Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jinak Total di Juleha

Penjualan satwa langka di media sosial kian marak. Modusnya mirip perdagangan narkotik.

19 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI PINGGIR Jalan Asia Afrika, Jakarta Pusat, kardus air mineral berpindah tangan dari pengemudi ojek online kepada Nurul Alfi, 25 tahun, Senin siang dua pekan lalu. Dari bagian atas kardus yang tersobek sedikit itu, terlihat makhluk mungil bermantel bulu kecokelatan menatap dengan mata sendu: kukang Jawa.

Sekitar sejam menempuh perjalanan 20 kilometer bersama abang ojek online, hewan nokturnal atau beraktivitas pada malam hari itu lalu menyembunyikan kepalanya di antara lutut. "Dijemputnya di Kalideres, Jakarta Barat," kata Nurul kepada Tempo yang menyaksikan transaksi itu.

Bersama 235 spesies lain, kukang masuk daftar satwa berstatus dilindungi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Kecuali merupakan turunan kedua atau cucu dari indukan, hewan-hewan tersebut tak boleh diperjualbelikan. Itu pun harus hasil lembaga penangkaran yang mengantongi izin dari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Nurul, yang bekerja di organisasi penyayang binatang, sengaja membeli kukang itu seharga Rp 500 ribu setelah menemukan iklan penjualan di Facebook. Prosesnya tak sampai sepekan, dari menanyakan kondisi hewan hingga bersepakat dengan penjual. Kukang itu akan diserahkannya ke lembaga penyelamat satwa. Sebelumnya, Nurul membeli owa Jawa, juga melalui Facebook.

Dulu marak di Pasar Jatinegara dan Pasar Pramuka, Jakarta Timur, habitat penjualan fauna langka kini beralih ke media sosial dan toko online. Ketua Protection of Forest and Fauna atau Profauna, Rosek Nursahid, mengatakan lembaganya mencatat tahun ini ada lebih dari 5.000 hewan langka diperdagangkan melalui Facebook saja. Pada 2014, jumlahnya 3.640 satwa. "Semakin meningkat dari tahun ke tahun," ujar Rosek.

Kepala Subdirektorat I Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Adi Karya Tobing membenarkan kondisi itu. Tahun ini polisi mengungkap 20 kasus penjualan satwa melalui dunia maya.

SEJAK awal Oktober lalu, Tempo menelusuri perdagangan satwa langka di media sosial dan toko online. Tak susah mencari iklannya. Di Facebook, cukup mengetik nama satwa langka di kolom pencarian, sederet posting iklan langsung muncul. Termasuk cenderawasih, yang bersama sepuluh hewan lain, seperti owa Jawa dan orang utan, harus mendapat izin dari presiden supaya bisa dipelihara.

Para penjual juga memanfaatkan berbagai grup di Facebook. Salah satunya grup "Jual Lelang Hewan" alias""Juleha", yang memiliki anggota lebih dari 47 ribu akun. Ada pula grup tertutup, seperti "Exotic Animals", yang dibikin pada 7 September lalu dan diikuti oleh lebih dari 3.500 akun.

Tempo, yang menelusup dalam dua grup tersebut, menyaksikan iklan satwa langka dari siamang, berbagai jenis elang, bayi owa Jawa, hingga buaya muara sepanjang lebih dari satu meter. Iklan itu juga mempromosikan kelebihan hewan dengan istilah seperti "jitot" yang berarti jinak total atau "gacor" untuk burung yang rajin berkicau.

Tidak jelas benar bagaimana para penjual itu mendapatkan berbagai spesies yang jumlahnya menipis tersebut. Jangankan asalnya, untuk identitas pun para penjual satwa langka di Juleha dan Exotic Animals menutup rapat-rapat. Mereka menggunakan akun palsu dan hanya melayani tanya-jawab melalui pesan pendek, WhatsApp, atau BlackBerry Messenger. "Supaya identitas mereka tidak terdeteksi," kata Direktur Investigasi Scorpion, lembaga pemerhati hewan langka, Marison Guciano, yang mengamati penjualan satwa melalui media online.

Memang, jika terciduk, penjual hewan langka- juga bagian tubuh satwa dilindungi- bisa dijerat pidana kurungan sampai 5 tahun dan denda hingga Rp 100 juta. Itulah sebabnya, para penjual menolak transaksi cash on delivery (COD) atau bayar di tempat. Biasanya mereka mengirim binatang melalui jasa pengantar setelah pembeli mentransfer pembayaran.

Cara lain, penjual memanfaatkan rekening bersama alias rekber yang ada di grup. Rekening milik orang itu berfungsi menampung duit pembeli, lalu mentransfernya kepada penjual setelah satwa diterima. Dihubungi lewat telepon, admin Juleha yang juga mengelola jasa rekber, Shindu Yogaswara alias Alit, mengaku mendapat Rp 25 ribu untuk setiap transaksi di atas Rp 3 juta. Dia menyatakan tak mengetahui jenis satwa yang diperjualbelikan. "Saya hanya penyedia jasa," kata Alit berkelit.

Tersamarnya identitas penjual dirasakan Nurul Alfi saat membeli kukang Jawa. Si penjual meminta Nurul mentransfer uang ke rekening seorang perempuan. "Padahal nama yang jual dan foto profilnya jelas laki-laki," ujarnya. Dia menaksir usia penjual kukang itu masih belasan tahun. Pengemudi ojek online yang mengantar-jemput kukang pun membenarkan. "Sepertinya masih sekolah," katanya.

Berhadapan dengan bocah-bocah penjual hewan langka pernah dialami oleh Benfica, Ketua Jakarta Animal Aid Network. Pada Mei lalu, dia bertemu dengan seorang penjual yang tinggal di kawasan Pancoran, Jakarta. "Ternyata dia masih SMP," ujar Benfica. Tak tega, dia batal menyerahkan anak itu kepada polisi.

Kepala Subdirektorat I Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Komisaris Besar Adi Karya Tobing mengatakan modus penjualan satwa itu meniru penjualan narkotik. "Bandar menitipkan hewan, anak-anak menjualnya," ucap Adi Karya. Setelah ditangkap pun, kata dia, penjual menolak menyebutkan identitas bandarnya. "Putus begitu saja," ujar Adi.

TAK hanya di Facebook, hewan yang terancam punah juga dijual di toko online, seperti Tokopedia. Pada pertengahan Oktober lalu, Tempo menemukan sejumlah akun menjual jalak Bali seharga Rp 3,5-5 juta lengkap dengan embel-embel bersertifikat. Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat Sustyo Iriyono meyakini sertifikat itu abal-abal meski sudah ada penangkaran khusus. "Pasar jalak Bali itu terbatas. Jumlahnya masih kurang untuk diperjualbelikan secara bebas," katanya.

Sustyo mengklaim sudah mengirimkan surat ke sejumlah media sosial dan toko online agar memblokir akun penjual satwa langka. Tapi tak semuanya dituruti. Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indra Exploitasia Semiawan, mengatakan selama sebulan ini lembaganya sudah meminta Facebook menghapus 107 posting berisi jual-beli satwa langka. "Yang dihapus baru 10 persen," ujarnya.

Menanggapi penjualan satwa langka melalui situsnya, Chief Executive Officer Tokopedia William Tanuwidjaja berjanji memblokir akun-akun pengiklannya. "Kami tegas melarang penjualan satwa ilegal. Kami punya tim yang secara rutin memeriksa konten-konten agar tak menyalahi aturan," katanya. Facebook juga menyatakan akan menghapus materi yang memperdagangkan hewan langka. "Kami akan menghapusnya ketika mendapat laporan," ujar perwakilan Facebook.

Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Noor Iza, mengatakan pemblokiran situs penjual hewan langka sebenarnya bisa dilakukan dengan cepat jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyampaikan data. "Sampai sekarang datanya belum kami terima," kata Iza. Kontras dengan penjualan satwa langka yang dalam sekejap bisa diiklankan di media online, Indra Exploitasia Semiawan berkilah lembaganya masih mengidentifikasi situs-situs tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus