Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Si Baju Merah di Dharmawangsa

Pergaulan Ayin terentang dari aktivis sampai presiden. Luwes dalam segalanya.

11 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SITUASI politik memanas menjelang Agustus 2004. Para elite gencar melakukan lobi politik untuk menjala dukungan menjelang pemilihan presiden putaran kedua. Meski menang di putaran pertama, Susilo Bambang Yudhoyono gusar. Penyebabnya, merebak rumor bahwa Kristiani Herawati, istrinya, beragama Nasrani, padahal Ani jelas Islam.

Ini isu rawan bagi Yudhoyono, yang ketika itu berpasangan dengan Jusuf Kalla. Sebab, lawan yang dihadapi adalah pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Yudhoyono pun merancang pertemuan dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, orang paling berpengaruh di kalangan nahdliyin.

Pertemuan itu dilakukan pada 9 Agustus malam. Yudhoyono bertandang ke rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan. Meski datang ditemani tim suksesnya, bekas Menteri Koordinator Politik dan Keamanan itu menghadap Gus Dur sendirian. Tuan rumah ditemani istrinya, Sinta Nuriyah, dan Adhie Massardi, mantan juru bicara kepresidenan.

Menurut Adhie, Yudhoyono mengeluhkan munculnya isu agama itu kepada Gus Dur. Ia juga menyampaikan kesulitan bertemu dengan para gubernur dan kepala daerah pada masa kampanye. "Saya menyangka yang merancang pertemuan itu Yenny Wahid," kata Adhie tiga pekan lalu kepada Tempo, beberapa hari sebelum Gus Dur meninggal. Yenny Wahid, putri Gus Dur, memang masuk tim kampanye Yudhoyono-Kalla.

Adhie keliru. Begitu pertemuan bubar, seorang perempuan mungil berwajah pualam dengan rambut disasak mendekati dia. Wanita itu mengucapkan terima kasih karena sowan politik Yudhoyono berjalan sukses. "Saya baru tahu dia yang namanya Ayin," kata Adhie. "Dia rupanya arranger pertemuan SBY-Gus Dur." Adhie menambahkan, sebelum pamitan, perempuan bernama lengkap Artalyta Suryani itu menyisipkan amplop berisi Rp 10 juta ke tangannya sebagai tanda terima kasih.

Ayin mengaku amat dekat dengan Gus Dur dan keluarganya. Mereka berkenalan sewaktu Gus Dur sering berkunjung ke pesantren milik Kiai Khusnan Mustofa di Metro, Lampung, pada 1993. Hubungan ini berlanjut lama. Ayin sempat menjadi bendahara Partai Kebangkitan Bangsa, yang didirikan Gus Dur pada 1998. Ayin memanggil Gus Dur dengan sebutan "Bapak". "Beliau sudah saya anggap ayah sendiri," kata perempuan 47 tahun ini. "Yenny juga sudah seperti adik saya."

Pengusaha asal Lampung ini juga punya hubungan baik dengan Yudhoyono. Sewaktu Ayin menikahkan anaknya di Hotel Sheraton, Jakarta, pada 2007, Presiden hadir bersama istrinya. Foto Yudhoyono ketika hadir dalam pesta pernikahan ini pun tersebar di mana-mana. Kepala Kepolisian Jenderal Sutanto memberikan sambutan, mewakili keluarga mempelai.

Tak aneh jika Ayin berperan dalam pertemuan Yudhoyono dengan Gus Dur pada 2004. Padahal kedua tokoh itu sempat putus kontak akibat rivalitas politik menjelang pemilihan presiden. Kepada Tempo, Ayin menyangkal menjadi perantara pertemuan itu. "Kan, ada tim kampanyenya. Saya hanya memberikan support," kata perempuan yang dikenal dekat dengan konglomerat Sjamsul Nursalim ini.

Jalinan pertemanan Ayin yang luas kembali terpancar ketika ia menghadiri acara "Malam Kesetiakawanan dan Kepedulian" di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, akhir Februari 2008. Acara peresmian yayasan dengan nama sama sekaligus pengumpulan dana ini ditandai dengan pergelaran lagu-lagu ciptaan Yudhoyono. Presiden pun hadir malam itu.

Pendiri yayasan adalah orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Yudhoyono: Jenderal Sutanto, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Djoko Suyanto, juga Ketua Kamar Dagang dan Industri M.S. Hidayat. Dua ratusan pengusaha hadir malam itu.

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ternyata sudah menguntit Ayin. Hubungan intensifnya dengan para jaksa yang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia mengundang curiga. Ia terus diawasi. Teleponnya disadap.

Di Hotel Dharmawangsa, dari rekaman telepon selulernya, terdengar seorang ajudan pribadi istri petinggi negara yang hadir malam itu menghubungi Ayin. "Ibu Ayin di mana? Ibu (bos sang ajudan) mencari-cari dari tadi." Ayin menjawab, "Saya di belakang, pakai baju merah." Karena datang sedikit terlambat, ia duduk di bagian belakang.

Kepada Tempo, yang mewawancarainya Senin pekan lalu, ia mengaku hadir. Ia juga membenarkan datang dengan busana merah. Namun ia tak bersedia menyebutkan jumlah yang ia sumbangkan buat Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. "Saya enggak tahu sumbangan-sumbangan yayasan itu," ujarnya. "Lagi pula, itu kan acara open."

Dua hari setelah menghadiri acara Malam Kesetiakawanan, Ayin harus berurusan dengan hukum. Pada 2 Maret 2008, petugas Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap jaksa Urip Tri Gunawan, yang baru keluar dari rumahnya. Di mobilnya, petugas menemukan kardus berisi 66 ikat duit US$ 100-an. Total berjumlah US$ 660 ribu (sekitar Rp 6,6 miliar). Ini ternyata uang terima kasih kepada sang jaksa, yang telah membebaskan Sjamsul Nursalim dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk BDNI.

Buat menggalang lobi, Ayin memakai pelbagai upaya. Antara lain, acap kali ia menyediakan Pulau Lelangga Kecil di Teluk Lampung, miliknya, buat tempat mengaso para jaksa. Ia luwes dalam urusan ibadah. Meski mengaku Buddhis, Ayin fasih berbicara memakai idiom pelbagai agama. Maka ia pun berkenalan dengan Urip Tri Gunawan justru dalam suatu kebaktian di gereja. "Saya memang Buddhis, tapi kan kita hidup bermasyarakat," katanya.

Dia tak membangun lobi secara instan. Ayin mendekati para pejabat jauh sebelum mereka menduduki posisi sekarang. Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Untung Sugiyono, misalnya, mengaku kenal Ayin sejak menjabat kepala penjara Tanjung Karang, Lampung, pada 1999. "Dia supel, kenalannya banyak," katanya.

Menurut Untung, Ayin disegani di Lampung karena kedermawanan dan pergaulannya yang luas. Maka ia menolak permintaan Ayin agar dipindah ke penjara Tanjung Karang. Seorang narapidana memang boleh meminta pindah penjara agar bisa dekat dengan keluarga. Untung khawatir, Ayin memakai pengaruhnya untuk mendapat keistimewaan. "Kasihan teman-teman di sana," katanya.

Selain berkawan dengan pejabat, politikus, dan aparat hukum, Ayin menjalin pertemanan dengan aktivis. Ia bergaul rapat dengan Andi Arif, mantan aktivis mahasiswa asal Lampung, yang pernah diculik Komando Pasukan Khusus pada 1997. Andi kini menjadi anggota staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana alam.

Menurut Ayin, Andi Arif dulu sering bermain pingpong di rumah lamanya, di kawasan Gudang Lelang, Bandar Lampung. Ia mengatakan Andi juga beberapa kali menjenguknya di penjara. Tapi komisaris PT Pos Indonesia itu menyangkal. "Saya trauma dengan penjara," katanya. "Kalau mau memberikan bantuan, ya dari luar saja."

Ayin cuma mesem ketika ditanya soal jaringan lobinya yang luar biasa. "Tak perlulah saya sebut pejabat yang kenal saya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus