Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SRI, sebut saja namanya begitu, merasa dirampok. Bukan uang yang hilang, melainkan kesempatan. Pada Juni lalu, Kepolisian Daerah Yogyakarta mengumumkan 11 calon taruna Akademi Kepolisian yang lolos seleksi di sana. Anaknya, yang semula berada di urutan kelima, mendadak dicoret pada saat-saat terakhir.
"Padahal anak saya berhasil melewati sembilan tahap seleksi," katanya ketika ditemui dua pekan lalu. Yang membuatnya geram, calon taruna lain yang jelas-jelas tak lulus tes kesehatan malah lolos ke Semarang.
Seleksi taruna Akademi Kepolisian di Polda Yogyakarta dimulai pada awal Mei lalu. Total ada 321 lulusan sekolah menengah atas yang memperebutkan 11 kursi calon taruna yang disediakan untuk provinsi itu. "Tesnya bertahap. Lima tahap pertama menggunakan sistem gugur," kata Sri mengenang. Dia selalu mendampingi putranya mengikuti setiap tahap seleksi.
Saringan pertama masih soal administrasi, tapi lima calon langsung gugur. Tes berikutnya soal kesehatan. Di sini ratusan calon gagal, hanya 89 yang lolos. Separuh lagi tersaring di tes psikologi. Jumlah itu menciut setelah tes akademik. Memasuki tahap kelima, uji kesehatan lanjutan, tinggal 18 calon taruna yang tersisa.
Pada tahap ini semua calon menjalani uji kesehatan menyeluruh: jantung, paru-paru, darah, dan urine diperiksa. Menurut surat edaran Kapolri, mereka yang gagal di tes ini tak bisa diterima di Akademi Kepolisian. Ada tiga kemungkinan hasil uji kesehatan: cukup, kurang-1 dan kurang-2. "Yang K-2 dianggap tidak memenuhi syarat," kata Sri.
Hari itu, menurut Sri, satu calon taruna mendapat nilai K-2. Dari sinilah kejanggalan bermula. Semua calon—termasuk yang hasil uji kesehatannya buruk—tetap diminta melanjutkan ke tahap seleksi berikutnya: jasmani, kesesuaian postur tubuh (antropometri), administrasi, dan terakhir tes wawancara. Sri mulai khawatir. Setelah semua proses seleksi itu rampung, hasilnya diumumkan. Benar saja, putranya tidak lolos. Dari tujuh calon yang tidak lolos, empat di antaranya punya rekam medis yang baik—sama seperti anak Sri. Calon yang hasil uji kesehatannya paling buruk justru lulus.
Yang menarik, dari 11 calon taruna yang diloloskan, ada delapan anak perwira atau pegawai kepolisian. Sedangkan dari tujuh calon yang tak lolos, semuanya berasal dari keluarga sipil. "Saya memang tidak punya cantolan," kata Sri sedih.
Jogja Police Watch, lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi kinerja aparat penegak hukum di sana, mencium aroma kongkalikong dalam rekrutmen taruna ini. "Ada forum Dewan Kebijakan di tingkat pejabat utama Polda, yang menentukan siapa saja yang lolos," kata Baharuddin Kamba, juru bicara lembaga itu. Dia menduga penyimpangan terjadi pada tahap akhir. "Urutan kelulusan berdasarkan hasil seleksi diabaikan di forum itu," katanya.
Juru bicara Polda Yogyakarta, Ajun Komisaris Besar Anny Pudjiastuti, membantah tuduhan itu. "Hasil seleksi akuntabel. Anak jenderal pun, kalau tidak memenuhi syarat, tidak lulus," katanya.
Bagaikan bom waktu, masalah ini meledak pada akhir Juli lalu. Seperti biasa, 240 taruna yang baru masuk Akademi Kepolisian harus menjalani Pendidikan Dasar Bhayangkara selama tiga bulan.
Hasil seleksi yang bermasalah pun terbongkar di sini. Staf pengajar Akademi Kepolisian, misalnya, menemukan taruna yang tinggi badannya kurang 2 sentimeter dari ketentuan minimal.
Tak hanya itu. Tim dokter Akpol menemukan ada 70 taruna baru yang mengaku pernah menderita sakit berat. Fakta ini tak ada dalam data rekam medis mereka pada tahap seleksi di tingkat Polda. Khawatir para taruna mengalami cedera akibat pendidikan yang berat, tim medis memeriksakan mereka ke Rumah Sakit Telogorejo, Semarang.
Hasilnya: kesehatan 15 taruna tidak memenuhi syarat. Temuan ini jadi perbincangan hangat di kalangan internal Akademi Kepolisian. Tim dokter dari Mabes Polri memeriksa ulang data hasil uji kesehatan taruna baru.
Tahun sebelumnya bahkan ada taruna yang punya penyakit hepatitis sampai gangguan lever, tapi tetap diloloskan. Ada pula yang tidak bisa berenang dan baru dikeluarkan tiga bulan lalu.
Sumber Tempo memastikan lulusnya taruna yang sebenarnya tak memenuhi syarat itu mengindikasikan ada permainan di tingkat seleksi. "Sejumlah perwira mengaku harus membayar sampai Rp 500 juta agar anaknya bisa diloloskan jadi taruna di sini," katanya.
Ditanya soal ini, Gubernur Akpol Inspektur Jenderal Amin Saleh mengelak. "Saya tidak mau berkomentar," katanya. "Yang jelas, saya di sini hanya menerima mereka," katanya lagi. Proses rekrutmen, kata Amin, bukan tanggung jawab Akpol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo