Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Kayu Haram dari Jantung Kalimantan

Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah---salah satu kawasan hutan konservasi yang paling luas di Indonesia---terancam punah. Jutaan kubik kayu langka dicuri dari situ dan diperdagangkan secara ilegal. Volume perdagangan kayu-kayu tersebut mencapai Rp 70 miliar lebih per tahun. Bisnis haram ini berbiak secepat penyakit menular, sekaligus melahirkan seorang ”raja lokal” yang mampu membuat gemetar penebang liar hingga pejabat tertinggi di provinsi itu. "Raja lokal" itu bernama Abdul Rasyid, seorang anggota MPR dari Fraksi Utusan Daerah.

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jari manis wanita muda itu sudah sulit dipasangi cincin. Ruas jari itu cacat, melengkung ke atas saban kali telapaknya ditelungkupkan di atas meja. Di ruang rapat TEMPO dua pekan silam, Faith Doherty, penyelidik senior dari Environmental Investigation Agency, sebuah biro investigasi lingkungan yang bermarkas di London, bercerita bagaimana dia memperoleh cacat itu. Di lantai dua kantor pusat PT Tanjung Lingga Group, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dua tahun silam, dia disiksa. Doherty menyebut dua nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu: Sugianto dan Abdul Rasyid. Sebelum Doherty, datang berkunjung ke TEMPO seorang pria dengan empat jari tangan kirinya terpotong, menyisakan hanya jempol yang tak lagi utuh. Dialah Abi Kusno Nachran, wartawan Lintas Khatulistiwa—sebuah tabloid lingkungan. Jari di tangan kanannya utuh, tapi sekujur lengannya menyimpan bekas luka. Abi menyebut dua nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu: Sugianto dan Abdul Rasyid. Ini bukan hanya kisah tentang jari yang terpenggal seperti dalam film kekerasan ala mafia. Baik Doherty maupun Abi berkisah tentang betapa besar risiko mereka yang ingin menyelamatkan hutan Indonesia dari ambang kepunahan akibat pencurian kayu liar besar-besaran. Abdul Rasyid bukan seorang ”don” seperti dalam film The Godfather—setidaknya dalam kehidupan sosial dan politiknya yang terhormat. Dia duduk di Majelis Permusyaratan Rakyat dalam Fraksi Utusan Daerah, mewakili Provinsi Kalimantan Tengah. Di kota kelahirannya, Pangkalan Bun, orang mengenalnya sebagai anggota Partai Golkar yang terpandang. Tak hanya itu. Berusia 44 tahun, dia juga seorang pengusaha sukses. Perusahaan miliknya, Tanjung Lingga Group, menjulurkan guritanya hingga Surabaya, Jakarta, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Usahanya meliputi bisnis pengusahaan hutan ke perkebunan, konstruksi, pelayaran, hingga perbankan. Rasyid juga dikenal sebagai orang yang murah hati membuka peti kasnya untuk urusan derma. Dia mendirikan panti jompo, menyantuni universitas di Palangkaraya, mendanai beberapa koran lokal, bahkan mempercantik kantor-kantor polisi setempat. ”Dia penyumbang terbesar untuk Partai Golkar di Kalimantan,” kata salah seorang kawan dekatnya kepada TEMPO. Adapun Sugianto, 28 tahun, adalah keponakan Rasyid yang kini menjadi Presiden Direktur Tanjung Lingga. Dia orang kepercayaan Rasyid. Dermawan. Terhomat. Sukses. Tapi mengapa nama Rasyid muncul dalam laporan-laporan resmi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat tentang pencurian kayu di Taman Nasional Tanjung Puting yang dilindungi? Mengapa dia dijuluki ”Raja” dan orang Pangkalan Bun seperti tercekik ketakutan tatkala TEMPO sekadar bertanya, ”Apa betul Abdul Rasyid seorang bos pencuri kayu”? Pada awal 2000, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan (waktu itu) Suripto memaparkan hasil investigasi departemen tersebut sebagai berikut: dalam setahun, kayu yang disikat para pencuri dari Tanjung Puting senilai US$ 8 juta (kurang-lebih Rp 72 miliar) dan sekitar 95 persen dikuasai Rasyid beserta keluarga. Angka ini berkesesuaian dengan hasil hitungan Telapak Indonesia, sebuah lembaga swadaya lingkungan lokal, dan observasi TEMPO di lapangan. Beberapa ”bos lapangan” dan ”bos desa” (lihat Patgulipat di Tepi Pelabuhan) menuturkan kepada sumber TEMPO yang ikut dalam penebangan liar tersebut bahwa 95 persen wilayah barat Tanjung Puting adalah wilayah kekuasaan ”Raja” (Rasyid). ”Dia begitu berkuasa. Tak satu pun orang yang berani mengganggu wilayahnya,” kata Jusuf Mahdi, bukan nama sebenarnya. Wilayah barat hutan lindung itu memang paling potensial menyimpan kayu-kayu kelas termahal: ramin, meranti, dan sebagainya. Rasyid tak bersedia menjawab semua tudingan ini, bahkan tidak juga mau menjawab soal bisnis perkayuannya. ”Anda tanyakan saja ke para direksi Tanjung Lingga,” kata Rasyid dalam jawaban tertulisnya kepada TEMPO. "Sejak menjadi anggota MPR, saya sudah berhenti dari bisnis." Justru dalam posisinya sebagai anggota MPR nama Rasyid bakal menjadi sorotan tajam, tak hanya secara nasional, tapi juga internasional. Awal Januari 2003 di Yogyakarta, Consultative Group on Indonesia (CGI), kelompok negara pemberi utang Indonesia, bersidang dan salah satu agendanya membicarakan soal hutan--pertemuan tersebut tadinya diagendakan pada akhir pekan ini tapi dibatalkan karena peristiwa bom Legian. Bantuan CGI memang antara lain dikaitkan dengan syarat Indonesia bisa menghentikan illegal logging alias pencurian kayu, khususnya di hutan-hutan lindung. Alasan negeri donor itu logis: hutan tropis Indonesia tak hanya punya makna bagi Indonesia, tapi juga bagi kelestarian seluruh planet bumi. Dalam penilaian CGI, Indonesia gagal memenuhi 12 komitmen berkaitan dengan soal hutan yang dibicarakan di Jakarta tahun silam dan di Tokyo dua tahun silam. Pencurian kayu, termasuk di hutan-hutan lindung, telah menjadi kelaziman sejak jauh di masa Orde Baru. Togu Manurung, Direktur Forest Watch Indonesia, memperkirakan Indonesia kehilangan luas hutan 2,4 juta hektare setiap tahunnya. Lembaga itu juga mencatat nilai pencurian kayu di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 30 triliun per tahun. Dengan kata lain, hutan Indonesia musnah dengan laju yang mengerikan: 6 kali luas lapangan sepak bola setiap menitnya, seraya pemerintah kehilangan pajak US$ 1.300 setiap menit. Setiap tahun, hutan seluas Provinsi Jawa Barat lenyap dari permukaan bumi Indonesia. Lebih menyedihkan karena kepunahan itu justru sebagian dialami oleh hutan-hutan yang sebenarnya tak boleh dijamah, seperti Taman Nasional Tanjung Puting. Sejak 1984, kawasan itu ditetapkan sebagai hutang lindung, bahkan sejak 1930-an telah digolongkan sebagai suaka margasatwa. Dengan luas lebih dari 300 ribu hektare, Tanjung Puting adalah tempat hidup bagi 200 spesies burung, 17 spesies reptil, dan 19 spesies mamalia. Sembilan dari 13 primata Borneo terdapat di taman nasional ini. Dalam observasi ke Tanjung Puting, wartawan mingguan ini berkumpul dengan sekelompok penebang di wilayah Naga Tengah. Para penebang itu mengatakan bahwa kayu ramin yang sedang dihanyutkan di sungai menuju pos-pos penggergajian adalah milik Rasyid. Kesaksian itu diperkuat oleh rekaman video pabrik-pabrik ramin milik Rasyid yang dibuat oleh tim investigasi Environmental Investigation Agency bersama Ruwidrijanto--anggota Telapak Indonesia--pada tahun 1999. Ketika itu, mereka menyamar sebagai pengusaha kayu yang melihat-lihat pabrik milik Rasyid. Sugianto, keponakan Rasyid, sendiri yang mengantar tim ini berkeliling saat itu. Dalam "tur keliling" itu, Sugianto bahkan memaparkan kiat bisnisnya: bagaimana mengekspor kayu-kayu mahal itu secara ilegal untuk menghindari pajak ekspor sebesar 25 persen. Setahun kemudian, Ruwi kembali ke Pangkalan Bun bersama Faith Doherty. Keduanya ingin menemui Abdul Rasyid untuk mengonfirmasikan sejumlah temuan dari tim investigasi sebelumnya. Tanjung Lingga menjawab permintaan mereka: Abdul Rasyid bersedia bertemu dengan Doherty dan Ruwi. Saat keduanya menginjak lantai dua kantor itu, Sugianto kontan mengenali Ruwi, si "pengusaha" yang pernah diantarnya. Dia begitu naik darah sehingga, "Sugianto meletakkan sepucuk senjata dan mengancam akan membunuh kami," ujar Doherty. Ruwi dihajar hingga babak-belur dan Doherty kebagian jatah ditelikung jari-jarinya hingga patah. Toh, Doherty masih berupaya menanyakan pencurian ramin. Doherty: "Kami ingin membicarakan pencurian ramin oleh Tanjung Lingga di Tanjung Puting dengan Rasyid." Sugianto: "Rasyid tidak ada. Dan Tanjung Puting itu milik kami." Kepada TEMPO, Rasyid membantah memerintah anak buahnya melakukan penyiksaan. ”Saya tidak tahu-menahu karena sedang berada di luar negeri,” ujarnya. Adapun Sugianto tidak membantah. ”Sudah untung mereka tidak kami bunuh,” katanya, ”Masuk ke perusahaan orang kok seperti itu.” (lihat "Ke Tanjung Puting Saja Saya Belum Pernah"). Sugianto bahkan tidak membantah telah memberi order menyiksa Abi Kusno. ”Dia masih tergolong kakek saya,” katanya, ”Tapi dia juga pemeras. Sudah untung dia tidak kami bunuh.” Sugianto memberikan dua wawancara melalui telepon kepada TEMPO. Dalam wawancara terakhir, dia membantah menyatakan ”memiliki” Tanjung Puting. Namun, dia mungkin lupa, dalam wawancara pertama, dia mengatakan yang sebaliknya, artinya menganggap Tanjung Puting masuk dalam kawasan pengelolaan hutan Tanjung Lingga. ”Tanjung Lingga masuk ke Tanjung Puting pada 1986 karena meneruskan HPH dari perusahaan lain, PT Eksabasah,” katanya, ”Jika itu salah, salahkan pemerintah yang memberi izin tersebut.” Siapa pun yang salah, Sugianto mengakui Tanjung Lingga telah beroperasi di situ sejak 1986, jauh sebelum Abdul Rasyid mundur dari perusahaan itu pada awal 2000. Dalam peristiwa penyelundupan kayu oleh tiga kapal asing (lihat Kisah dari Tiga Kapal) pada November 2001, setumpuk dokumen yang diperoleh TEMPO menunjukkan dua hal penting. Pertama, perusahaan Rasyid, PT Lingga Marintama, terlibat dalam usaha penyelundupan 25 ribu meter kubik kayu senilai Rp 50 miliar. Kedua, penyidikan polisi sama sekali tidak menyentuh perusahaan itu, padahal Lingga Marintamalah yang mengageni ketiga kapal asing itu di Indonesia. Ujung-ujungnya malah pada Februari lalu sekitar 6.000 orang berdemo dan menduduki kantor DPRD Kotawaringin Barat, Pangkalan Bun, menuntut agar kapal-kapal tersebut dilepaskan. Mereka mengaku berasal dari organisasi Masyarakat Perkayuan Daerah. Abdul Rasyid adalah pendiri asosiasi 76 pengusaha kayu itu. Salah satu kehebatan Rasyid memang menjalin hubungan mesra dengan para petinggi, polisi, dan jenderal. Tak hanya membantu membangun kantor polisi, menurut seorang kenalan dekat Rasyid, dia menghadiahkan mobil Toyota Land Cruiser kepada seorang pejabat lokal polisi di Pangkalan Bun. Rasyid mengatakan tidak ada yang salah dengan menjalin hubungan baik ke semua pihak. ”Sebagai anggota MPR, tentu saya harus menjalin hubungan baik dengan aparat pemerintah." AKBP Heryanto, juru bicara Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, memberikan jawaban ini: ”Kapolda sudah menegaskan bahwa kami harus melakukan tindakan represif terhadap pelaku pencurian kayu dan anggota polisi yang terlibat,” katanya, ”Dan kami tidak berkompromi dengan anggota yang terlibat.” Polisi hanya salah satu dalam wilayah kekuasaan Rasyid. Salah satu orang dekat Rasyid yang lain lagi bercerita kepada TEMPO bahwa dalam pencalonan Gubernur Kalimantan Tengah terakhir, Rasyid pernah ditawari menempati posisi itu. Dia menolak. ”Mendingan kita membantu salah satu calon,” kata Rasyid seperti ditirukan sumber itu, ”Begitu menang, dia akan berutang sama kita sehingga segala urusan lancar.” Banyak urusan Rasyid memang lancar tampaknya. Suripto, mantan Sekretaris Jenderal Kehutanan dan Perkebunan, menceritakan sebuah pertemuan yang dihadiri Gubernur Kalimantan Tengah Asmawi Gani pada 26 Januari 2001 di kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam rapat antardepartemen tentang penebangan kayu liar itu, Asmawi mengatakan tak ada lagi kayu yang diangkut keluar dari provinsinya sejak Desember 2000. Mendengar laporan tersebut, Suripto langsung menyergah bahwa berdasarkan laporan yang masuk sehari sebelum pertemuan itu, pencurian kayu pun masih berlangsung. Dan pada waktu yang lain, saat Suripto terus saja menyebutkan nama Rasyid di belakang pencurian kayu, seorang jenderal angkatan darat membisikinya untuk berhenti menyeret tokoh itu, yang ”sudah sangat berjasa dalam menyejahterakan para prajurit.” Para prajurit tetap miskin. Juga para penebang yang membalak kayu-kayu itu untuk para cukong di Tanjung Puting hari demi hari (lihat Agar Asap Terus Mengepul). Sedangkan hutan kita yang kaya tiada tara musnah, juga hari demi hari. Dengan laju pencurian seperti sekarang, hutan tropis dataran rendah Kalimantan diramalkan akan punah delapan tahun lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus