Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Keluar dengan Cito…

Para terpidana kasus korupsi memperoleh layanan khusus di penjara. Perlu jutaan rupiah dan belasan amplop agar bisa keluar sehari.

11 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tengku Azmun Jaafar menyesap rokok kreteknya dalam-dalam. Ditahan sebentar, asap ia keluarkan pelan-pelan. Ruang sejuk yang dipasangi pengatur suhu itu penuh asap. ”Saya lebih banyak merokok sejak di penjara,” kata mantan Bupati Pelalawan, Riau, itu awal bulan lalu. Ia menerima Tempo di ruang kerja Kepala Poliklinik Lembaga Pemasyarakatan I Cipinang, Jakarta Timur.

Mengenakan topi, kaus polo biru tua, celana denim cokelat, Azmun terlihat segar. Padahal hampir setengah tahun ia menghuni penjara itu. Agustus lalu, Mahkamah Agung menghukumnya sebelas tahun penjara. Pria 51 tahun ini dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi pada penerbitan izin pemanfaatan hutan untuk selusin lebih perusahaan tak kompeten. Ia diharuskan membayar kerugian negara Rp 12,3 miliar.

Sebelum vonis akhir diketuk Mahkamah Agung, Azmun ditahan mulai akhir 2007. Setahun lebih dia mendekam di ruang tahanan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. ”Di sini lebih fresh,” ujarnya, ”di Mabes cuma bisa mendekam di kamar.” Mabes adalah akronim dari Markas Besar Polri.

Di Cipinang, Azmun menyandang ­gelar ”pemuka”—mereka yang ditua­kan atau dihormati di penjara. Jabat­annya ”kepala pengurus poliklinik”. Untuk itu, ia tak harus menghuni selnya. Ia bisa menjaga kegiatan poliklinik yang tak pernah tutup. Para tamu dan keluarganya pun bisa leluasa menemuinya. ”Saya bisa terima tamu hingga pukul sepuluh malam,” katanya.

Buah manggis kesukaannya dihi­dangkan di meja. Juga lengkeng dan air kemasan. Di ruang kerja kepala poliklinik itu, ia bisa ngobrol sepuasnya dengan tetamu. Ruang itu terletak di pojok bangunan, terhindar dari lalu-lalang orang. Buat menerima tamu, Azmun menyediakan satu set sofa berwarna cokelat.

Sel Azmun sebenarnya ada di Blok III lantai dua, sebuah ruang berukuran 2,5 x 3 meter persegi. Resminya kamar itu diisi tiga narapidana. Namun ia me­nempatinya berdua bersama narapidana lain, yang berperan sebagai korve alias pembantu. Sang korve ini selalu tidur di luar sel.

Azmun adalah satu di antara ratusan terpidana yang dijerat Komisi­ Pemberantasan Korupsi. Pada perio­de 2004-2009, menurut Indonesia Corruption Watch, komisi antikorupsi itu telah menjebloskan 105 orang ke penjara. Mereka tersebar di pelbagai lembaga pemasyarakatan, bersama koruptor yang dihukum melalui penyidikan kejaksaan.

Di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, ada pula mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin. Ia dihukum dua tahun dalam kasus Bank Bali dan mendiami penjara itu sejak Juni tahun lalu. Syahril menghuni sel di Blok Isolasi, terdiri atas 12 kamar. ”Ruang­annya sempit, jadi hanya dihuni satu orang,” ujarnya.

Blok ini juga dihuni mantan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe serta dua bekas direktur bank yang sama, yakni I Wayan Pugeg dan Saleh Tasripan. Ketiganya dihukum sepuluh tahun penjara karena dianggap bersalah dalam penyaluran kredit untuk PT Cipta Graha Nusantara senilai US$ 18,5 juta (sekitar Rp 185 miliar) yang ternyata macet. Mereka masuk Cipinang sejak Desember 2007.

Menurut seorang penghuninya, sel di Blok Isolasi dilengkapi kamar mandi dengan shower. Setiap sel mendapat satu televisi. Beberapa penghuninya mengambil kuliah di Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, kelas khusus di Penjara Cipinang. Mereka dibolehkan membawa laptop yang tersambung dengan Internet.

Air dan listrik di blok ini lancar. Narapidana ”biasa” hanya bisa mendapatkan air pada jam tertentu di pagi dan sore hari. Adapun listrik hanya mengalir setelah pukul lima sore hingga pagi esok harinya. Menurut seorang penghuninya, kamar khusus itu bisa didapatkan dengan bayaran Rp 30 juta. Seorang peng­acara menyebutkan kliennya menyetor Rp 20 juta demi memperoleh kamar sendiri di lantai dua.

Dengan kamar khusus, narapidana bebas membawa berbagai perabotan. Televisi, tempat tidur pegas, penyejuk udara, lemari es, juga komputer atau laptop bisa ditemukan di kamar-kamar khusus ini. ”Asal bisa menyimpan dengan baik, siapa pun bisa pegang telepon seluler,” kata seorang penghuni. ”Setiap malam saya ngobrol dengan kawan-kawan dengan telepon seluler.”

Azmun membantah tuding­an memberikan uang buat men­dapatkan kamar. ”Saya tak me­ngeluarkan uang,” katanya. Hal senada diungkapkan Syahril, ”Saya hanya mengikuti petugas yang menempatkan di sini.”

Para narapidana berduit juga pu­nya trik khusus melepas kangen dengan keluarga. Agar bisa keluar dari penjara, mereka mengajukan izin sakit. Di Penjara Cipinang, akal-akalan ini dikenal dengan istilah cito. Seorang narapidana harus menyetor Rp 8 juta buat mengajukan cito pertama, yang akan turun pada pengajuan berikutnya. Dengan ”fasilitas” ini, narapidana bisa ke luar penjara dari pukul 06.00 hingga pukul 20.00. ”Sudah mesti keluar sebelum pukul 06.00,” kata seorang penghuni.

Karena biayanya lumayan mahal, seorang narapidana mengatakan kapok mengurus izin sakit. Dia mengaku pernah mengajukan izin sakit agar dapat berkumpul dengan keluarga, juga bertemu dengan rekan bisnisnya. Di luar biaya cito, seorang narapidana perlu empat belas amplop berisi minimal Rp 150 ribu. ”Buat petugas di bawah sampai atas,” katanya.

Kepala Poliklinik Izhar Sapawi membantah jika dikatakan ada permainan duit dalam pengurusan izin sakit. Menurut dia, izin sakit dipro­ses setelah melalui pemeriksaan medis. Hasil pemeriksaan ini menjadi surat pengantar yang harus disampai­kan ke kepala lembaga pemasyara­katan. ”Malah kami mengeluarkan uang biaya rumah sakit buat yang tak mampu,” katanya.

Kepala Pengamanan Lembaga Pe­masyarakatan Cipinang Ali Syeh menga­takan baru mendengar soal sewa sel khusus itu. ”Saya tak pernah terima dan menetapkan tarif,” ujarnya pekan lalu. ”Tapi saya tak bisa memastikan hal itu ada atau tidak.”

Menurut Ali, beberapa narapidana kasus korupsi ditempatkan di ruang isolasi untuk menjaga keamanan me­reka. Penempatan itu juga dengan alasan kesehatan. Ia mengatakan kondisi fisik mereka tak memungkinkan untuk tinggal bersama narapidana kasus-kasus macam pencurian. ”Karena alasan kesehatan, narapidana bisa memasang penyejuk udara dengan rekomendasi dokter klinik,” katanya.

Tak hanya di Cipinang, kemudah­an juga diperoleh narapidana kasus­ korupsi yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Di sini pesakitan masing-masing men­dapat satu kamar ukuran 3 x 5 meter. Berbagai perabotan, seperti tempat tidur, lemari es, dan televisi, bebas dimasukkan. BlackBerry pun aman saja digunakan. ”Di sini lebih nyaman,” kata seorang penghuninya. ”Saya bisa jalan-jalan keliling penjara.”

Namun Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Murdjito me­ngatakan penghuni penjara dilarang memakai telepon seluler, komputer jinjing, penyejuk udara, atau kulkas. Dikatakannya, razia perabotan kerap dilakukan. Menurut dia, selama enam bulan telah disita sembilan karung telepon seluler. ”Kami juga pernah menyita dispen­ser,” katanya.

Agak di ”luar pemantauan”, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan menghuni sel Rumah Tahanan Brigade Mobil Kepolisian di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Dinyatakan bersalah dalam penyaluran Rp 100 mi­liar dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia, ia dihukum empat setengah tahun di pengadilan pertama. Pengadilan tinggi menurunkan hu­kuman baginya menjadi empat tahun.

Tahanan Brimob berdiri di area belakang markas. Di sekitarnya ada la­pangan, tempat upacara anggota kesa­tuan itu. Hampir setiap hari mobil-mobil keluarga tahanan diparkir di pinggir lapangan ini. Sel tahanan di sini dibagi berdasarkan kepangkatan. Aulia mendapat kamar ta­hanan khusus buat perwira tinggi. ”Kamarnya lengkap dengan penyejuk udara,” kata Wakil Ketua Komisi Pembe­rantasan Korupsi Bibit Samad Rianto, yang beberapa hari ditahan di sini.

Kamar Aulia yang berkeramik putih berada di tempat paling nyaman. Sel yang sama pernah dihuni mantan Duta Besar untuk Malaysia, Rusdiharjo. Mantan Kepala Kepolisian RI ini menghabiskan masa hukuman satu setengah tahun berkaitan dengan kasus pungut­an liar Kedutaan RI di Kuala Lumpur. Ia bebas pada Maret tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus