Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK Juni lalu, ada yang berubah di kompleks Akademi Kepolisian, Semarang. Dua mobil patroli saban hari berputar-putar di dalam kompleks sekolah calon perwira itu. Dari dalamnya, sejumlah provos mengawasi gerak-gerik para taruna dengan mata tajam.
Seusai jam belajar di kelas, pengawasan tak berkurang. Belasan provos meronda Akademi sampai fajar menyingsing. Asrama para taruna mendapat perhatian khusus. Gedung tiga lantai itu disisir sampai ke selasar antarkamar. Lampu sirene di atas kedua mobil patroli provos itu terus berpijar sepanjang malam.
Perubahan ini merupakan instruksi khusus Gubernur Akademi Kepolisian Inspektur Jenderal Amin Saleh. Pemicunya adalah sejumlah laporan soal penganiayaan berulang terhadap taruna-taruna junior di lembaga pendidikan calon perwira itu. "Saya memang mendengar banyak kasus kekerasan di sini," kata Amin, Senin dua pekan lalu.
Penelusuran Tempo menemukan laporan-laporan itu bukanlah isapan jempol. Dengan dalih mengajarkan kedisiplinan, para senior kerap menghukum adik kelasnya dengan berbagai bentuk kekerasan fisik. Tak hanya berbahaya, hukuman yang diberikan kerap kali merendahkan martabat para taruna yang jadi korban.
Pertengahan Februari lalu misalnya. Pada satu malam, Brigadir Satu Taruna Edi Saputro menggiring belasan adik kelasnya yang tinggal di Blok H-2 ke koridor asrama. Di sana, para taruna junior ini diperintahkan mengambil posisi kayang: badan menghadap ke langit, kedua kaki dan tangan bertumpu pada lantai.
Mereka tak boleh bergerak, menunggu Edi habis menghitung sampai seratus. Hukuman berat itu diberikan karena, "Ruangan flat kami kotor," kata Brigadir Dua Taruna Mulya Sugiharto dalam dokumen penyelidikan internal Akademi Kepolisian. Edi kini sudah dihukum: diturunkan pangkat satu tingkat.
Seorang taruna lain bercerita bagaimana mereka sering kali dibangunkan senior pada tengah malam. Pada Maret lalu, misalnya, belasan taruna di Blok H-1 dipanggil ke koridor asrama. Di sana, semua diminta membungkuk sampai kepala menyentuh lantai, sementara tangan tidak boleh bertumpu.
Para taruna senior menyebut posisi ini sebagai "sikap tobat". Seorang taruna tingkat dua mengaku diminta bertahan pada posisi tak mengenakkan itu selama setengah jam. Mereka yang terpaksa bergerak dipukuli dengan besi gantungan baju (hanger).
SEORANG pejabat teras Akademi Kepolisian memastikan kekerasan para senior terhadap adik kelasnya ini berlangsung turun-temurun. Dia mengaku menjadi korban kekerasan yang sama ketika menjalani pendidikan di Akademi dua dekade silam. Karena dibiarkan, budaya kekerasan ini terus berkembang dan makin menjadi.
"Dari dulu, para taruna junior selalu dikejar-kejar seperti tikus diburu kucing," katanya prihatin. Satu kesalahan kecil saja bisa berbuntut fatal. Karena itu, tak usah heran jika para taruna baru takut bukan buatan kepada kakak kelasnya.
Seorang pengajar di Akademi Kepolisian bercerita bagaimana atmosfer ketakutan itu terasa begitu kental di sana. "Saya pernah makan siang di Akademi. Tak ada satu pun junior yang berani makan mendahului seniornya," kata sang dosen. Jika ada taruna kelas dua yang berani menyentuh hidangannya lebih dulu, hukuman berat menanti.
"Saya pernah melihat bagaimana sejumlah senior memaksa adik kelasnya menghabiskan satu piring nasi dalam lima hitungan," katanya pelan. Si taruna muda itu sampai kehabisan napas dan muntah-muntah setelah seniornya berlalu. Di kesempatan lain, sumber Tempo ini melihat satu senior memaksa adik kelasnya makan telur rebus tanpa dikupas. "Harus ditelan bersama kulitnya."
Satu orang tua taruna juga berbagi kisah serupa. Suatu ketika, dia mengantar anaknya kembali ke Akademi Kepolisian setelah liburan. Mobilnya belum berhenti sempurna ketika putranya melihat sejumlah taruna senior melenggang keluar dari gerbang Akademi dan menghampiri sebuah taksi. "Mendadak dia melompat dari mobil, berlari ke taksi itu dan membukakan pintu untuk para seniornya sambil menunduk," kata bapak itu sambil terheran-heran.
Ketakutan para junior ini tentu punya alasan. Salah satunya berpangkal pada model pendidikan disiplin yang dikembangkan di Akademi Kepolisian. Fungsi pengawasan, misalnya, merupakan tanggung jawab taruna senior. Sejumlah kewenangan pengasuh taruna pun sedikit demi sedikit beralih ke taruna tingkat akhir.
Perubahan ini bukannya tidak disadari oleh para pembina dan guru-guru di Akademi Kepolisian. "Tapi tak ada insentif untuk memperbaiki kondisi ini," kata seorang pembina, putus asa. Para perwira menengah yang ditempatkan di lembaga ini, kata dia, sering kali merasa dibuang. Ada yang sudah bertahun-tahun bertugas di Akademi Kepolisian tanpa pernah naik pangkat. "Akhirnya lama-lama semua tak peduli," dia menambahkan.
Dampaknya langsung terasa. Agustus tahun lalu, Pendidikan Dasar Bhayangkara untuk taruna baru masih diawasi oleh para pengasuh dan pembina. Tapi, dua bulan kemudian, seluruh prosesi itu diawasi sepenuhnya oleh para senior. "Sejak itulah ada kegiatan tambahan selepas apel malam: kami disuruh jungkir, dipukuli, ditendangi," kata seorang taruna berpangkat brigadir dua.
Penganiayaan bahkan juga terjadi di organisasi kemahasiswaan Akademi Kepolisian—Kelompok Komando Korps. Taruna junior yang dituduh bersalah sering kali dipanggil ke ruangan Komando Korps untuk disetrap. Posisi kayang dan sikap tobat adalah menu wajib buat para "terhukum". Tak jarang kekerasan fisik semacam itu terjadi pada siang hari.
Seorang dosen perempuan mengaku terlambat menyadari bahayanya kondisi Akademi ini. Hatinya baru tergerak sekitar dua bulan lalu. "Waktu itu, satu taruna murid saya masuk kelas dengan kepala diperban, padahal sebelumnya sehat-sehat saja," katanya.
Sepekan kemudian, satu taruna lain masuk kelas dengan tangan digips. Yang membuatnya kesal, setiap kali ditanya apa yang terjadi, semua taruna junior itu punya jawaban seragam: siap! "Persis seperti robot," kata sang dosen.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Erlyn Indarti, mengakui pernah menerima laporan serupa tiga tahun lalu. Menurutnya, pengawasan melekat oleh para pengasuh dan pembina sudah tidak seperti dulu lagi. "Apalagi setelah jam belajar," katanya. Pada malam hari, kata Erlyn, taruna-taruna senior gentayangan. "Ketika lampu asrama mati, kami mengira semua sudah tidur," katanya.
Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Mabes Polri Komisaris Jenderal Oegroseno tak membantah banyak laporan soal buruknya kondisi Akademi Kepolisian. Dia mengakui pentingnya pembenahan segera. "Kalau pembina dan pengasuh merasa jadi orang buangan, tidak punya duit, ya pasti akan ada masalah," katanya. Oegroseno mengaku sudah mengunjungi Akademi untuk memeriksa berbagai laporan soal penganiayaan taruna yang ia terima.
Dimintai konfirmasi, Amin Saleh berkata sumber masalah ada pada para senior yang merasa bisa melakukan apa pun kepada adik kelasnya. "Pola pikir semacam itu yang harus diubah," katanya.
Selain meningkatkan pengawasan dengan mengerahkan para provos, Amin mengaku sering terjun ke lapangan. Dia kerap bersepeda berkeliling kompleks Akademi, lalu diam-diam masuk ke asrama para taruna. "Sekarang ada taruna kentut pun saya pasti tahu," katanya yakin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo