Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAKIT yang dialami Febya Achmad Rizky sudah jauh berkurang meski paha kiri dan lututnya kadang masih bergetar. Leher dan kepalanya pun nyeri sesekali. "Kata dokter, ada trauma di bagian otak," kata bekas taruna Akademi Kepolisian itu saat ditemui awal September lalu.
Febya sudah sakit tujuh bulan. Februari lalu, ia menjadi korban kekerasan seniornya di Akademi Kepolisian, Semarang. Bolak-balik masuk rumah sakit, Mei lalu ia didiagnosis oleh dokter menderita sindrom ganglia basalis. "Akibatnya, fungsi pengendali motoriknya terganggu," kata Andreas Harry, dokter saraf yang kini menangani Febya.
Kasus kekerasan ini tersibak setelah Akademi Kepolisian mengeluarkan sebelas taruna sekitar Juli lalu. Satu taruna di antaranya dipecat karena tidak bisa berenang. Enam taruna dipecat tidak hormat karena melanggar disiplin: pergi ke panti pijat. Dua taruna lainnya—Febya dan Dhimas Prabowo Sulistyo—diberhentikan karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan. Padahal sakit yang diderita akibat penganiayaan.
Pemecatan itu menyedot perhatian Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Nanan Soekarna. Pertengahan Agustus lalu, jenderal bintang tiga ini pergi ke Semarang. Kepada Gubernur Akademi Kepolisian Inspektur Jenderal Amin Saleh, ia mempertanyakan akar persoalan pemecatan—termasuk sinyalemen kekerasan yang membuat Febya dan Dhimas sakit berkepanjangan.
Meski Nanan cuma ingin meluruskan persoalan, pertemuan yang dihadiri sekitar 40 pendidik dan pengasuh—terdiri atas perwira berpangkat ajun komisaris hingga komisaris besar—itu berlangsung tegang. Di ruang rapat Gedung Manunggal, Akademi Kepolisian, Amin berkukuh tidak akan menganulir keputusan pemecatan. Akhirnya disepakati bahwa orang tua yang merasa keberatan anaknya dikeluarkan dipersilakan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Agustus lalu, beberapa orang tua yang anaknya dipecat karena pelanggaran disiplin menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang. Mereka memprotes pemecatan itu meski anak-anak mereka sudah dihukum. Saat persidangan digelar Selasa dua pekan lalu, kuasa hukum penggugat menyodorkan bukti praktek kekerasan yang dialami lima taruna tersebut. Rabu pekan lalu, gugatan mereka ditolak pengadilan.
Akademi Kepolisian beruntung. Febya dan Dhimas tidak ikut membawa kasus mereka ke meja hijau. "Kalau mereka yang menggugat, habislah kami," kata sumber Tempo di kepolisian. Soalnya, bukti kekerasan terhadap kedua taruna angkatan 45 ini terbilang telak.
PRAKTEK kekerasan itu tergambar jelas dari hasil pemeriksaan dan keterangan sejumlah saksi atas kekerasan yang dilakukan Brigadir Satu Taruna Edi Saputro. Berdasarkan dokumen yang salinannya diperoleh Tempo itu, terkuak bahwa Februari lalu Febya ditendang oleh Edi menggunakan sepatu dinas lapangan. "Saya ditendang di bagian perut, persis mengenai ulu hati," kata Febya mengenang peristiwa itu. Saat kontak fisik terjadi, punggung dan bagian belakang kepalanya membentur tembok.
Peristiwa itu terjadi di selasar lantai dua asrama Blok H-2, Graha Taruna Wiratama Muda, sekitar pukul sebelas malam. Pada malam nahas itu, Febya baru selesai mengikuti sebuah kegiatan. Ia tiba terlambat. Sial. Edi memergoki.
Beberapa hari kemudian, tanpa alasan jelas, senior lain menempelengnya. Peristiwa itu terjadi pada sore hari di Cafe Taruna. Masih pada bulan yang sama, Febya dan semua taruna yang tinggal di flat H-2 dikumpulkan Edi menjelang tengah malam. Mereka dihukum melakukan kayang hingga 100 hitungan.
Pada akhir Februari, setelah mengikuti kegiatan fisik yang dipimpin para pengasuh, kondisi pemuda 20 tahun ini makin buruk. "Setengah badan saya, dari pinggang ke leher, mati rasa," kata Febya. Kedua lengannya sulit digerakkan. Urat lehernya seperti tertarik.
Dari rumah sakit asrama, Febya dirujuk di Rumah Sakit St Elizabeth, Semarang. Ia dinyatakan menderita hernia nukleus pulposus. Ada urat saraf di tiga ruas tulang belakang dekat tulang leher yang terjepit. Secara medis, hal ini terjadi karena bantalan lunak antar-ruas tulang belakang mengalami tekanan.
Pada pertengahan Maret, ia diizinkan kembali mengikuti pembinaan. Tapi tubuhnya belum fit benar. Sehari kembali beraktivitas, besoknya ia kembali dirawat di rumah sakit asrama. Pada 21 Maret, untuk kedua kalinya, pemuda kelahiran Semarang ini dirujuk ke Rumah Sakit Elizabeth.
Dua pekan kemudian, muncul tremor. Bahu dan lengan kanannya bergerak-gerak tak bisa dikendalikan. Gejala itu sempat mereda, sehingga pertengahan April ia diizinkan kembali ke rumah sakit asrama. Tapi besoknya, "Tangan kanan saya bergerak lebih kencang dan tidak teratur," katanya. Ia dirujuk ke Rumah Sakit Telegorejo, Semarang.
Sempat kembali ke rumah sakit Akademi Kepolisian, alumnus SMA Taruna Nusantara angkatan 2009 ini untuk ketiga kalinya dibawa ke Rumah Sakit Elizabeth. Kali ini giliran tungkai kaki kanan dan kiri lemas, sehingga sulit digerakkan. Peristiwa ini terjadi akhir April. Sejak itu, Febya menggunakan kursi roda.
Ditemui di RS Elizabeth tiga pekan lalu, dua dokter yang pernah menangani Febya—dokter spesialis saraf Martinus Julianto Pranata dan dokter bedah tulang sekaligus spesialis ortopedi Agus Priambodo—menolak berkomentar. "Ini menyangkut kerahasiaan pasien," kata Martinus.
Tapi, dari pembacaan hasil pencitraan resonansi magnetik terhadap tulang leher Febya, yang salinannya diperoleh Tempo, terlihat ada penonjolan bantalan di tiga ruas tulang leher. Terlihat juga ada penonjolan ke arah saraf pusat di tulang belakang.
Dibantu keluarga Dhimas Prabowo, Febya dibawa berobat ke Rumah Sakit Gading Pluit, Jakarta. Ayah Dhimas adalah Brigadir Jenderal Arie Sulistyo, Wakil Komandan Korps Brigade Mobil. Sejak awal Mei, Febya dirawat di sana. Diagnosisnya sindrom ganglia basalis.
Menurut dokter Andreas Harry, penyakit itu mengakibatkan gangguan motorik, sehingga kekuatan tubuh berkurang. Tak jarang menimbulkan kelumpuhan. Bisa tangan terlebih dulu, lalu kaki. Bisa juga bersamaan. Sindrom inilah, kata dia, yang juga membuat anggota tubuh Febya bergetar. Adapun penyempitan saraf di ruas tulang belakang menyebabkan nyeri menjalar. Itu sebabnya, ia sempat memakai penyangga pada leher selama tiga bulan.
Pagi-sore Febya menjalani fisioterapi. Sembari dituntun, ia berlatih jalan tiap hari. Tapi saat itulah tungkai kaki kirinya mulai bergerak-gerak sendiri. "Kalau tungkai saya pakai buat menopang badan, seperti ada tolakan," katanya.
Di tengah proses berobat itulah ia mendengar kabar akan dipecat. Akhir Mei, Febya kembali ke Semarang. Dua hari kemudian, empat dokter dari Markas Besar Kepolisian RI memeriksanya.
Dalam salinan surat sertifikat dokter Nomor 44/VI/2011/Bidkesmapta, yang ditandatangani Komisaris Besar Syafrizal pada 9 Juni 2011, dinyatakan bahwa tim dokter Mabes Polri memperoleh temuan penting: penyakit yang diderita Febya tidak berkaitan dengan riwayat kesehatan sebelum ia menjalani pendidikan. Namun surat itu juga menyatakan kesehatan Febya tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah.
Surat itu menjadi rujukan saat sidang Dewan Akademik digelar pada 23 Juni. Dua hari kemudian, Gubernur Akademi Kepolisian Inspektur Jenderal Amin Saleh mengeluarkan Surat Keputusan No. 44/VI/2011/Akpol. Isinya: Febya diberhentikan dengan hormat dari taruna Akademi Kepolisian.
Menjelang akhir Juli, Febya diserahkan kepada orang tuanya. Serah-terima itu direncanakan dilangsungkan melalui upacara resmi pada 25 Juli. Tapi keluarga menolak. "Orang tua mana yang tidak sedih melihat anaknya dipulangkan dalam kondisi sakit seperti itu," kata Titiek Lestari, ibu Febya. Dua hari sebelum upacara, perempuan 51 tahun ini menjemput Febya di Akademi Kepolisian. Hingga kini, Febya bolak-balik Semarang-Jakarta untuk berobat.
KETEGANGAN itu terjadi di tengah pertemuan. Perdebatan mulai panas saat membahas kenapa banyak taruna junior terkantuk-kantuk saat belajar di kelas. Muncul dugaan banyak kasus kekerasan setelah apel malam. "Tapi para pengasuh ngotot tidak ada praktek kekerasan," kata sumber Tempo. Amin Saleh dan beberapa tenaga pendidik hadir dalam rapat di Gedung Manunggal sekitar Juli itu.
Di tengah perdebatan, seorang pengajar berdiri. "Dia bilang punya hasil penelitian soal tindak kekerasan yang berlangsung di Akademi Kepolisian," kata sumber Tempo. Senyap. Semua terdiam.
Hasil penelitian yang salinannya diperoleh Tempo itu menguatkan sinyalemen tindak kekerasan di lingkungan Akademi Kepolisian bukan isapan jempol belaka. Penelitian selama Juni itu dilakukan dengan membagikan kuesioner plus wawancara terhadap 148 taruna seangkatan Febya.
Dari penelitian itu terungkap mayoritas taruna yang menjadi responden mengaku cuma tidur 3-4 jam sehari. Kebanyakan dari mereka dipaksa menghadap senior setelah apel malam. "Ada yang disuruh memijat, ada yang mencuci baju senior," kata sumber Tempo. "Sebagian bahkan dipukuli." Walhasil, waktu istirahat dan kegiatan belajar taruna setelah apel malam tidak maksimal.
Mayoritas responden mengaku sering didatangi taruna senior saat tidur. Lebih dari 60 persen taruna mengatakan pernah dipukul atau ditendang seniornya. Mayoritas dari mereka menyatakan pernah dihukum melakukan sikap tobat, kayang, dan korea (lihat "Dewa Ruci, Kipas Cenderawasih"). Bahkan tidak sedikit perlakuan fisik itu diberikan oleh para pengasuh sendiri. Padahal semua tindakan itu dilarang karena tidak ada relevansinya dengan program pembinaan.
Dhimas Prabowo adalah salah satu korban yang menderita gangguan saraf. Bersama teman satu angkatannya, Dhimas pernah dihukum melakukan jungkir balik dari depan Cafe Taruna ke lapangan resimen, lalu menuju ruang makan. Saat Dhimas akan masuk ke ruang makan, Edi Saputro, salah satu seniornya, memukulnya.
Berdasarkan dokumen pemeriksaan dan keterangan sejumlah saksi yang salinannya diperoleh Tempo, sekitar pukul satu malam, Dhimas dan seluruh penghuni flat Blok H-1 pernah dikumpulkan Edi untuk melakukan sikap tobat selama 30 menit. Saat itulah punggung dan pantat mereka dipukul. Punggung Dhimas juga ditendang Edi, yang mengenakan sepatu dinas lapangan. Beberapa hari kemudian, senior lainnya memukul punggung Dhimas menggunakan tangan kosong.
Akibatnya, terjadi penyempitan saraf di tulang belakang. Selain punggung, lengan dan tungkai kiri Dhimas sulit digerakkan. Pada akhir Maret lalu, Dhimas menjalani operasi di Rumah Sakit Husada Utama, Surabaya. Tapi kesehatannya tak kunjung membaik.
Sejak Mei, Dhimas berobat ke Rumah Sakit Gading Pluit, Jakarta. "Saat pertama datang ke sini, setengah tubuhnya lumpuh," kata dokter Andreas Harry. Namun Andreas menolak menjelaskan lebih terperinci ihwal penyakit Dhimas.
Dihubungi tiga pekan lalu, Nyonya Arie Sulistyo mengaku sedih atas nasib Dhimas, anaknya. Ia kecewa taruna senior yang menyebabkan Dhimas sakit tidak dikeluarkan, tapi cuma diberi sanksi penurunan tingkat. Saat ditanyai lebih detail soal kondisi anaknya, ia menolak berkomentar.
Sikap serupa ditunjukkan Brigadir Jenderal Arie Sulistyo. "Ia sebenarnya kecewa anaknya dikeluarkan," kata salah satu rekan Arie di kepolisian. Tapi Arie tidak mau menggugat karena tidak mau mencederai institusi kepolisian.
Seorang pengajar mengatakan, selain Febya dan Dhimas, masih banyak taruna lain yang sakit akibat tindak kekerasan. "Tahun ini ada 13 taruna junior yang sakit akibat kelainan saraf," katanya. Satrio Adi, misalnya, terganggu penglihatannya akibat benturan pada kepala. Erwin Estianto sering mengeluh sakit di bagian leher. Reza Hafidz mengalami gangguan di bantalan tulang punggung.
Tim Pengawas dan Pemeriksa Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri pada April lalu menyatakan taruna yang sakit diduga akibat tindak kekerasan. Tapi institusi pencetak calon perwira ini terkesan lamban dan tutup mata.
KEPALA Lembaga Pendidikan Polisi Komisaris Jenderal Oegroseno mengatakan tradisi pemukulan sesungguhnya dilarang sejak 1977, tepatnya saat ia menjadi taruna tingkat tiga. "Jangankan tindakan fisik," katanya, "memerintahkan jungkir balik pun tidak boleh sembarangan diberikan."
Namun, seorang pengajar mengatakan, praktek kekerasan terus berlangsung turun-temurun. Hal ini, misalnya, marak terjadi saat taruna menggelar latihan marching band. "Dari dulu sudah ada. Saya juga pernah mengalaminya," katanya. Perilaku ini berlanjut karena para pengasuh lalai, sehingga pengawasan lemah. Sebagian pola pengasuhan malah diserahkan kepada taruna senior. "Ini program pengasuhan yang salah kaprah," katanya.
Banyak pengasuh bekerja angin-anginan karena merasa kariernya tidak diperhatikan. "Ada yang sudah lima hingga tujuh tahun ditugaskan di sana tanpa pernah dimutasi," kata sumber lain. Sedangkan pengabdian yang diberikan tidak mendapat apresiasi. Akibatnya, banyak perwira merasa "dibuang" bila ditempatkan di Akademi Kepolisian. Oegroseno membenarkan ada indikasi seperti itu.
Pada masa-masa sebelumnya, kasus kekerasan mengendap karena pucuk pimpinan Akademi Kepolisian tutup mata. Sidang Dewan Akademik—pertemuan untuk membahas pelanggaran dan sanksi yang diberikan—cuma jadi ajang formalitas. "Biar kesannya zero accident," kata seorang pengajar di sana.
Kalaupun ada yang dihukum, sanksinya ringan karena pelakunya anak petinggi di Mabes Polri. "Bahkan tak jarang terjadi perang bintang di antara orang tua karena para taruna yang berseteru sama-sama anak jenderal polisi," kata beberapa pengajar saat ditemui.
Sebelum bertugas di sana, Gubernur Akademi Kepolisian Inspektur Jenderal Amin Saleh sudah mendengar ada tindakan kriminal yang dikemas senior dalam bentuk penganiayaan. "Tapi penganiayaan itu masih harus dibuktikan," katanya dua pekan lalu.
Amin membentuk tim pencari fakta sejak awal Juni. Tapi baru satu kasus penganiayaan yang dapat dibuktikan, yakni pelanggaran yang dilakukan Edi Saputro. Itu pun cuma dianggap penganiayaan ringan. Tempo berusaha menemui Edi Saputro pada Rabu pekan lalu. Tapi Komisaris Besar Bambang Imam Supeno, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Akademi Kepolisian, tidak mengizinkan. "Akpol bukan seperti sekolah umum," katanya. Ia khawatir, bila Edi diwawancarai, persoalan akan melebar.
Menurut Amin, investigasi kekerasan di Akademi sulit dilakukan karena banyak taruna junior tidak berani buka mulut. Akibatnya, umumnya kasus kekerasan tidak segera dilaporkan. Sedangkan rumah sakit hanya menemukan gejala yang diderita. "Tapi tidak bisa menemukan apa yang menyebabkan taruna sakit," katanya.
Oegroseno khawatir, bila perilaku kekerasan tidak dihentikan, efeknya bisa terbawa sampai taruna itu kelak bertugas di masyarakat. Bekas Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara ini menambahkan taruna yang kerap memukul adik kelas itu biasanya senior yang tidak punya prestasi di kelas. "Mereka suka main pukul untuk menutupi kebodohannya sendiri."
Tim Investigasi Tradisi berdarah di akademi Perwira: Penanggung Jawab: Arif Zulkifli Kepala Proyek: Yandhrie Arvian Penulis: Yandhrie Arvian, Wahyu Dhyatmika, Muchamad Nafi, Yuliawati Penyunting: Arif Zulkifli, Idrus F. Shahab, Wahyu Dhyatmika Penyumbang Bahan: Rofiuddin (Semarang), Parliza Hendrawan (Palembang), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta), Soetana Monang Hasibuan (Medan) Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Habib Rifa'i Foto: Bismo Agung, Budi Purwanto Desain: Aji Yuliarto, Agus Darmawan Setiadi, Ehwan Kurniawan, Kiagus Aulianshah, Rizky Lazuardy, Tri W. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo