Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI itu sigap menyambut Tempo, yang baru turun dari taksi. “Mau urus SAP?” ia bertanya, dengan logat Malaysia. Masih bingung dengan istilah itu, Tempo langsung digiring ke sebuah kios di lapangan parkir di samping kantor Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur.
Lelaki berkulit gelap itu menawarkan “bantuan” menyediakan kelengkapan dokumen, seperti fotokopi dan pembuatan pasfoto. Biaya yang dikutip lumayan tinggi, 25 ringgit—untuk lima lembar pasfoto ukuran paspor. “Sampai di dalam, Encik juga akan dimintai fotokopi dan pasfoto,” katanya merayu.
Sedikit berbasa-basi, Tempo menghindari calo jasa ini. Mereka mengincar pengunjung KBRI yang akan mengurus perubahan SAP atawa surat akuan pengenalan. Inilah surat identitas sebentuk paspor yang diberikan pemerintah Malaysia kepada pendatang yang telah menetap di negeri itu. Puluhan ribu warga Indonesia memegang “paspor” jenis ini. Baru-baru ini pemerintah Indonesia menaturalisasi status kewarganegaraan mereka dengan paspor hijau.
Hampir setiap pengunjung yang bergelagat punya urusan dengan Kedutaan menjadi incaran calo. Meski akhir-akhir ini pihak KBRI mengharamkan aksi percaloan, sejumlah mantan calo masih mencoba mengais rezeki di sana. Ada perubahan suasana, memang. Tiga tahun lalu, sebagian pemohon dokumen memilih mengurus lewat agency. Sebagian lagi melalui calo individu. “Calo ini biasanya punya hubungan pribadi dengan staf imigrasi,” kata Khaerudin Harahap, mantan koordinator agency.
Kini, setiap hari Kedutaan dijejali ratusan warga yang antre mengurus dokumen. Tak jarang, Jalan Tun Razak di depan KBRI bahkan macet oleh antrean kendaraan. Sejak terbongkarnya kasus pungutan liar dengan dua surat keputusan ganda pada 2005 lalu, Departemen Luar Negeri menerapkan kebijakan bahwa pengurusan dokumen tidak boleh melibatkan pihak ketiga. Pemohon dokumen harus datang sendiri.
Dua pekan lalu, misalnya, antrean di KBRI Kuala Lumpur meliputi 600-an pemohon dengan delapan loket. Mereka yang antre dari pagi baru mendapatkan paspor pada siang atau petang harinya. “Sekarang memang harus datang sendiri,” ujar Muhamad Hadori, pemohon perpanjangan paspor yang ikut antre siang itu.
“Antrean ini bisa hingga pukul sepuluh malam,” kata Eka A. Suripto, Sekretaris I Penerangan dan Humas KBRI di Malaysia. Soalnya, petugas yang melayani terbatas. Tapi, kata Eka, keadaan ini masih lebih baik karena pengurusan bisa selesai dalam satu hari. Dulu, pengurusan dokumen bisa sampai 40 hari. Sebab, KBRI juga disibukkan pelayanan naturalisasi bagi warga Indonesia pemegang parpor merah atau surat akuan pengenalan.
Jumlah warga yang mengurus naturalisasi sehari mencapai 800 orang. “Bahkan pernah mencapai seribu orang,” ujar Eka. Setelah ada bantuan tenaga dari Jakarta, dan paspor yang semula ditulis tangan telah menggunakan mesin cetak manual, kecepatan waktu pengurusan meningkat. Dari 40 hari menjadi 30 hari, kemudian seminggu, dan sekarang satu hari.
Setelah gonjang-ganjing di KBRI ini, menurut Eka, Kedutaan sedang menata kembali sistem pelayanan. Kedutaan juga mengambil tindakan tegas, termasuk memberhentikan lima anggota staf lokal yang tidak cakap.
Pengetatan manajemen Kedutaan memang mulai dirasakan oleh beberapa anggota staf lokal. Turja Sugirman, misalnya, mengeluhkan larangan pasangan suami-istri berada dalam lingkungan KBRI. “Terpaksa istri yang mengalah,” katanya. Keluhan yang sama dirasakan Jamal, anggota staf di bagian atase kebudayaan. “Padahal istri saya cuma guru, tidak di kantor KBRI,” katanya.
Toh, setelah berbagai pembenahan, bukan berarti pelayanan dokumen di KBRI bebas calo. Satu sumber yang rutin berurusan dengan KBRI membocorkan “modus baru”. Sejak KBRI memperketat sepak terjang para calo, mereka membawa dokumen pengurusan itu ke rumah petugas imigrasi. Transaksi juga berlangsung di sana, dan para calo mengambil dokumen yang sudah jadi ke rumah anggota staf KBRI. “Dengan begitu, aktivitas percaloan luput dari pantauan,” kata si sumber.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo