Kumai, sebuah pelabuhan kecil di Kalimantan Tengah, sudah beringsut menuju kehidupan sejak subuh. Tapi pagi dua pekan lalu itu hanya ada dua kapal yang mengapung di dermaga. Tak ada kegiatan di dua kapal itu, bahkan setelah matahari berangkat naik dari cakrawala.
Kedua kapal itu—Sinar Jaya 1 dan 2—memang ditahan di situ setelah tertangkap basah mengangkut kayu curian. Tapi tim operasi gabungan—terdiri atas aparat dinas kehutanan, syahbandar, polisi, dan tentara—ternyata tidak bisa menyelamatkan 500 meter kubik kayu bengkirai yang kabarnya sudah dilelang.
Kumai memang salah satu pelabuhan yang dikenal menjadi tempat transit dan bongkar-muat kayu curian untuk diselundupkan ke Jawa, Malaysia, dan Singapura. Selain Kumai, pelabuhan-pelabuhan kecil seperti Telaga Pulang, Kuala Pembuang, dan Kuala Jelai juga kondang sebagai pintu keluar kayu curian dari dalam hutan Kalimantan yang dilindungi.
Dalam beberapa pekan terakhir, dua kapal lain—Mega Sentosa dan Karya Baru—juga ditangkap di kawasan itu karena mengangkut 700 meter kubik kayu ramin dan mahoni.
Akhir-akhir ini para pemilik kapal memang sedang tiarap karena seringnya operasi penangkapan. Dan itu membuat Pelabuhan Kumai relatif sepi. ”Brengsek, operasi kayu bikin kita miskin,” gerutu Amat, seorang preman. Sepinya kapal membuat para preman mati angin karena tak bisa memetik uang parkir kapal ratusan ribu rupiah.
Tapi, benarkah telah berhenti pencurian kayu yang tak hanya merugikan negara tapi juga menghancurkan lingkungan itu?
Nanti dulu. Di Kumai dua pekan lalu itu ada satu kapal lagi yang tengah sibuk di pelabuhan. Satu-satunya yang sibuk. Kapal kayu tanpa nama itu sudah selesai mengisi muatannya, 250 meter kubik kayu ramin. Seorang awak kapal mengatakan kayu itu siap diangkut menuju Surabaya.
Perdagangan kayu ramin sudah resmi dilarang sejak tahun lalu melalui keputusan presiden. Apalagi, kayu itu ditebang—menurut pengakuan Harto, seorang asisten cukong—dari Taman Nasional Tanjung Puting, yang dilindungi. Tapi, mahalnya kayu ramin memang membuat ngiler siapa saja. Satu meter kubik kayu itu bernilai Rp 9 juta.
Hanya berjarak selemparan batu dari kapal yang siap berangkat itu, terletak kantor syahbandar. Mustahil aparat di situ tidak tahu kejahatan yang terjadi. Di Kumai, seperti pelabuhan-pelabuhan kecil lain, uang memang lebih bertuah ketimbang keputusan presiden.
Harto mengatakan, kapal itu milik seorang pengusaha kayu keturunan Cina yang bermarkas di Surabaya. Sang cukong tidak pernah tampak di Kumai. Semua urusan di situ diurus Martiono, tangan kanan bos, yang hilir-mudik antara Pangkalan Bun dan Surabaya setiap kali akan ada transaksi kayu ilegal. Martiono-lah yang bertugas mendekati aparat hukum setempat.
Di sebelah Pasar Kumai, di Jalan Bendahara yang lurus dan sempit, berdiri tiga kantor penguasa pelabuhan, yaitu kantor administrasi pelabuhan, pengamanan pelabuhan, dan syahbandar alias bea-cukai.
Pagi itu Harto, Martiono, dan seorang nakhoda kapal mengetuk pintu ketiga kantor itu. Harto bercerita, ia sudah menyetor hampir Rp 19 juta tunai kepada para petugas. ”Tarif” itu tidak dihitung serampangan. Setiap 100 meter kubik kayu dikenai uang advis perjalanan—sebutan lain untuk uang pelicin—sebesar Rp 7,5 juta. Uang itu dibagi-bagikan pula kepada petugas polisi air dan udara serta kantor dinas kehutanan. Sebagai balas jasa, mereka semua akan tutup mata. ”Jika tertangkap saat di jalan atau di pelabuhan tujuan, itu bukan urusan kami lagi,” kata Harto.
Ketika matahari belum sepenggalan langit, kapal biru tak bernama itu sudah mengangkat jangkar tanda urusannya selesai. Bendera merah-putih di salah satu tiangnya berkibar-kibar dengan malas. Tak ada surat keterangan sahnya hasil hutan, yang wajib dipunyai setiap pengusaha kayu, tak ada dokumen apa pun yang dibawanya kecuali selembar surat jalan dari petugas pelabuhan.
Ini sudah menjadi praktek lazim. Menurut penelitian Abi Kusno, seorang investigator kayu curian, Mei lalu, misalnya, ada 33 kapal mengangkut kayu curian di Kalimantan Tengah. Setengahnya lego jangkar dari Kumai, sementara sisanya dari beberapa pelabuhan kecil di sekeliling Tanjung Puting.
Hutan Lindung Tanjung Puting memang satu-satunya yang masih menyimpan jenis kayu paling bagus di Kalimantan Tengah. Taman nasional seluas 355 ribu hektare itu, yang merupakan bagian dari hutan tropis dataran rendah, kaya ditumbuhi kayu primadona kelas dunia macam ramin, meranti, dan bengkirai. Tapi, hutan yang juga menjadi habitat orangutan dan dilindungi pemerintah itu kini terancam punah oleh penebangan liar.
Lewat Sungai Kapuas dan anak-anak sungainya, kayu curian dihanyutkan ke hilir. Tempat-tempat penggergajian kayu atau sawmill liar yang berdiri di sepanjang sungai sudah menunggu untuk mengolahnya. Menurut Telapak Indonesia, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang lingkungan, nilai kayu yang dikeluarkan dari Tanjung Puting mencapai Rp 72 triliun per tahun.
Kepada TEMPO, beberapa mandor kayu di situ mengatakan Tanjung Puting adalah semacam ”kerajaan kecil” penebangan kayu liar. Mereka menyebut Abdul Rasyid A.S., pengusaha lokal dan pemilik kelompok usaha Grup Tanjung Lingga, sebagai raja yang berkuasa di situ. Suripto, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan di zaman Abdurrahman Wahid, mengatakan Rasyid sudah bermain kayu di situ sejak 1987.
Ketika suatu ketika Suripto menyebut-nyebut Rasyid sebagai cukong pencurian kayu, seorang jenderal Angkatan Darat pernah datang kepadanya, meminta nama Rasyid tak lagi disebut. ”Ia berjasa bagi kesejahteraan prajurit,” kata Suripto menirukan sang jenderal.
Tukang tebang dan perahu adalah ujung tombak pencurian kayu di Kalimantan, yang dikitari sungai-sungai besar. Dengan perahu kepompong, satu kelompok penebang yang terdiri atas 6-10 orang biasanya masuk ke hutan yang sudah ditunjuk oleh bos desa (lihat infografik). Tiap bos punya daerah kekuasaan yang diklaimnya sendiri dengan cara mengecat dan merobohkan pohon sebagai batasnya. Mereka memilih areal yang rapat pohonnya, lalu menunjuk dengan tangan sejauh-jauhnya. Simsalabim, semua kayu di tempat itu beralih jadi miliknya. Tak ada perjanjian antar-bos desa, tapi tiap orang tahu wilayahnya.
Tidak semua pencuri kayu Tanjung Puting bekerja untuk Rasyid. Tapi mereka harus berusaha lebih keras. Udin, misalnya, bos desa yang tak bergabung dengan kelompok Rasyid, harus berperahu memutari laut selama enam jam, lalu menyisir sungai bakau dua jam, dan berjalan kaki dua jam lagi untuk menghindari anak buah Rasyid.
Seperti kelompok mafioso, para cukong ada di bagian paling atas dan tak pernah bertransaksi di lapangan. Kayu itu dibiarkan menumpuk di tengah hutan hingga sebulan, lalu para penebang akan menyeretnya hingga ke tepi sungai. Selanjutnya, urusan air yang menghanyutkannya ke tepi sawmill atau pelabuhan.
Para bos menjamin tak ada penangkapan di sungai. Urusannya cuma di pelabuhan, karena aparat pemerintah makin banyak yang terlibat. Para pengumpul mengurus uangnya, sedangkan cukong seperti Rasyid tahu beres. Tidak pernah ada perjanjian tertulis apa pun antara para penebang dan penadahnya.
Risiko kecelakaan, mati saat bekerja, misalnya, menjadi tanggung jawab sendiri-sendiri. Ikatan mereka cuma soal utang. Sebelum masuk hutan, para bos berbaik hati meminjami penebang yang miskin itu uang, bahan makanan, atau rokok. Tidak sedikit di antara mereka yang pulang dengan tangan kosong karena uang sudah habis untuk membayar pinjaman. Belum lagi untuk melunasi kredit gergaji mesin, motor perahu. Alhasil, upah seorang penebang cuma cukup untuk makan, dan malah pulang membawa jeratan utang.
Di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, ada beberapa cukong kayu yang terkenal dengan nama Menak, Maluk, dan Kantono. Mereka juga bermain kayu di wilayah barat taman nasional, tapi tersembunyi dan sulit dijangkau. Kalau lagi apes dan kayu itu tertangkap di jalan, para cukong akan menyogok kanan-kiri untuk menang dalam lelang kayunya. Harganya sangat murah, dan tak perlu lagi membayar para penebangnya yang masuk bui.
Sesekali mereka berlaku jujur dan melaporkan kayunya, tapi dengan jumlah amat kecil, misalnya 30 persen dari yang sebenarnya, untuk menghindari retribusi dan pajak. Modus lain adalah menakut-nakuti pengusaha yang tak mau bersekutu.
Yeyen, seorang pemain kayu, mengaku kepada TEMPO pernah terkena nasib sial. Suatu ketika dia mengangkut sekitar 5.000 meter kubik kayu pulai dari Kotawaringin Barat menuju Jawa. Dokumen surat-surat asli sudah dikantonginya. Tapi, baru saja kayu itu berada di muara Sungai Kumai, ia dicegat sekelompok orang yang menggunakan speed boat. Orang-orang itu mengaku kayu tersebut milik mereka. Mereka meminta Yeyen menghadap bos bernama Yadi untuk menyelesaikan segala urusan. Ternyata di situlah awal malapateka. Sang bos meminta Yeyen membayar kayu itu tiga kali lipat dari harga pasaran. Karena Yeyen tak bisa membayar, mereka merampas kayu itu dan melelangnya
Tak pernah ada penangkapan kayu curian, tapi ada lelangnya. Lantas, dari mana kayunya? Pemenang lelang akan mencari kayunya di hutan sesuai dengan jumlah dan jenis dalam dokumen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini