Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Komisi di Balik Resep

Pabrik obat membantah, tapi sejumlah dokter mengaku menerima komisi.

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


BOENJAMIN SETIAWAN sudah lama pensiun. Pada 1966, di puncak semangat dan idealismenya, dia mendirikan Kalbe Farma, sebuah perusahaan farmasi kecil di Kota Bandung. Dia barangkali jenis ilmuwan sejati, bergairah menekuni bidang penelitian yang tidak populer seraya berkeinginan memberi manfaat pada khalayak luas. Cita-citanya tak terlalu muluk: menyediakan obat yang murah dan mujarab kepada publik.

Cita-cita itu kini ternoda. Ironisnya, itu terjadi justru ketika Kalbe Farma telah menjadi raksasa farmasi. Sahamnya diperjualbelikan di Bursa Efek Jakarta, PT Kalbe Farma Tbk. adalah perusahaan obat lokal terbesar, dengan menguasai 14 persen pangsa pasar. Tahun kemarin, perusahaan itu mencatat nilai penjualan Rp 1,2 triliun, dan tahun ini diperkirakan mencapai Rp 2,1 triliun. Jaringan pemasarannya begitu luas, mencakup lebih dari 3.500 dokter dan 1.500 apotek.

Keagresifan pemasaran bahkan telah menceburkannya dalam praktek tak terpuji. Segepok bukti autentik yang diperoleh majalah ini menunjukkan kentalnya kongkalikong perusahaan itu dengan para dokter dalam memberikan resep obat kepada pasien—praktek haram dalam dunia kedokteran ataupun farmasi.

Bukti itu mencakup puluhan nota transfer bank dari PT Kalbe Farma pada 1996-1997 ke ratusan rekening dokter, petugas apotek, dan pimpinan rumah sakit di berbagai kota—Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Kediri, Medan, Samarinda, dan banyak lainnya. Yang dikirim tak lain adalah uang komisi bulanan, balas jasa Kalbe terhadap para dokter yang telah meresepkan produknya.

Data itu berkorelasi dengan sejumlah dokumen formulir pemasaran Kalbe. Di dalamnya tertera target penjualan obat, komitmen dari dokter, dan jumlah ”uang semir” yang mesti disetor. Menurut informasi dari ”kalangan dalam”, paling tidak ada 1.600 nomor rekening dokter di 26 provinsi yang tiap bulan rutin menerima uang pelicin dari Kalbe. Tiap tahun, nilainya mencapai miliaran rupiah.

Tengoklah, misalnya, bukti transfer BCA per 28 Januari 1997 untuk dr. Yusuf S.K. di Samarinda, Kalimantan Timur. Kini menjabat Wali Kota Tarakan, Yusuf pernah menjadi Direktur Rumah Sakit Wahab Syahrani, Samarinda. Pada tanggal itu, rekeningnya di Bank Pembangunan Daerah cabang setempat menerima duit senilai Rp 2 juta. Pengirimnya tertera nama seorang staf Kalbe: R. Yusuf Payung. Formulir pemasaran Kalbe menyatakan transfer itu berkaitan dengan transaksi obat pada November 1996 senilai Rp 7 juta lebih.

Atau, lihatlah juga data transfer untuk pimpinan, kepala medis, dan apoteker Rumah Sakit Krakatau Steel, Cilegon, Jawa Barat. Kiriman dilakukan via Bank Arta Prima per 8 November 1996, masing-masing antara Rp 8 juta dan Rp 10 juta. Ini untuk komitmen pembelian obat Kalbe senilai Rp 165 juta. Atau, data transfer untuk Zainal Arifin, dokter di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Pada 18 Oktober 1996, melalui bank BCA, rekeningnya di Bank Lippo Solo menerima Rp 1,5 juta.

Uang komisi bukan satu-satunya modus. Juga ada sejumlah pemberian hadiah. Untuk yang satu ini, contohnya bisa dilihat dari selembar tanda terima yang diteken dr. Sutrisno Hady di Tanjungbalai, Medan, pada 31 Agustus 1996. Upeti itu berupa dua set lampu kristal gantung senilai Rp 3 juta dari Kalbe Divisi I. Selain itu juga ada pemberian telepon genggam dan rupa-rupa barang lainnya.

Disodori bukti-bukti ini, sebagian dokter dan pimpinan Kalbe mati-matian membantah. Dokter Yusuf S.K. bahkan sampai bersumpah atas nama Tuhan tak tahu-menahu soal itu. ”Saya tidak pernah tahu mereka mentransfer ke rekening saya. Semua pembelian diurus bagian pembelian,” katanya. Yusuf Payung juga menyangkal. Tapi, penelusuran TEMPO mengukuhkan ia adalah staf PT Dankos, anak perusahaan Kalbe.

Bantahan itu juga yang diutarakan Zainal Arifin. ”Saya tidak tahu bagaimana nama saya ada dalam dokumen itu,” tuturnya. Ia cuma mengaku pernah beberapa kali minta imbalan besar atas sejumlah penawaran perusahaan obat. Tapi, katanya lagi, itu cuma caranya untuk menampik dengan halus.

Pimpinan Kalbe di Jakarta juga bersikeras tak terlibat dengan segala praktek kotor itu. Kata Vidjongtius, salah satu Direktur Kalbe, transfer itu sebatas pemberian sponsor bagi para dokter untuk mengikuti seminar dan sebangsanya. ”Rasanya kami tidak mungkin mendikte dokter,” ia berkelit.

Cuma, Vidjong sebaiknya mendengar pengakuan dr. Syarifudin Langki. Semula, Manajer Rumah Sakit Tugu, Jakarta, ini sewot menyangkal. Tapi, begitu disodori bukti, ia pun tak berkutik. Dalam nota transfer Bank Arta Prima dan formulir pemasaran Kalbe, jelas-jelas tertera bahwa pada Desember 1996, rekeningnya di Bank BNI Cabang Pasar Koja pernah menerima Rp 2,7 juta dari Kalbe untuk resep obat yaang dibuatnya senilai Rp 16,4 juta pada Juni-Agustus. ”Ya, saya memang telah menerimanya,” katanya, lemas. Bahkan, ia juga mengaku masih terus menerima uang pelicin itu sampai sekarang. ”Tak banyak, kok,” katanya.

Kalau itu masih kurang, boleh juga didengar pengakuan Liliek Hadi Pranoto, Kepala Bagian Personalia Rumah Sakit Baptis, Kediri. Data menunjukkan bahwa pada 16 September 1996, rekeningnya dikirimi Kalbe Rp 1,5 juta. Liliek mengakuinya. ”Tapi, cuma numpang lewat. Uang itu lalu dimasukkan ke rumah sakit,” katanya. Persisnya, ia mengatakan tak ingat lagi. Maklum, transfer model ini sebegitu seringnya. Bahkan, katanya lagi, ”Sekarang saja kami sering menerima dalam jumlah lebih besar dari itu.”

Kalau mau yang paling telak, temuilah dr. Iing H. Yo di Bandung. Nyonya ini sehari-hari berpraktek di Poliklinik Umum dan Anak Rumah Sakit Immanuel. Pada 24 Agustus 1996, ia tercatat pernah dikirimi Kalbe Rp 2 juta. Iing berkisah, semula ia kaget mendapati ada duit nyelonong ke rekeningnya. Usut punya usut, ternyata sumbernya dari Kalbe. Ketika ditanya, pihak Kalbe menjawab itu hadiah untuknya karena dinilai telah berjasa meningkatkan omzet. ”Jadi, saya tidak tahu apa-apa, tiba-tiba rekening saya bertambah,” katanya.

Meski kemudian ditampiknya, Iing juga mengaku pernah ditawari Kalbe untuk dibangunkan sebuah klinik. Rupanya, bonus semacam ini sudah diatur melalui pihak manajemen. Pada tahun-tahun itu, di Rumah Sakit Immanuel seperti ada semacam kewajiban bagi para dokter untuk meresepkan obat Kalbe. Iing pernah dua kali ditegur bosnya gara-gara meresepkan merek lain.

Menurut Iing, Immanuel memang rumah sakit yang setia kepada Kalbe karena pembangunan gedung-gedungnya banyak dibantu perusahaan itu. Tapi, sejak akhir Desember 2000, peraturan ”harus Kalbe” melonggar. Pada saat bersamaan, Immanuel membangun beberapa gedung baru yang disponsori oleh Sanbe Farma, pesaing Kalbe.

Direktur Operasional Medik Pusat Rumah Sakit Immanuel Bandung, Dr. Setiyadi Hernawan, mengakui pihaknya menerima bantuan pembangunan rumah sakit serta prasarana pendukung dari pabrik obat. ”Tapi, bukan dalam bentuk komisi bulanan, apalagi honor,” katanya. ”Kami melakukan kerja sama tak hanya dengan Kalbe, tapi juga dengan perusahaan lain seperti Sanbe Farma.” Kerja sama seperti itu dipandang menguntungkan pasien. ”Sanbe memberikan diskon 30 persen hingga 40 persen untuk semua produknya. Lumayan tinggi, sehingga harga obat yang dikeluarkan Immanuel bisa lebih murah dan terjangkau masyarakat pada umumnya,” kata Setiyadi.

Dan Kalbe memang tidak sendirian. Sejumlah penjaja produk obat berani memastikan Sanbe Farma, raksasa farmasi yang merajai Jawa Timur dan beberapa lokasi lain di Indonesia, juga ada di deret terdepan dalam urusan komisi atau hadiah. Untuk tingkat mantri pun—kalau ia bisa meresepkan produk Sanbe ke masyarakat—perusahaan ini berani main di angka besar: belasan hingga puluhan juta rupiah.

Wakil Direktur Sanbe Farma, Djoni Tanu, melayani semua tudingan itu dengan tenang. Di satu pihak ia membenarkan kemungkinan transfer uang kepada para dokter. Tapi, dalam kaitan dengan Sanbe, Djoni menekankan bahwa urusan transfer betul-betul cuma terjadi dalam rangka mengembangkan bidang ilmiah farmasi dan kedokteran. Caranya, melalui forum-forum ilmiah seperti seminar dan kongres. ”Bahkan, April ini kita membiayai seminar nasional dengan mengundang para pembicara dari California, Amerika Serikat,” ujarnya sembari tertawa di ujung telepon.

Abdul Basir Dash, Manajer Produk Fahrenheit, perusahaan farmasi lain, mengatakan bahwa praktek suap perusahaan farmasi kepada dokter adalah hal yang lazim. ”Semua perusahaan farmasi, termasuk yang di luar negeri, melakukan hal itu,” katanya. Semua? Termasuk Fahrenheit, yang ada dalam daftar transfer uang? ”Uang itu untuk kegiatan ilmiah,” tuturnya.

Membiayai kegiatan ilmiah para dokter adalah suatu hal yang mulia. Tapi, di tengah minimnya anggaran riset pabrik farmasi sendiri serta melambungnya anggaran promosi mereka, itikad itu layak dipertanyakan. Dalam persaingan ketat dengan pabrik obat lain, Kalbe Farma, misalnya, membelanjakan 30 persen ongkos produksi untuk promosi dan pemasaran, dan menyisakan hanya 4 persen untuk riset.

Dokter Boenjamin Setiawan sudah pasrah menyangkut skandal suap yang melibatkan perusahaan yang didirikannya. ”Saya sudah tua dan sudah lama menyerahkan perusahaan itu kepada para profesional. Kalaupun kasus ini meledak, biarlah agar ada perbaikan,” ujarnya.

Kasus ”yang sudah biasa” ini barangkali tidak akan pernah meledak. Tapi, yang lebih pasti, cita-cita Boenjamin menyediakan obat murah kepada khalayak bakal kian jauh panggang dari api.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus