. Warga pun terkapar jadi korban. Mereka benar-benar hanya mendapat “ganti rugi”, bukan “ganti untung”.
Janganlah sampai terjadi warga lalu menjadi pecundang, tanahnya lenyap tanpa ganti rugi memadai. Wajar jika warga yang kecewa lantas menumpahkan kekesalannya dengan berdemo. Namun berunjuk rasa dengan turun ke jalan tol, memblokir jalan tol dengan cara apa pun, merupakan tindakan keliru. Tindakan warga seperti ini, di satu sisi, bisa membuat investor yang akan menanamkan dananya di jalan tol berpikir dua kali.
Warga yang kecewa terhadap Jasa Marga tidak dilarang berunjuk rasa. Selama diperlakukan tidak adil, mereka boleh menuntut haknya. Di sini, BUMN itu tak bisa berdiam diri dengan berdalih telah menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan dan menyatakan itu bukan lagi urusannya. Jasa Marga harus turun tangan dan membuka “ruang diskusi”, membicarakan soal ini kembali, lalu mencari solusinya yang terbaik. Pengadilan bukan satu-satunya tempat untuk menyelesaikan sengketa.
Jikapun warga tak juga puas, jalan tol bukanlah tempatnya. Mereka bisa berunjuk rasa di depan kantor PT Jasa Marga. Tindakan berunjuk rasa di jalan tol tidak hanya melanggar undang-undang, tapi juga membahayakan nyawa mereka, juga pengguna jalan tol. Jika mereka tetap ngotot berunjuk rasa di jalan bebas hambatan, memalang, atau mengecor jalan, aparat kepolisian harus bertindak tegas. Kita tak bisa menoleransi tindakan yang mengarah ke perbuatan anarkistis ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo