Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di persidangan, Artalyta Suryani adalah perempuan yang menjaga penampilan: sasak rambutnya mengkilap, rias wajahnya merona, busananya elegan, serba two-pieces. Di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, tampilannya jauh lebih sederhana. Dia mengenakan celana hitam, dipadu kaus merah. Sapuan eye shadow biru membikin wajahnya lebih cerah. Ayin, begitu dia disebut, terlihat lebih muda dari 47 tahun usianya.
Dihukum lima tahun dalam kasus suap untuk jaksa Urip Tri Gunawan, Artalyta menghuni penjara itu sejak Maret 2009. Dia biasa memulai hari dengan senam aerobik dan joging. Setelah mandi, ia "ngantor" di lantai tiga gedung perkantoran penjara. Di situ pula, ia menghabiskan waktu bersama Franklin, 10 bulan, anak angkatnya.
Senin pekan lalu, Ayin hampir dua jam menerima Tempo di ruang Kepala Pengamanan Tahanan. Ia ditemani sopir pribadinya, yang setiap hari datang ke penjara. Pemilik ruangan kantor menunggu di ruang lain selama wawancara berlangsung. Hampir semua pertanyaan ia jawab dengan cepat dan lancar, kecuali soal hubungannya dengan keluarga Istana. Berikut ini kutipannya.
Selama di penjara, Anda benar-benar putus dengan dunia luar?
Sedikit stagnan dan terputus dengan dunia luar. Namun, karena punya perusahaan, saya tak mau karyawan lepas kendali. Semua harus saya tangani. Penjara tak menjadikan saya hilang kemampuan atau membatasi kemampuan saya. Yang penting tak melanggar ketentuan dan tak mengganggu teman.
Bagaimana Anda bisa tetap mengatur bisnis dari penjara tanpa melanggar aturan?
Para pemimpin perusahaan saya datang pada jam besuk. Lalu saya bisa menumpang di ruang sini atau ruang petugas lain. Saya harus tetap memimpin. Masak, karena dipenjara, perusahaan saya tidak jalan semua? Anak saya, Rommy, juga biasa ke sini. Dia yang mengatur semua.
Kapan mereka harus datang ke sini?
Misalnya menjelang Lebaran, saya perlu meminta mereka jangan ada kemacetan di penyeberangan. Jangan ada pungli. Itu saya perketat. Setiap kapal roro saya bisa menarik 155 mobil, delapan trip sehari. Saya punya tiga kapal. Lalu, yang Bahuga muat 60, delapan trip. Belum manusia yang saya angkut. Kalau kapal saya mogok, putus Jawa dan Sumatera. Walau dipenjara, kan saya harus koordinasi. Itu bisa dilakukan bagi semua orang, bukan khusus saya.
Sering tamu Anda datang sampai malam....
Tidak pernah, kecuali kalau ada yang penting sekali. Itu pun diawasi.
Tampaknya masih banyak pengusaha menemui Anda?
Ada. Mungkin mereka masih ada perhatian. Politikus juga ada. Termasuk Gus Dur. Beliau sudah saya anggap bapak.
Bagaimana Anda mengenal Gus Dur?
Saya dekat sudah lama, sebelum beliau jadi presiden. Sejak 1993, beliau kan suka ke Lampung. Ada pesantren Haji Kusnan, beliau suka ke sana. Saya menjalin hubungan baik dengan berbagai kalangan. Pada hari-hari pertama saya ditangkap, semua orang tidak mengaku kenal. Semua menghindar, ya itu manusiawi. Hanya Gus Dur yang berani menyatakan kenal, saya jadi terharu. Setelah itu, beliau sering menjenguk saya: di Mabes, di awal puasa, Lebaran, Imlek, atau Natal. Dua minggu lalu beliau menghubungi staf saya, katanya mau ke sini. Tiba-tiba dapat kabar beliau meninggal.
Tidak besuk ke rumah sakit?
Saya minta izin, ternyata hanya boleh kalau yang sakit orang tua sendiri. Padahal beliau sudah seperti orang tua saya sendiri.
Selain Gus Dur, siapa yang sering menjenguk?
Ada, banyak. Kalau yang masih menjabat, tak perlulah. Kalau berkomunikasi, bisa melalui surat, atau kadang-kadang kirim bunga. Saya menutup akses, terutama yang pejabat dari Lampung: bupati atau gubernur. Untuk tidak menimbulkan spekulasi.
Bagaimana hubungan Anda dengan SBY?
Kalau beliau, saya tidak berani berkomentar. Memang saya... (diam agak lama), beliau kan presiden dua periode.
Sudah kenal lama?
Tidak, saya belum kenal.
Bukannya Anda menjadi panitia waktu SBY mantu?
Tidak. Waktu itu..., oh iya, saya belum masuk penjara ya, ha-ha-ha.... Tidak, saya tidak menjadi panitia.Jadi, apa pun kejadian yang saya alami menjadi tanggung jawab saya sendiri. Kalau dipahami benar-benar, saya adalah korban. Korban dari jaksa Urip. Saya dikesankan seolah-olah menutupi dan membatasi kesaksian saya untuk cutoff, membela Jaksa Agung. Saya tidak ada keterkaitan dengan beliau-beliau.
Anda menelepon banyak pejabat tinggi waktu ditangkap KPK?
Tidak benar. Saya menelepon Pak Udji (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji), memang benar. Bukan untuk merekayasa. Kalau minta dibela, saya telepon Kemas (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya), dong. Kalau Pak Udji, apa kaitannya?
Benar Anda yang menghubungkan SBY dengan Gus Dur, sebelum pemilihan presiden 2004?
Tidak juga. Saya berbicara dengan Gus Dur, bilang beliau mau silaturahmi. Gus Dur bilang, ya sudah yang penting semua mempunyai niat baik. Memang waktu SBY datang, saya ada di Ciganjur. Mungkin orang melihat seolah-olah saya memfasilitasi. Itu ada tim kampanyenya. Saya hanya memberikan support.
Anda datang pada malam pengumpulan dana yayasan yang didirikan Djoko Suyanto (kini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan) dan dihadiri SBY di Hotel Dharmawangsa pada Februari 2008?
Betul, saya datang, tapi kan bukan saya sendiri. Itu semua pengusaha ada. Itu open.
Anda langsung datang dari Lampung?
Kebetulan saya sedang di Lampung beberapa hari. Lalu ada undangan. Sebetulnya tidak mau hadir, tapi saya dipaksa hadir oleh teman-teman. Datang dari Lampung saya langsung ke salon, staf saya yang anterin baju. Dari salon langsung ke Dharmawangsa.
Anda tahu diawasi petugas KPK?
Saya tahu dalam pemeriksaan. Mereka bilang, dalam ruangan di Dharmawangsa, melihat saya berbicara dengan para pengusaha, ngobrol menunggu acara dimulai. Saya ketemu beliau-beliau (Djoko Suyanto dan petinggi yayasan lainnya) di Dharmawangsa. Saya tidak tahu masalah sumbangan yayasan itu.
Anda kan berkomunikasi dengan pengusaha Joko Tjandra sebelum ke Dharmawangsa?
Saya pengusaha. Kebanyakan businessman, saya satu-satunya yang businesswoman. Rekan pengusaha sering berkomunikasi masalah hukum, finansial, manpower, semua sharing. Joko Tjandra memang sering kontak-kontakan dengan saya. Lalu itu dikaitkan dengan uang yang saya berikan kepada Urip. Karena saya tidak ketangkap tangan, saya ditanya uang siapa yang diberikan ke Urip. Ya, saya tidak tahu. Saya jawab, Urip datang sudah bawa uang, ya uang dia. Dari mananya itu tidak terungkap. Berarti saya jadi target operasional.
Anda disebut sebagai makelar kasus?
Apa parameter orang dianggap markus (makelar kasus)? Saya ini jauh panggang dengan kasus Anggodo, Ong Juliana, atau siapa itu. Perusahaan saya jelas, menghidupi orang banyak. Kalau dikategorikan markus, saya tidak terima. Kalau saya mengurusi urusan orang, deal, terima uang orang, memfasilitasi, itu namanya saya markus. Siapa yang saya markus-in?
Kami memperoleh informasi, Anda pernah ke luar penjara....
Bohong. Bohong besar itu.
Oktober lalu?
Enggak pernah. Tapi, kalau ke dokter gigi, iya, sekali. Itu aja. Waktunya saya enggak ingat. Yang pasti dikawal ekstraketat. Dokter giginya lima rumah dari rumah saya, tapi saya tidak mampir pulang. Waktu ngebor gigi saja ditunggu petugas. Saya betul-betul jaga hal begini, saya sudah insaf.
Bukannya Anda mampir ke salon?
Enggak pernah. Apa sih susahnya menata rambut sendiri. (Ia mengurai rambutnya sambil tertawa.) Gara-gara masalah ini, saya diinspeksi setiap malam. Saya selama ini cuma pakai celana training dan kaus. Enggak pernah pakai perhiasan. Kalau pakai lipstik, semua cewek juga pakai. Apa susahnya?
Anda juga keluar pada Juni lalu?
Kalau itu menjenguk keluarga di Rumah Sakit Puri. Itu kan ada yang operasi. Itu pun enggak sempat ketemu.
Benar Anda membayar Rp 20 juta agar bisa keluar?
Bohonglah. Saya enggak tahu itu beritanya dari mana. Saya juga ditanya sama Pak Kepala Rumah Tahanan, apakah kabar itu benar. Padahal enggak ada sama sekali.
Anda punya kantor di sini?
Kantor di lantai tiga itu, bukan istimewa buat saya. Dipakai sekian banyak orang, termasuk pesantren kilat, ada lima puluh orang tiap hari. (Tempat mengaji ini terletak di sebelah ruang khusus tempat Ayin seharian menghabiskan waktu.)
Benar Anda mandi dengan air kemasan?
Buat mandi, saya pasang saringan di keran karena airnya kuning. Untuk sikat gigi, saya memang pakai air isi ulang.
Sumber kami bilang Anda selalu membagikan jatah buat petugas setiap bulan?
Bohong, enggak ada itu. Kalau kegiatan, banyak di sini, dan memang saya bantu. Seperti latihan tari, seragam dari saya. Beberapa pekan sekali saya kirim 1.200-2.000 nasi kotak untuk semua tahanan dan petugas. Buat Lebaran, ketupat juga saya adakan. Waktu Lebaran Haji saya menyumbang satu sapi dan dua kambing.
Habis berapa duit per bulan selama di sini?
Lumayanlah. Yang penting saya puas.
Ngomong-ngomong, bagaimana Anda mengadopsi bayi di dalam penjara?
Dia anak penghuni sini. Dulu saya melihat dia kurang gizi, badannya kecil sekali. Tapi bayinya cakep. Saya minta izin ibunya, boleh enggak saya belikan susu. Suatu ketika, dia bilang akan menyerahkan anaknya buat saya. Ya, sudah, dibuatkan surat resmi.Kata Pak Kepala Rumah Tahanan, saya boleh mengasuh anak ini. Tapi hanya boleh di dalam sini sampai umur dua tahun.
Jadi dia di sini sampai malam?
Enggaklah. Kadang-kadang, kalau lagi tidur, tanggung, kasihan jika dibangunkan. Paling pukul lima-enam sore dibawa pulang.
Sopir Anda selalu melayani Anda setiap hari....
Lo, kan sebagai tamu saja, bukan melayani saya. Kalau di luar jam besuk, enggak boleh. Kecuali ada yang penting, misalnya mengantar surat dan obat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo